Erick Thohir Laporkan Dugaan Korupsi Proyek Blast Furnace di Krakatau Steel ke Kejagung
Senin, 14 Februari 2022 - 12:51 WIB
JAKARTA - Setelah sebelumnya melaporkan dugaan kasus korupsi di PT Garuda Indonesia Tbk, Menteri BUMN Erick Thohir kembali melaporkan dugaan adanya korupsi dalam proyek blast furnace di PT Krakatau Steel Tbk ( KRAS ). Laporan itu disampaikan Menteri BUMN kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) beberapa waktu lalu.
Kabar tersebut disampaikan Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kepada Komisi VII DPR RI saat sesi rapat dengar pendapat (RDP), Senin (14/2/2022). "Arahan Menteri BUMN juga untuk melihat apa penyebabnya dari sudut pandang hukum. Sehingga Kementerian BUMn juga melibatkan Gedung Bundar (Kejaksaan Agung)," ujar Silmy.
Silmy mengatakan, Erick Thohir telah meminta agar manajemen KRAS memberikan informasi atau hal-hal yang dinilai memudahkan penyelidikan Kejagung untuk melihat proyek blast furnace dari aspek hukum. Operasional blast furnace sudah dihentikan sejak 5 Desember 2019 lalu akibat ditemukan sejumlah masalah.
Salah satu alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi. Tak hanya itu, proyek itupun sudah menyedot keuangan KRAS daloam jumlah tak sedikit.
"Kami selaku pimpinan di Krakatau Steel mempersiapkan dengan sebaik mungkin informasi atau hal-hal yang dibutuhkan Kejagung dalam hal proses penegakan hukum melihat potensi daripada hal-hal yang bisa dilihat daripada penyimpangan dari sisi hukum," ujar Silmy.
Saat ini Kejagung tengah memproses laporan yang diajukan Erick Thohir. Kabar terakhir, kata Silmy, ada temuan yang diperoleh pihak penegak hukum. Hanya saja, Silmy belum membeberkan hasil temuan tersebut. "Saat ini sedang berlangsung, dan kabar yang kami terima akan ada kesimpulan dan langkah lanjut daripada yang didapatkan Kejagung," tuturnya.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta atau setara Rp10 triliun. Angka ini membengkak Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk di ambil jalan keluarnya.
Kabar tersebut disampaikan Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim kepada Komisi VII DPR RI saat sesi rapat dengar pendapat (RDP), Senin (14/2/2022). "Arahan Menteri BUMN juga untuk melihat apa penyebabnya dari sudut pandang hukum. Sehingga Kementerian BUMn juga melibatkan Gedung Bundar (Kejaksaan Agung)," ujar Silmy.
Baca Juga
Silmy mengatakan, Erick Thohir telah meminta agar manajemen KRAS memberikan informasi atau hal-hal yang dinilai memudahkan penyelidikan Kejagung untuk melihat proyek blast furnace dari aspek hukum. Operasional blast furnace sudah dihentikan sejak 5 Desember 2019 lalu akibat ditemukan sejumlah masalah.
Salah satu alasan penghentian karena pabrik tidak mampu menghasilkan baja dengan harga pasar yang kompetitif. Sementara, biaya operasionalnya tercatat tinggi. Tak hanya itu, proyek itupun sudah menyedot keuangan KRAS daloam jumlah tak sedikit.
"Kami selaku pimpinan di Krakatau Steel mempersiapkan dengan sebaik mungkin informasi atau hal-hal yang dibutuhkan Kejagung dalam hal proses penegakan hukum melihat potensi daripada hal-hal yang bisa dilihat daripada penyimpangan dari sisi hukum," ujar Silmy.
Saat ini Kejagung tengah memproses laporan yang diajukan Erick Thohir. Kabar terakhir, kata Silmy, ada temuan yang diperoleh pihak penegak hukum. Hanya saja, Silmy belum membeberkan hasil temuan tersebut. "Saat ini sedang berlangsung, dan kabar yang kami terima akan ada kesimpulan dan langkah lanjut daripada yang didapatkan Kejagung," tuturnya.
Proyek blast furnace sejak sejak 2011 disebut sebagai proyek yang serba salah. Sebab bagaimanapun, proyek ini akan merugikan perusahaan senilai Rp1,3 triliun setiap tahunnya. Sedangkan jika dihentikan, maka perseroan akan kehilangan uang sekitar Rp10 triliun.
Sejak proyek tersebut dimulai pada 2011 lalu, perusahaan sudah mengeluarkan anggaran sekitar USD714 juta atau setara Rp10 triliun. Angka ini membengkak Rp3 triliun dari rencana semula yang hanya Rp7 triliun.
Pada Juli 2019 lalu, mantan Komisaris Independen Krakatau Steel Roy Maningkas mencatat permasalahan tersebut sudah disampaikan oleh Dewan Komisaris kepada Kementerian BUMN untuk di ambil jalan keluarnya.
(fai)
tulis komentar anda