Catatan Akhir Tahun, Rekognisi Lembaga Halal Internasional Macet?
Rabu, 28 Desember 2022 - 16:54 WIB
JAKARTA - Saat halal bukan lagi berkaitan dengan persoalan wilayah hukum, tetapi sudah menjadi wilayah perizinan. Hal ini berpengaruh pada perubahan peran Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam persoalan standarisasi halal dunia.
Hal itu ditandai ketika Undang-Undang Jaminan produk halal Nomor 33 tahun 2014 tentang sistem jaminan produk halal diberlakukan, dan setelah lima tahun disatukan di dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, dan menjadi bagian di dalam UU Cipta kerja.
Semula lembaga halal diselenggarakan oleh masyarakat melalui lembaga keagamaan yaitu MUI, kemudian beralih ke wilayah negara.
Sertifikasi halal diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama sesuai Peraturan Menteri Agama No 26 tahun 2019. Sehingga, rekognisi harus dilakukan oleh negara dengan lembaga halal internasional yang dilakukan melalui Mutual Recognition Agreement (MRA).
“Saat ini negara diposisikan sama dengan lembaga halal internasional yang selama ini tergabung dalam WHFC (World Halal Food Council), yang kemudian perlu dilakukan MRA secara teknis. Inilah salah satu penyebab kelambanan dan memicu permasalahan yang akan menciptakan dampak buruk bagi perdagangan internasional,” ucap Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch), Ikhsan Abdullah dalam keterangannya, Rabu (28/12/2022).
Lebih lanjut Ia mencontihkan, dalam kasus GMBH (Gesellschaft mit beschränkter Haftung), sebuah lembaga sertifikasi halal yang berada di Jerman, masa rekognisinya sudah habis dan MUI tidak lagi memberikan rekognisi disebabkan kewenangannya sudah beralih ke BPJPH.
“Namun, karena proses pemberian rekognisi yang lamban, menimbulkan permasalahan terkait produk-produk raw material dari Jerman, dan kawasan Eropa lainnya tertahan di pelabuhan Indonesia,” paparnya.
Hal itu ditandai ketika Undang-Undang Jaminan produk halal Nomor 33 tahun 2014 tentang sistem jaminan produk halal diberlakukan, dan setelah lima tahun disatukan di dalam UU Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020, dan menjadi bagian di dalam UU Cipta kerja.
Semula lembaga halal diselenggarakan oleh masyarakat melalui lembaga keagamaan yaitu MUI, kemudian beralih ke wilayah negara.
Sertifikasi halal diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama sesuai Peraturan Menteri Agama No 26 tahun 2019. Sehingga, rekognisi harus dilakukan oleh negara dengan lembaga halal internasional yang dilakukan melalui Mutual Recognition Agreement (MRA).
“Saat ini negara diposisikan sama dengan lembaga halal internasional yang selama ini tergabung dalam WHFC (World Halal Food Council), yang kemudian perlu dilakukan MRA secara teknis. Inilah salah satu penyebab kelambanan dan memicu permasalahan yang akan menciptakan dampak buruk bagi perdagangan internasional,” ucap Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Halal (Indonesia Halal Watch), Ikhsan Abdullah dalam keterangannya, Rabu (28/12/2022).
Lebih lanjut Ia mencontihkan, dalam kasus GMBH (Gesellschaft mit beschränkter Haftung), sebuah lembaga sertifikasi halal yang berada di Jerman, masa rekognisinya sudah habis dan MUI tidak lagi memberikan rekognisi disebabkan kewenangannya sudah beralih ke BPJPH.
“Namun, karena proses pemberian rekognisi yang lamban, menimbulkan permasalahan terkait produk-produk raw material dari Jerman, dan kawasan Eropa lainnya tertahan di pelabuhan Indonesia,” paparnya.
tulis komentar anda