Pengenaan Pajak Digital 10% Bisa Bantu Penerimaan Pemerintah
Rabu, 10 Juni 2020 - 19:29 WIB
JAKARTA - Kondisi pandemi Covid-19 atau virus Corona tidak dimungkiri membuat semua pihak merasa terpuruk, baik pemerintah, pebisnis, dan masyarakat. Sekarang Indonesia dihadapkan pada situasi new normal, dimana masyarakat harus hidup berdampingan dengan Covid-19 sampai waktu dimana vaksin dan obat ditemukan.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.03/2020 pun diterbitkan, berisi keterangan dan aturan PPN atas barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang melewati perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Peraturan yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020 mendatang ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam Perpu 1/2020 yang mengamanatkan pengenaan PPN pada kegiatan PMSE. Termasuk diantaranya produk yang diperdagangkan melalui platform digital asing seperti situs belanja online.
"Kita berusaha meminimalisir korban Covid-19, tapi di sisi lain ekonomi kita perlu dijaga. Salah satunya adalah dengan PMK 48 ini. PMK ini merupakan cara atau upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara untuk mencoba mencari sumber pembiayaan," ungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI bagian Keuangan dan Perbankan Fraksi PDIP Indah Kurnia dalam Diskusi Online "Meneropong Pajak Digital Pasca Pandemi" di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Dia mengungkapkan, potensi transaksi dari platform-platform digital online ini mencapai Rp102 triliun. "Dengan PMK ini, kita bisa memperoleh sebesar 10%, yakni sebesar Rp10 triliun untuk penerimaan negara," tambah Indah. (Baca Juga : Ini Aturan Tarif Pajak Produk dan Jasa Digital
Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah menggelontorkan sebanyak Rp600 triliun untuk penanganan Covid-19 sekaligus dampaknya. Kondisi penerimaan negara yang terus menurun namun angka belanja yang melonjak tajam, juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan PMK 48 ini.
"Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan POJK terkait relaksasi kepada debitur. Di sisi lain, industri perbankan juga merasa kewalahan. Saat ini, Bank Indonesia (BI) dan OJK juga sedang menggodok mekanisme adanya bank jangkar, bank pelaksana, dan bank peserta untuk menyikapi respon masyarakat terhadap kesempatan restrukturisasi kredit," lanjut Indah.
Sambung dia menyampaikan, hampir semua orang yang mengunjungi platform-platform online ini akan tergiur untuk bertransaksi. Indah menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam pemberlakuan PMK ini, berfokus pada digital platform resmi, karena masih ada platform ilegal yang memberikan tawaran yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat yang rentan kena tipu.
"Sebelumnya kan Singapura sudah memberlakukan peraturan serupa di Januari 2020, sebelum pandemi dimulai. Perancis memberlakukan 3%, Inggris 2%, dan begitu pula negara-negara yang memberlakukan pungutan serupa," pungkas Indah.
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 48/PMK.03/2020 pun diterbitkan, berisi keterangan dan aturan PPN atas barang kena pajak (BKP) tidak berwujud dan jasa kena pajak (JKP) dari luar daerah pabean yang melewati perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).
Peraturan yang akan berlaku mulai 1 Juli 2020 mendatang ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam Perpu 1/2020 yang mengamanatkan pengenaan PPN pada kegiatan PMSE. Termasuk diantaranya produk yang diperdagangkan melalui platform digital asing seperti situs belanja online.
"Kita berusaha meminimalisir korban Covid-19, tapi di sisi lain ekonomi kita perlu dijaga. Salah satunya adalah dengan PMK 48 ini. PMK ini merupakan cara atau upaya dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara untuk mencoba mencari sumber pembiayaan," ungkap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI bagian Keuangan dan Perbankan Fraksi PDIP Indah Kurnia dalam Diskusi Online "Meneropong Pajak Digital Pasca Pandemi" di Jakarta, Rabu (10/6/2020).
Dia mengungkapkan, potensi transaksi dari platform-platform digital online ini mencapai Rp102 triliun. "Dengan PMK ini, kita bisa memperoleh sebesar 10%, yakni sebesar Rp10 triliun untuk penerimaan negara," tambah Indah. (Baca Juga : Ini Aturan Tarif Pajak Produk dan Jasa Digital
Sejauh ini, pemerintah Indonesia telah menggelontorkan sebanyak Rp600 triliun untuk penanganan Covid-19 sekaligus dampaknya. Kondisi penerimaan negara yang terus menurun namun angka belanja yang melonjak tajam, juga mendorong pemerintah untuk mengeluarkan PMK 48 ini.
"Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan POJK terkait relaksasi kepada debitur. Di sisi lain, industri perbankan juga merasa kewalahan. Saat ini, Bank Indonesia (BI) dan OJK juga sedang menggodok mekanisme adanya bank jangkar, bank pelaksana, dan bank peserta untuk menyikapi respon masyarakat terhadap kesempatan restrukturisasi kredit," lanjut Indah.
Sambung dia menyampaikan, hampir semua orang yang mengunjungi platform-platform online ini akan tergiur untuk bertransaksi. Indah menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP), dalam pemberlakuan PMK ini, berfokus pada digital platform resmi, karena masih ada platform ilegal yang memberikan tawaran yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat yang rentan kena tipu.
"Sebelumnya kan Singapura sudah memberlakukan peraturan serupa di Januari 2020, sebelum pandemi dimulai. Perancis memberlakukan 3%, Inggris 2%, dan begitu pula negara-negara yang memberlakukan pungutan serupa," pungkas Indah.
(ind)
tulis komentar anda