Menata Ulang Strategi Bisnis
loading...
A
A
A
NEW YORK - Pandemi virus orona (Covid-19), yang pertama kali terdeteksi di China, telah menginfeksi hampir 13 juta jiwa di seluruh dunia dan menyebabkan kematian hingga 568.509 orang.
Bukan hanya kerugian jiwa dan kesehatan, pandemi itu menyebabkan lumpuhnya banyak sektor bisnis. Krisis ekonomi pun tak bisa dihindari sehingga membutuhkan pemulihan dengan segera. Untuk itu, perlu perubahan strategi mendasar agar risiko berkurangnya aktivitas bisnis bisa diimbangi dengan produktivitas.
McKinsey & Management, firma konsultasi manajemen global, dalam laporannya mengajukan saran, kondisi krisis di saat pandemi mendorong setiap perusahaan menemukan kembali atau menata ulang model bisnisnya. Saran berikutnya, perusahaan harus mencoba keluar dari zona nyaman dengan tidak mengandalkan tujuan jangka pendek. "Perlunya adopsi artificial intelligence (AI) dan algoritma sebagai pemikiran dan mendefinisikan ulang bisnis," demikian saran McKinsey.
Namun, model bisnis saja tidak cukup. Perusahaan juga harus memperhatikan risiko krisis korona lebih mendalam dan lebih luas. Misalnya risiko kebijakan jaga jarak yang ternyata berdampak luas bagi bisnis. Namun, perlu juga dipertimbangkan risiko kesehatan pada karyawan karena akan berpengaruh terhadap produktivitas pegawai. (Baca: Tanah Gratis, Relokasi Pabrik China Berbondong-bondong Masuk)
“Perusahaan harus menyiapkan penilaian bisnis secara berkelanjutan dan menyiapkan manajemen risiko serta analisis dampak bisnis,” tambah Steven Minsky, CEO Logic Manager, konsultan manajemen risiko.
Tak kalah penting pula manajemen insiden. Ini perlu karena pada saat pandemi perusahaan harus berhadapan dengan tuntutan pelanggan yang menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Dampak pandemi ini terasa langsung oleh sejumlah perusahaan global di beberapa sektor. Sebut saja sektor minyak dan gas bumi, ritel, penerbangan, hingga sektor keuangan.
Laporan majalah Fortune menyebutkan, ada banyak perusahaan yang terdampak pandemi yang kini sedang berhadapan dengan pengadilan karena mengajukan perlindungan kepailitan alias bangkrut. Sebut saja maskapai Latam Airlines yang kini menanggung beban utang USD24,4 miliar, kemudian perusahaan ritel JC Penney, hingga Hertz Corporation.
10,4% Pekerjaan Terdampak
Krisis akibat pandemi juga menyebabkan tingkat pengangguran meningkat tajam. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kini semakin banyak orang yang mencari pekerjaan. Menurut lembaga itu, sekitar 10,4% pekerjaan di seluruh dunia terkena dampak. Pariwisata, penerbangan, dan perhotelan merupakan sektor paling terpengaruh. (Baca juga: Kasus Virus Corona Tembus 13 Juta Orang di Seluruh Dunia)
"Penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi menjadi pukulan dahsyat ke pasar tenaga kerja global," ujar IMF dalam keterangan resmi yang diumumkan Rabu, 24 Juni 2020 lalu. IMF menyatakan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan global dalam aktivitas kerja pada kuartal II/2020 diperkirakan setara dengan kerugian lebih dari 300 juta pekerjaan penuh waktu.
Di saat pandemi, perusahaan memang sudah banyak yang melaksanakan serangkaian kebijakan dan strategi untuk menyelamatkan bisnisnya. Dengan begitu, krisis Covid-19 memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnis masa depan yang menjadikan digital sebagai pusat interaksi. Industri pun memaksa baik organisasi atau individu untuk bisa mengadopsi perubahan setiap saat.
Survei McKinsey di Eropa menyebutkan, 70% para eksekutif di Austria, Jerman, dan Swiss menyatakan pandemi virus corona menjadi kesempatan untuk akselerasi menuju transformasi digital. Itu menunjukkan kerja dan bisnis tidak mengenal sektor dan faktor geografis.
Perbankan bergerak ke kanal online. Penyedia layanan kesehatan berpindah ke tele-kesehatan. Demikian juga sektor ritel yang bergerak menjadi e-commerce guna menghindari transaksi kontak langsung. "Pemimpin bisnis harus mampu mendapatkan dukungan untuk membangun kepercayaan, di mana banyak orang tetap optimistis," demikian laporan McKinsey.
Kemudian, strategi paling praktis dalam perubahan model bisnis adalah pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan new normal. Apalagi dalam laporan IFS, perusahaan peranti lunak menyatakan 70% perusahaan di dunia mengalami peningkatan transformasi digital karena Covid-19.
Aktivitas Usaha Nasional Melambat
Sentimen negatif bisnis di tataran global juga setali tiga uang dengan kondisi di dalam negeri. Laporan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, kegiatan usaha pada kuartal II/2020 mengalami penurunan signifikan. Hal itu terlihat dari nilai saldo bersih tertimbang (SBT) yang minus 35,75%. Angka itu terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang minus 5,56%. (Baca juga: Ahli Virus China Melarikan Diri ke AS, Klaim Beijing Menutupi-nutupi Corona)
Direktur Eksekutif Komunikasi BI Onny Widjarnako mengatakan, penurunan kegiatan dunia usaha terjadi pada seluruh sektor ekonomi dengan penurunan terdalam pada sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta jasa-jasa. "Penyebab utamanya penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat pandemi," ujar Onny melalui siaran pers di Jakarta kemarin.
Menurut BI, sejalan dengan penurunan kegiatan dunia usaha, kapasitas produksi terpakai dan penggunaan tenaga kerja pada periode April-Juni 2020 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Sementara itu, peneliti senior pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri mengatakan, pandemi Covid-19 melahirkan adanya fenomena disrupsi globalisasi, bahkan lebih tajam lagi memunculkan deglobalisasi. Sebagian besar negara akan merespons dengan mengadopsi kebijakan yang lebih proteksionis untuk melindungi pasar domestik dari gangguan global.
Dia menambahkan, para pembuat kebijakan dan pebisnis perlu memikirkan kembali deglobalisasi yang disebabkan pandemi Covid-19. "Negara-negara dipaksa untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dari kapasitas produk domestik. Semua mengarah pada reorientasi pasar domestik," ujarnya di Jakarta kemarin.
Dia melanjutkan, tren deglobalisasi juga memperbaiki format pembangunan setiap negara agar lebih berkeadilan. Bahkan pandemi Covid-19 ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan impor. Apalagi, hampir aktivitas ekspor dan impor tidak berjalan dengan baik dan tidak banyak alternatif kerja sama dengan negara lain. (Baca juga: Pemerintah Diminta Hati-hati Libatkan TNI Dalam Penanganan Terorisme)
Menurut dia, kemandirian ekonomi nasional merupakan keniscayaan bagi negara ekonomi berkembang. Untuk itu, Indonesia perlu membangkitkan kembali produksi dan mengembangkan industrialisasi. "Negara berkembang seperti Indonesia harus mempunyai kebijakan afirmasi, bagaimana membangun kemandirian jiwa dan mengubah struktur ekonomi yang tidak berkeadilan ini menjadi negara yang adil makmur dan sejahtera," desaknya.
Peneliti senior Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan, persoalan utama dampak pandemi Covid-19 membuat aktivitas masyarakat terganggu. Hal ini berpengaruh pada sisi pasokan di mana produksi terganggu karena distribusi terganggu sehingga menyebabkan biaya menjadi tinggi. (Lihat videonya: Pemotor Arogan Hentikan Ambulans yang Sedang Membawa Pasien)
Dari sisi permintaan juga terganggu karena sumber pendapatan yang hilang sehingga menyebabkan daya beli masyarakat rendah. (Andika H mustaqim/Oktiani Endarwati)
Bukan hanya kerugian jiwa dan kesehatan, pandemi itu menyebabkan lumpuhnya banyak sektor bisnis. Krisis ekonomi pun tak bisa dihindari sehingga membutuhkan pemulihan dengan segera. Untuk itu, perlu perubahan strategi mendasar agar risiko berkurangnya aktivitas bisnis bisa diimbangi dengan produktivitas.
McKinsey & Management, firma konsultasi manajemen global, dalam laporannya mengajukan saran, kondisi krisis di saat pandemi mendorong setiap perusahaan menemukan kembali atau menata ulang model bisnisnya. Saran berikutnya, perusahaan harus mencoba keluar dari zona nyaman dengan tidak mengandalkan tujuan jangka pendek. "Perlunya adopsi artificial intelligence (AI) dan algoritma sebagai pemikiran dan mendefinisikan ulang bisnis," demikian saran McKinsey.
Namun, model bisnis saja tidak cukup. Perusahaan juga harus memperhatikan risiko krisis korona lebih mendalam dan lebih luas. Misalnya risiko kebijakan jaga jarak yang ternyata berdampak luas bagi bisnis. Namun, perlu juga dipertimbangkan risiko kesehatan pada karyawan karena akan berpengaruh terhadap produktivitas pegawai. (Baca: Tanah Gratis, Relokasi Pabrik China Berbondong-bondong Masuk)
“Perusahaan harus menyiapkan penilaian bisnis secara berkelanjutan dan menyiapkan manajemen risiko serta analisis dampak bisnis,” tambah Steven Minsky, CEO Logic Manager, konsultan manajemen risiko.
Tak kalah penting pula manajemen insiden. Ini perlu karena pada saat pandemi perusahaan harus berhadapan dengan tuntutan pelanggan yang menyesuaikan dengan kondisi terkini.
Dampak pandemi ini terasa langsung oleh sejumlah perusahaan global di beberapa sektor. Sebut saja sektor minyak dan gas bumi, ritel, penerbangan, hingga sektor keuangan.
Laporan majalah Fortune menyebutkan, ada banyak perusahaan yang terdampak pandemi yang kini sedang berhadapan dengan pengadilan karena mengajukan perlindungan kepailitan alias bangkrut. Sebut saja maskapai Latam Airlines yang kini menanggung beban utang USD24,4 miliar, kemudian perusahaan ritel JC Penney, hingga Hertz Corporation.
10,4% Pekerjaan Terdampak
Krisis akibat pandemi juga menyebabkan tingkat pengangguran meningkat tajam. Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut kini semakin banyak orang yang mencari pekerjaan. Menurut lembaga itu, sekitar 10,4% pekerjaan di seluruh dunia terkena dampak. Pariwisata, penerbangan, dan perhotelan merupakan sektor paling terpengaruh. (Baca juga: Kasus Virus Corona Tembus 13 Juta Orang di Seluruh Dunia)
"Penurunan tajam dalam aktivitas ekonomi menjadi pukulan dahsyat ke pasar tenaga kerja global," ujar IMF dalam keterangan resmi yang diumumkan Rabu, 24 Juni 2020 lalu. IMF menyatakan, kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan global dalam aktivitas kerja pada kuartal II/2020 diperkirakan setara dengan kerugian lebih dari 300 juta pekerjaan penuh waktu.
Di saat pandemi, perusahaan memang sudah banyak yang melaksanakan serangkaian kebijakan dan strategi untuk menyelamatkan bisnisnya. Dengan begitu, krisis Covid-19 memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk mengembangkan bisnis masa depan yang menjadikan digital sebagai pusat interaksi. Industri pun memaksa baik organisasi atau individu untuk bisa mengadopsi perubahan setiap saat.
Survei McKinsey di Eropa menyebutkan, 70% para eksekutif di Austria, Jerman, dan Swiss menyatakan pandemi virus corona menjadi kesempatan untuk akselerasi menuju transformasi digital. Itu menunjukkan kerja dan bisnis tidak mengenal sektor dan faktor geografis.
