Perluasan Hutan Tersertifikasi FSC Dukung Pencapaian Indonesia’s FOLU Net Sink
Selasa, 11 Oktober 2022 - 11:59 WIB
Dalam dokumen Enhanced NDC, Indonesia menaikkan target penurunan emisi Gas Rumah Kaca dari 29% menjadi 31,89% tanpa syarat atau dari 41% menjadi 43,2% bersyarat. Sementara pada agenda FOLU Net Sink, Indonesia berkomitmen untuk mencapai kondisi di mana tingkat penyerapan GRK dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (FOLU) sudah seimbang atau lebih tinggi dibanding emisinya pada 2030.
Menurut Indroyono, saat ini hutan tanaman Indonesia terhambat untuk bisa mengikuti sertifikasi FSC karena adanya kebijakan Cut of Date 1994. Pasalnya, kebanyakan hutan tanaman di Indonesia umumnya baru dibangun setelah batas waktu tersebut.
(Baca juga:KLHK Siap Wujudkan Ekonomi Hijau Melalui Perhutanan Sosial)
Indroyono menyatakan, jika kebijakan Cut of Date FSC diubah, maka akan lebih banyak hutan tanaman di Indonesia bisa mengikuti sertifikasi FSC sehingga bisa mendorong perbaikan pengelolaan hutan dan memberi insentif pasar. “Ini berarti akan lebih banyak aforestasi dan reforestasi yang dilakukan,” katanya.
Indroyono menuturkan, pemerintah Indonesia saat ini begitu konsisten untuk melakukan upaya pencegahan deforestasi seperti sudah tertuang di dokumen Enhanced NDC dan FOLU Net Sink 2030. “Laju deforestasi di Indonesia sudah menurun sebanyak 80% pada tahun 2021-2022 jika dibandingkan dengan periode tahun 2010-2011,” katanya.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto yakin jika kebijakan Cut of Date menjadi 31 Desember 2020 maka akan semakin banyak unit manajemen hutan tanaman yang bisa disertifikasi FSC dan akan mendorong perbaikan pengelolaan hutan.
Saat ini dari sekitar 11 juta hektare konsesi PBPH hutan tanaman, hanya ada 4 unit manajemen yang tersertifikasi FSC dengan luas 358.761 hektare. “Areal PBPH dan PS adalah areal potensial untuk mendukung target FSC untuk memperluas areal hutan yang tersertifikasi,” katanya.
Purwadi juga mengatakan perubahan Cut of Date tetap akan menjadikan FSC kredibel karena pembatasan konversi hutan alam tetap ada sekaligus diiringi dengan kebijakan untuk melakukan remediasi yang berarti akan semakin mendorong perluasan restorasi dan konservasi hutan.
Purwadi menegaskan, Unit Manajemen yang telah memperoleh sertifikat SVLK dan FSC, berpeluang besar untuk memperluas pangsa pasar di tingkat global.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah. “Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
Menurut Indroyono, saat ini hutan tanaman Indonesia terhambat untuk bisa mengikuti sertifikasi FSC karena adanya kebijakan Cut of Date 1994. Pasalnya, kebanyakan hutan tanaman di Indonesia umumnya baru dibangun setelah batas waktu tersebut.
(Baca juga:KLHK Siap Wujudkan Ekonomi Hijau Melalui Perhutanan Sosial)
Indroyono menyatakan, jika kebijakan Cut of Date FSC diubah, maka akan lebih banyak hutan tanaman di Indonesia bisa mengikuti sertifikasi FSC sehingga bisa mendorong perbaikan pengelolaan hutan dan memberi insentif pasar. “Ini berarti akan lebih banyak aforestasi dan reforestasi yang dilakukan,” katanya.
Indroyono menuturkan, pemerintah Indonesia saat ini begitu konsisten untuk melakukan upaya pencegahan deforestasi seperti sudah tertuang di dokumen Enhanced NDC dan FOLU Net Sink 2030. “Laju deforestasi di Indonesia sudah menurun sebanyak 80% pada tahun 2021-2022 jika dibandingkan dengan periode tahun 2010-2011,” katanya.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto yakin jika kebijakan Cut of Date menjadi 31 Desember 2020 maka akan semakin banyak unit manajemen hutan tanaman yang bisa disertifikasi FSC dan akan mendorong perbaikan pengelolaan hutan.
Saat ini dari sekitar 11 juta hektare konsesi PBPH hutan tanaman, hanya ada 4 unit manajemen yang tersertifikasi FSC dengan luas 358.761 hektare. “Areal PBPH dan PS adalah areal potensial untuk mendukung target FSC untuk memperluas areal hutan yang tersertifikasi,” katanya.
Purwadi juga mengatakan perubahan Cut of Date tetap akan menjadikan FSC kredibel karena pembatasan konversi hutan alam tetap ada sekaligus diiringi dengan kebijakan untuk melakukan remediasi yang berarti akan semakin mendorong perluasan restorasi dan konservasi hutan.
Purwadi menegaskan, Unit Manajemen yang telah memperoleh sertifikat SVLK dan FSC, berpeluang besar untuk memperluas pangsa pasar di tingkat global.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Kehutanan Internasional (Cifor) Herry Purnomo mendukung jika batas cut of date FSC menyesuaikan dengan kondisi pada sebuah negara atau wilayah. “Secara scientific standard seharusnya adaptif sesuai konteks. Tidak ada satu standard yang cocok untuk semua kondisi karena ekosistem atau sosialnya pasti berbeda,” katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda