RI Butuh Duit Rp3.461 Triliun, Sri Mulyani: Ongkos Kurangi Emisi Mahal
Selasa, 28 Juni 2022 - 16:52 WIB
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, bahwa ongkos yang harus dibayar untuk mengurangi emisi karbon di Indonesia sangat mahal. Indonesia sendiri telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
"Dari komitmen Indonesia yang sudah ditetapkan di dalam NDC, sektor kehutanan merupakan sektor yang menyerap emisi karbon atau CO2. Namun juga yang paling banyak menyumbang karbon. Proyeksi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target NDC 29% pada 2030 saja butuh anggaran sebesar Rp3.461,31 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Kongres Kehutanan Indonesia VII 2022 di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Dari jumlah anggaran tersebut, sebesar Rp77,82 triliun dialokasikan untuk sektor kehutanan dan lahan, Rp3.307,2 triliun untuk sektor energi dan transportasi, industrial process and product uses (IPPU) sebesar Rp40,77 triliun, sektor perlimbahan Rp30,34 triliun, dan sektor pertanian sebesar Rp5,18 triliun.
"Kontribusi untuk kehutanan kecil, tapi kontribusi penurunannya paling besar. Penurunan karbonnya paling besar yaitu 497 juta ton dan 692 juta ton dari sektor kehutanan kalau menggunakan target 29% dan 41% penurunan karbon," ungkap Sri.
Sementara di sektor energi dan transportasi penurunan karbonnya hanya 446 juta ton untuk 41% penurunan karbon. Namun biaya yang harus dialokasikan sebesar Rp3.307,2 triliun. "Bandingkan Rp77 triliun versus Rp 3.300 triliun. Strategi kita dari pendanaan bisa membangun dari negara maju dan konsekuensi biaya berbeda-beda," ucapnya.
Dia menyebutkan, mahalnya ongkos mitigasi perubahan iklim ini merupakan komitmen global, sehingga seharusnya negara maju juga turut andil dalam berupaya mengurangi emisi gas karbon di dunia.
"Yang membuat polusi duluan negara maju. Negara maju sudah menebang dahulu, sudah buat revolusi industri semenjak tahun 1800. Polusi udara itu kebanyakan dari Anda (Negara maju) juga, kita baru jalan sedikit-sedikit sekarang sudah climate change. Ini yang disebut keadilan jadi penting," tegas Sri Mulyani.
Selain itu, dia menyebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah instrumen penting dalam mengantisipasi perubahan iklim di dalam negeri. Sektor energi, sambung Sri Mulyani, merupakan sektor yang implikasinya paling besar terhadap APBN dalam mendukung ekonomi hijau di dalam negeri.
"Dukungan fiskal untuk mendukung ekonomi hijau didominasi sektor energi, bisa menghabiskan subsidi dan kompensasi di atas Rp500 triliun untuk satu anggaran ini (2023), gara-gara harga energi luar biasa. Rp500 triliun itu uang beneran," tambah Sri Mulyani.
"Dari komitmen Indonesia yang sudah ditetapkan di dalam NDC, sektor kehutanan merupakan sektor yang menyerap emisi karbon atau CO2. Namun juga yang paling banyak menyumbang karbon. Proyeksi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target NDC 29% pada 2030 saja butuh anggaran sebesar Rp3.461,31 triliun," ujar Sri Mulyani dalam Kongres Kehutanan Indonesia VII 2022 di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Dari jumlah anggaran tersebut, sebesar Rp77,82 triliun dialokasikan untuk sektor kehutanan dan lahan, Rp3.307,2 triliun untuk sektor energi dan transportasi, industrial process and product uses (IPPU) sebesar Rp40,77 triliun, sektor perlimbahan Rp30,34 triliun, dan sektor pertanian sebesar Rp5,18 triliun.
"Kontribusi untuk kehutanan kecil, tapi kontribusi penurunannya paling besar. Penurunan karbonnya paling besar yaitu 497 juta ton dan 692 juta ton dari sektor kehutanan kalau menggunakan target 29% dan 41% penurunan karbon," ungkap Sri.
Sementara di sektor energi dan transportasi penurunan karbonnya hanya 446 juta ton untuk 41% penurunan karbon. Namun biaya yang harus dialokasikan sebesar Rp3.307,2 triliun. "Bandingkan Rp77 triliun versus Rp 3.300 triliun. Strategi kita dari pendanaan bisa membangun dari negara maju dan konsekuensi biaya berbeda-beda," ucapnya.
Dia menyebutkan, mahalnya ongkos mitigasi perubahan iklim ini merupakan komitmen global, sehingga seharusnya negara maju juga turut andil dalam berupaya mengurangi emisi gas karbon di dunia.
"Yang membuat polusi duluan negara maju. Negara maju sudah menebang dahulu, sudah buat revolusi industri semenjak tahun 1800. Polusi udara itu kebanyakan dari Anda (Negara maju) juga, kita baru jalan sedikit-sedikit sekarang sudah climate change. Ini yang disebut keadilan jadi penting," tegas Sri Mulyani.
Selain itu, dia menyebutkan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah instrumen penting dalam mengantisipasi perubahan iklim di dalam negeri. Sektor energi, sambung Sri Mulyani, merupakan sektor yang implikasinya paling besar terhadap APBN dalam mendukung ekonomi hijau di dalam negeri.
"Dukungan fiskal untuk mendukung ekonomi hijau didominasi sektor energi, bisa menghabiskan subsidi dan kompensasi di atas Rp500 triliun untuk satu anggaran ini (2023), gara-gara harga energi luar biasa. Rp500 triliun itu uang beneran," tambah Sri Mulyani.
(akr)
tulis komentar anda