Perbankan bergerak ke kanal online. Penyedia layanan kesehatan berpindah ke tele-kesehatan. Demikian juga sektor ritel yang bergerak menjadi e-commerce guna menghindari transaksi kontak langsung. "Pemimpin bisnis harus mampu mendapatkan dukungan untuk membangun kepercayaan, di mana banyak orang tetap optimistis," demikian laporan McKinsey.
Kemudian, strategi paling praktis dalam perubahan model bisnis adalah pemanfaatan teknologi Internet of Things (IoT) bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan new normal. Apalagi dalam laporan IFS, perusahaan peranti lunak menyatakan 70% perusahaan di dunia mengalami peningkatan transformasi digital karena Covid-19.
Aktivitas Usaha Nasional Melambat
Sentimen negatif bisnis di tataran global juga setali tiga uang dengan kondisi di dalam negeri. Laporan Bank Indonesia (BI) menyebutkan, kegiatan usaha pada kuartal II/2020 mengalami penurunan signifikan. Hal itu terlihat dari nilai saldo bersih tertimbang (SBT) yang minus 35,75%. Angka itu terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang minus 5,56%. (Baca juga: Ahli Virus China Melarikan Diri ke AS, Klaim Beijing Menutupi-nutupi Corona)
Direktur Eksekutif Komunikasi BI Onny Widjarnako mengatakan, penurunan kegiatan dunia usaha terjadi pada seluruh sektor ekonomi dengan penurunan terdalam pada sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta jasa-jasa. "Penyebab utamanya penurunan permintaan dan gangguan pasokan akibat pandemi," ujar Onny melalui siaran pers di Jakarta kemarin.
Menurut BI, sejalan dengan penurunan kegiatan dunia usaha, kapasitas produksi terpakai dan penggunaan tenaga kerja pada periode April-Juni 2020 tercatat lebih rendah dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Sementara itu, peneliti senior pada Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didin S Damanhuri mengatakan, pandemi Covid-19 melahirkan adanya fenomena disrupsi globalisasi, bahkan lebih tajam lagi memunculkan deglobalisasi. Sebagian besar negara akan merespons dengan mengadopsi kebijakan yang lebih proteksionis untuk melindungi pasar domestik dari gangguan global.
Dia menambahkan, para pembuat kebijakan dan pebisnis perlu memikirkan kembali deglobalisasi yang disebabkan pandemi Covid-19. "Negara-negara dipaksa untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya dari kapasitas produk domestik. Semua mengarah pada reorientasi pasar domestik," ujarnya di Jakarta kemarin.
Dia melanjutkan, tren deglobalisasi juga memperbaiki format pembangunan setiap negara agar lebih berkeadilan. Bahkan pandemi Covid-19 ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk keluar dari ketergantungan impor. Apalagi, hampir aktivitas ekspor dan impor tidak berjalan dengan baik dan tidak banyak alternatif kerja sama dengan negara lain. (Baca juga: Pemerintah Diminta Hati-hati Libatkan TNI Dalam Penanganan Terorisme)
Menurut dia, kemandirian ekonomi nasional merupakan keniscayaan bagi negara ekonomi berkembang. Untuk itu, Indonesia perlu membangkitkan kembali produksi dan mengembangkan industrialisasi. "Negara berkembang seperti Indonesia harus mempunyai kebijakan afirmasi, bagaimana membangun kemandirian jiwa dan mengubah struktur ekonomi yang tidak berkeadilan ini menjadi negara yang adil makmur dan sejahtera," desaknya.
Peneliti senior Indef, Enny Sri Hartati, mengatakan, persoalan utama dampak pandemi Covid-19 membuat aktivitas masyarakat terganggu. Hal ini berpengaruh pada sisi pasokan di mana produksi terganggu karena distribusi terganggu sehingga menyebabkan biaya menjadi tinggi. (Lihat videonya: Pemotor Arogan Hentikan Ambulans yang Sedang Membawa Pasien)
Dari sisi permintaan juga terganggu karena sumber pendapatan yang hilang sehingga menyebabkan daya beli masyarakat rendah. (Andika H mustaqim/Oktiani Endarwati)
(ysw)