Atasi Kelangkaan Minyak Goreng, Ekspor CPO Disarankan Stop Sementara
Selasa, 08 Maret 2022 - 19:05 WIB
Belakangan terungkap, bahwa distributor minyak goreng menjual produknya ke industri fast food, supermarket, hypermarket dan industri skala besar lainnya. Kenapa demikian? Karena industri-industri tersebut mampu membeli dengan harga tinggi, ketimbang ke lapisan pedagang tradisional yang mengacu pada HET.
Akibat perlakuan ini, maka banyak pedagang tradisional terpaksa membeli minyak goreng di ritel modern, yang berakibat harga minyak goreng dijual di atas HET. Sementara di ritel modern menerapkan 'bundling', yakni masyarakat boleh membeli minyak goreng, tetapi harus membeli juga produk lain.
Menurutnya hal itu salah satu bentuk kejahatan dalam perdagangan. Kenapa disebut kejahatan, karena memanfaatkan kesempatan di tengah kelangkaan minyak goreng. Masyarakat mau tidak mengeluarkan biaya lebih besar.
“Baik batubara maupun minyak goreng, sama-sama kaitannya dengan hajat hidup masyarakat, tetapi dalam penanganan krisisnya beda. Batu bara pernah dilarang ekspor selama sebulan, sementara untuk CPO tidak dilarang. Jujur saja, jika masalah kelangkaan minyak goreng tidak kelar-kelar, hal itu bisa menjadi preseden buruk," paparnya.
Lantas dimana hubungannya CPO dengan minyak goreng? Jawabannya di permendag ada istilah PKS (Pabrik Kelapa Sawit), produk dari PKS ini adalah CPO dan PK0 (Palm Kernel Oil). CPO adalah industri hulu bagi industri hilir yakni minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa bulan terakhir ini apakah di tingkat hulu (CPO) atau di tingkat hilirnya (minyak goreng). Bisnis CPO-nya atau bisnis minyak gorengnya.
Sebelum lebih jauh, data produksi minyak sawit nasional sebagaimana dilaporkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sampai akhir tahun lalu (2021) produksi nasional minyak sawit sebesar 51,95 juta kilo liter, terdiri dari 47,47 kilo liter CPO dan 4,48 juga kilo liter PKO. Artinya CPO 91% dari total produksi nasional minyak sawit.
Untuk total konsumsi dalam negeri sebanyak 18,17 juta kilo liter, di dalamnya termasuk alokasi program B-30. Konsumsi CPO mencapai 91 persen dari 18,17 juta kilo liter, sama dengan 16,5 juta kilo liter CPO.
"Diluar hiruk pikuk masalah sawit dan minyak goreng pada akhirnya, kita tidak dapat melupakan jasa-jasa petani kelapa sawit di Indonesia. Mereka tidak tahu menahu masalah ekspor atau minyak goreng yang masuk ke pasar konsumen," terangnya.
Akibat perlakuan ini, maka banyak pedagang tradisional terpaksa membeli minyak goreng di ritel modern, yang berakibat harga minyak goreng dijual di atas HET. Sementara di ritel modern menerapkan 'bundling', yakni masyarakat boleh membeli minyak goreng, tetapi harus membeli juga produk lain.
Menurutnya hal itu salah satu bentuk kejahatan dalam perdagangan. Kenapa disebut kejahatan, karena memanfaatkan kesempatan di tengah kelangkaan minyak goreng. Masyarakat mau tidak mengeluarkan biaya lebih besar.
“Baik batubara maupun minyak goreng, sama-sama kaitannya dengan hajat hidup masyarakat, tetapi dalam penanganan krisisnya beda. Batu bara pernah dilarang ekspor selama sebulan, sementara untuk CPO tidak dilarang. Jujur saja, jika masalah kelangkaan minyak goreng tidak kelar-kelar, hal itu bisa menjadi preseden buruk," paparnya.
Lantas dimana hubungannya CPO dengan minyak goreng? Jawabannya di permendag ada istilah PKS (Pabrik Kelapa Sawit), produk dari PKS ini adalah CPO dan PK0 (Palm Kernel Oil). CPO adalah industri hulu bagi industri hilir yakni minyak goreng.
Kelangkaan minyak goreng yang terjadi beberapa bulan terakhir ini apakah di tingkat hulu (CPO) atau di tingkat hilirnya (minyak goreng). Bisnis CPO-nya atau bisnis minyak gorengnya.
Sebelum lebih jauh, data produksi minyak sawit nasional sebagaimana dilaporkan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sampai akhir tahun lalu (2021) produksi nasional minyak sawit sebesar 51,95 juta kilo liter, terdiri dari 47,47 kilo liter CPO dan 4,48 juga kilo liter PKO. Artinya CPO 91% dari total produksi nasional minyak sawit.
Untuk total konsumsi dalam negeri sebanyak 18,17 juta kilo liter, di dalamnya termasuk alokasi program B-30. Konsumsi CPO mencapai 91 persen dari 18,17 juta kilo liter, sama dengan 16,5 juta kilo liter CPO.
"Diluar hiruk pikuk masalah sawit dan minyak goreng pada akhirnya, kita tidak dapat melupakan jasa-jasa petani kelapa sawit di Indonesia. Mereka tidak tahu menahu masalah ekspor atau minyak goreng yang masuk ke pasar konsumen," terangnya.
tulis komentar anda