Hindari Resesi, Jaga Daya Beli
Selasa, 19 Juli 2022 - 09:47 WIB
JAKARTA - Sebagai bagian dari lingkup perekonomian dunia, kondisi ekonomi Indonesia sedikit banyak terpengaruh dampak ketidakpastian global. Untuk itu perlu langkah strategis dan taktis untuk menghindari dampak lebih luas ke perekonomian domestik.
Sejumlah faktor diketahui telah menyebabkan kondisi ekonomi global gonjang-ganjing. Inflasi yang tinggi, tren suku bunga yang terus merangkak naik, serta harga energi dan pangan yang cenderung meningkat sehingga menuntut para pemangku kepentingan bergerak cepat.
Berkaca kepada berbagai krisis yang pernah dialami dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah kalangan mengakui Indonesia optimistis bisa menghadapi gejolak yang sedang terjadi. Pelajaran dari krisis moneter pada 1998 dan krisis keuangan global pada 2008 silam bisa menjadi cermin bagaimana pemerintah mengelolanya.
Akan tetapi kali ini kewaspadaan mutlak diperlukan mengingat krisis yang dipacu kenaikan harga komoditas pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina tersebut telah memakan korban. Sri Lanka adalah contoh nyata bagaimana dampak gejolak ekonomi global cukup terasa.
Beberapa waktu lalu, Bloomberg merilis survei mengenai probabilitas 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi. Berdasarkan survei tersebut, Sri Lanka menjadi negara nomor satu yang memiliki probabilitas 85% terkena resesi. Selain itu ada Selandia Baru (33%), Korea Selatan (25%), Jepang (25%), China (20%), Hong Kong (20%), dan Australia (20%). Setelah itu Taiwan juga memiliki probabilitas mengalami resesi sebesar 20%, Pakistan (20%), Malaysia (13%), Vietnam (10%), Thailand (10%), Filipina (8%) , Indonesia (3%), dan India (0%).
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, dengan probabilitas 3%, kemungkinan Indonesia resesi itu sangat rendah. Alasannya Indonesia mendapatkanwindfalldari kenaikan harga komoditas dan energi.
"Jadi, negara-negara ini justru terpukul akibat kenaikan harga energi. Ekonomi mereka langsung kena dampaknya karena tidak punya komoditas dan energi sehingga ketika terjadi kenaikan harga pangan atau energione to onelangsung ditransmisikan ke dalam negeri. Berbeda dengan Indonesia, barang-barang kita, kita jual ke luar negeri. Kita dapatwindfall,” ujarnya saat dihubungiKORAN SINDO, Senin (18/7/2022).
Dariwindfallitu, menurutnya, pemerintah mengalokasikan untuksocial benefittransferdan menahan harga. Pemerintah memang menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite dan solar. Bahkan pertamax pun tak dilepas sepenuhnya sesuai harga keekonomiannya. Jika harga BBM subsidi itu dinaikkan, hal itu akan merembet ke harga pangan. Ujungnya,daya beli masyarakat yang baru pulih, bisa kembali terpukul.
Sejumlah faktor diketahui telah menyebabkan kondisi ekonomi global gonjang-ganjing. Inflasi yang tinggi, tren suku bunga yang terus merangkak naik, serta harga energi dan pangan yang cenderung meningkat sehingga menuntut para pemangku kepentingan bergerak cepat.
Berkaca kepada berbagai krisis yang pernah dialami dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah kalangan mengakui Indonesia optimistis bisa menghadapi gejolak yang sedang terjadi. Pelajaran dari krisis moneter pada 1998 dan krisis keuangan global pada 2008 silam bisa menjadi cermin bagaimana pemerintah mengelolanya.
Akan tetapi kali ini kewaspadaan mutlak diperlukan mengingat krisis yang dipacu kenaikan harga komoditas pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina tersebut telah memakan korban. Sri Lanka adalah contoh nyata bagaimana dampak gejolak ekonomi global cukup terasa.
Beberapa waktu lalu, Bloomberg merilis survei mengenai probabilitas 15 negara Asia yang berpotensi mengalami resesi. Berdasarkan survei tersebut, Sri Lanka menjadi negara nomor satu yang memiliki probabilitas 85% terkena resesi. Selain itu ada Selandia Baru (33%), Korea Selatan (25%), Jepang (25%), China (20%), Hong Kong (20%), dan Australia (20%). Setelah itu Taiwan juga memiliki probabilitas mengalami resesi sebesar 20%, Pakistan (20%), Malaysia (13%), Vietnam (10%), Thailand (10%), Filipina (8%) , Indonesia (3%), dan India (0%).
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian Iskandar Simorangkir mengatakan, dengan probabilitas 3%, kemungkinan Indonesia resesi itu sangat rendah. Alasannya Indonesia mendapatkanwindfalldari kenaikan harga komoditas dan energi.
"Jadi, negara-negara ini justru terpukul akibat kenaikan harga energi. Ekonomi mereka langsung kena dampaknya karena tidak punya komoditas dan energi sehingga ketika terjadi kenaikan harga pangan atau energione to onelangsung ditransmisikan ke dalam negeri. Berbeda dengan Indonesia, barang-barang kita, kita jual ke luar negeri. Kita dapatwindfall,” ujarnya saat dihubungiKORAN SINDO, Senin (18/7/2022).
Dariwindfallitu, menurutnya, pemerintah mengalokasikan untuksocial benefittransferdan menahan harga. Pemerintah memang menahan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite dan solar. Bahkan pertamax pun tak dilepas sepenuhnya sesuai harga keekonomiannya. Jika harga BBM subsidi itu dinaikkan, hal itu akan merembet ke harga pangan. Ujungnya,daya beli masyarakat yang baru pulih, bisa kembali terpukul.
tulis komentar anda