Kenaikan Tarif Ojol Ketinggian, Ekonom: Inflasi Bisa Makin Liar
Jum'at, 12 Agustus 2022 - 23:23 WIB
JAKARTA - Kenaikan tarif ojek online (ojol) menuai pro dan kontra. Pasalnya, kenaikannya dinilai terlampau tinggi sehingga berpotensi membebani masyarakat dan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) serta ekonomi nasional.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, tarif baru ojol yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kenaikannya mencapai lebih dari 30%.
“Kenaikan tarif baru ojol memang tinggi, mungkin lebih dari 30%. Pada kilometer pertama hingga empat saja, kenaikannya sudah 50%. Sehingga, nanti tarif ojol baru ini akan terasa sekali,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (12/8/2022).
Dengan kenaikan setinggi itu, sambung Piter, maka tarif ojol nantinya akan mendekati tarif taksi. Hal ini bisa menurunkan minat masyarakat mengunakan ojol. Jika ini terjadi maka akan berdampak negatif terhadap para pengemudi atau driver ojol karena pendapatan mereka bisa berkurang.
“Perlu jadi perhatian bahwa masyarakat bawah itu sangat sensitif dengan kenaikan harga. Apalagi daya beli masyarakat sudah tergerus akibat pandemi, banyak PHK, penurunan gaji, kenaikan harga-harga bahan pangan, harga barang, dan sebagainya,” bebernya.
Piter menilai, pernyataan kenaikan tarif ojol ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan driver tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, dengan tarif terlalu tinggi akan membuat pendapatan pengemudi turun dan berdampak cukup luas pada sendi-sendi ekonomi. Di antaranya membuat daya beli turun, memicu kenaikan harga-harga, dan mengerek inflasi.
“Menurut saya, sebelum ada kenaikan tarif ojol inflasi akan berada di kisaran 5-6%. Mengapa sebesar itu, karena banyak produsen belum mentransmisikan kenaikan harga-harga bahan baku terhadap harga jual kepada konsumen. Padahal, inflasi di tingkat produsen itu sudah lebih dari 10%. Sementara inflasi di tingkat konsumen masih 4%,” urainya.
Ditambah kenaikan tarif ojol yang tinggi ini, lanjut Piter, dapat menjadi pemicu bagi produsen untuk mulai menerapkan kenaikan harga bahan baku kepada konsumen.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan, tarif baru ojol yang ditetapkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kenaikannya mencapai lebih dari 30%.
“Kenaikan tarif baru ojol memang tinggi, mungkin lebih dari 30%. Pada kilometer pertama hingga empat saja, kenaikannya sudah 50%. Sehingga, nanti tarif ojol baru ini akan terasa sekali,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (12/8/2022).
Dengan kenaikan setinggi itu, sambung Piter, maka tarif ojol nantinya akan mendekati tarif taksi. Hal ini bisa menurunkan minat masyarakat mengunakan ojol. Jika ini terjadi maka akan berdampak negatif terhadap para pengemudi atau driver ojol karena pendapatan mereka bisa berkurang.
“Perlu jadi perhatian bahwa masyarakat bawah itu sangat sensitif dengan kenaikan harga. Apalagi daya beli masyarakat sudah tergerus akibat pandemi, banyak PHK, penurunan gaji, kenaikan harga-harga bahan pangan, harga barang, dan sebagainya,” bebernya.
Piter menilai, pernyataan kenaikan tarif ojol ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan driver tidak sepenuhnya tepat. Pasalnya, dengan tarif terlalu tinggi akan membuat pendapatan pengemudi turun dan berdampak cukup luas pada sendi-sendi ekonomi. Di antaranya membuat daya beli turun, memicu kenaikan harga-harga, dan mengerek inflasi.
“Menurut saya, sebelum ada kenaikan tarif ojol inflasi akan berada di kisaran 5-6%. Mengapa sebesar itu, karena banyak produsen belum mentransmisikan kenaikan harga-harga bahan baku terhadap harga jual kepada konsumen. Padahal, inflasi di tingkat produsen itu sudah lebih dari 10%. Sementara inflasi di tingkat konsumen masih 4%,” urainya.
Ditambah kenaikan tarif ojol yang tinggi ini, lanjut Piter, dapat menjadi pemicu bagi produsen untuk mulai menerapkan kenaikan harga bahan baku kepada konsumen.
Lihat Juga :
tulis komentar anda