Menilik Kinerja Saham Bank Digital: Bersinar di 2021, Pudar di 2022
Rabu, 28 Desember 2022 - 21:20 WIB
“Kita harus flashback untuk memahami mengapa sektor teknologi tahun 2020 hingga 2021 booming. Selain adaptasi teknologi yang kuat selama pandemi, kebijakan stimulus moneter juga berpengaruh,” jelas Farras, dalam keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menambahkan, kebijakan stimulus yang dilakukan banyak negara membuat tingkat suku bunga menjadi rendah. Para pengelola dana kelas kakap (hedge fund) dan investor pada umumnya terpacu untuk mencari instrumen yang memberikan keuntungan lebih besar.
Menurut Tirta, pada masa pandemi, terutama di periode 2020-2021, saham-saham yang terkait dengan Old Economy tidak terlalu diminati karena bisnis emiten-emiten tersebut tengah tertekanan akibat pandemi. Saham-saham New Economy yang belum dilirik pun menjadi incaran sehingga mendorong kenaikan harga yang signifikan.
“Kondisi ekonomi yang tertekan membuat saham-saham Old Economy dihindari. Investor pun akhirnya berlomba-lomba masuk ke perusahaan yang terkait teknologi seperti bank digital. Harga sahamnya pun booming, bahkan di saat bank-bank tersebut belum memiliki produk aplikasi,” jelasnya.
Menurut Tirta, memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Namun, sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.
Serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah memicu kenaikan inflasi global yang tak terkendali. Perang telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.
Tak pelak, sejumlah negara diterjang inflasi. AS mencatat inflasi 8,5% pada Juli 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Zona Eropa kemudian menyusul rekor inflasi tertinggi di Oktober 2022 sebesar 10,6%. Tidak ketinggalan, Inggris yang sudah talak tiga dengan Uni Eropa juga mencatat rekor inflasi 11,1% di bulan yang sama.
“Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor untuk melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial, seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas,” jelas Tirta.
Merujuk pada data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDXTechno sampai dengan 19 Desember 2022 merupakan yang paling jeblok. IDXTechno telah anjlok 43,12% (year to date) sedangkan indeks IDXEnergy melonjak 88% (year to date).
Wakil Direktur Utama PT Bank Jago Tbk. Arief Harris Tandjung menjelaskan, kondisi pasar dan faktor sentimen yang memengaruhinya merupakan sesuatu yang di luar kontrol perusahaan. Menurutnya, kenaikan harga saham perseroan pada 2020-2021 tidak terlepas dari persepsi investor yang menilai Bank Jago sebagai perusahaan teknologi.
Analis MNC Sekuritas Tirta Widi Gilang Citradi menambahkan, kebijakan stimulus yang dilakukan banyak negara membuat tingkat suku bunga menjadi rendah. Para pengelola dana kelas kakap (hedge fund) dan investor pada umumnya terpacu untuk mencari instrumen yang memberikan keuntungan lebih besar.
Menurut Tirta, pada masa pandemi, terutama di periode 2020-2021, saham-saham yang terkait dengan Old Economy tidak terlalu diminati karena bisnis emiten-emiten tersebut tengah tertekanan akibat pandemi. Saham-saham New Economy yang belum dilirik pun menjadi incaran sehingga mendorong kenaikan harga yang signifikan.
“Kondisi ekonomi yang tertekan membuat saham-saham Old Economy dihindari. Investor pun akhirnya berlomba-lomba masuk ke perusahaan yang terkait teknologi seperti bank digital. Harga sahamnya pun booming, bahkan di saat bank-bank tersebut belum memiliki produk aplikasi,” jelasnya.
Menurut Tirta, memasuki tahun 2022 faktor-faktor yang mendukung kenaikan saham-saham bank digital mulai pudar. Stimulus besar-besaran perlahan memang membangkitkan sisi permintaan. Namun, sisi pasokan tidak mampu mengimbagi tren pemulihan permintaan sehingga menimbulkan gangguan pada rantai pasok global.
Serangan Rusia ke Ukraina pada Februari 2022 telah memicu kenaikan inflasi global yang tak terkendali. Perang telah memicu kenaikan harga komoditas energi, mulai dari minyak hingga batu bara.
Tak pelak, sejumlah negara diterjang inflasi. AS mencatat inflasi 8,5% pada Juli 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Zona Eropa kemudian menyusul rekor inflasi tertinggi di Oktober 2022 sebesar 10,6%. Tidak ketinggalan, Inggris yang sudah talak tiga dengan Uni Eropa juga mencatat rekor inflasi 11,1% di bulan yang sama.
“Kenaikan inflasi membuat biaya dana semakin mahal dan perusahaan teknologi yang sebelumnya didukung banyak dana murah, mulai ditinggalkan dan investor untuk melakukan rebalancing ke sektor-sektor potensial, seperti saham energi yang mendapat windfall dari harga komoditas,” jelas Tirta.
Merujuk pada data Bursa Efek Indonesia, kinerja IDXTechno sampai dengan 19 Desember 2022 merupakan yang paling jeblok. IDXTechno telah anjlok 43,12% (year to date) sedangkan indeks IDXEnergy melonjak 88% (year to date).
Wakil Direktur Utama PT Bank Jago Tbk. Arief Harris Tandjung menjelaskan, kondisi pasar dan faktor sentimen yang memengaruhinya merupakan sesuatu yang di luar kontrol perusahaan. Menurutnya, kenaikan harga saham perseroan pada 2020-2021 tidak terlepas dari persepsi investor yang menilai Bank Jago sebagai perusahaan teknologi.
tulis komentar anda