Kementerian PUPR Terseok-seok Kejar Target Backlog Nol di 2045
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR ) mempunyai rencana jangka panjang berupa backlog rumah di tahun 2045 bisa mencapai 0. Saat ini masih terdapat 12,71 juta backlog rumah, dan terus bertambah sekitar 600.000-800.000 rumah tangga baru setiap tahunnya.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur mengatakan, pihaknya kesulitan untuk mengurangi backlog tersebut. Pasalnya, Kementerian PUPR mengatasi permasalahan itu sendirian.
Dia pun mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk ikut berkontribusi dalam pembiayaan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah ( MBR ). Banyak pemda yang menganggap bahwa perumahan rakyat bukan masalah mereka.
"Sampai sekarang pemda menyatakan bahwa rumah MBR urusan pemerintah pusat. Ini jadi masalah kita sekarang," katanya saat ditemui di Hotel Pullman Jakarta, Kamis (19/1).
Kendati demikian, Fitrah mengatakan pihaknya bersama Kementerian Dalam Negeri sedang mencari terobosan agar pemda ikut bersama membantu pembiayaan rumah bersubsidi.
"Ini tak bisa dilakukan Kementerian PUPR sendiri, harus dilakukan oleh semua stakeholder perumahan," pungkasnya.
Pada tahun 2023 Kementerian PUPR akan mengalokasikan dana sebesar Rp30,38 Triliun untuk bantuan pembiayaan sebanyak 230.000 unit rumah. Dana tersebut akan disalurkan melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang dianggarakan sebesar Rp25,18 triliun untuk memfasilitasi KPR FLPP 220.000 unit rumah.
Kemudian untuk subsidi bantuan uang muka (SBUM) disiapkan anggaran sebesar Rp0,89 triliun untuk memfasilitasi KPR SBUM sebanyak 220.000 unit. Bantuan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dianggarkan Rp0,85 triliun untuk memfasilitasi KPR Tapera sebanyak 10.000 unit rumah.
Selain itu bantuan subsidi selisih bunga (SBB) dianggarkan sebesar Rp3,64 triliun untuk memfasilitasi sebanyak 754.004 unit rumah. Disamping itu, Kementerian PUPR mengembangkan pembiayaan perumahan yang menyasar beberapa kelompok masyarakat yaitu MBR informal melalui skema rent to own yang dikombinasikan dengan contractual saving housing.
Kebijakan itu membuat masyarakat perkotaan diarahkan ke hunian vertikal dengan skema staircasing shared ownership (SSO), dan generasi milenial melalui skema KPR dengan jangka waktu lebih panjang yang disesuaikan dengan housing career.
Direktur Rumah Umum dan Komersial Kementerian PUPR Fitrah Nur mengatakan, pihaknya kesulitan untuk mengurangi backlog tersebut. Pasalnya, Kementerian PUPR mengatasi permasalahan itu sendirian.
Dia pun mendorong pemerintah daerah (pemda) untuk ikut berkontribusi dalam pembiayaan rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah ( MBR ). Banyak pemda yang menganggap bahwa perumahan rakyat bukan masalah mereka.
"Sampai sekarang pemda menyatakan bahwa rumah MBR urusan pemerintah pusat. Ini jadi masalah kita sekarang," katanya saat ditemui di Hotel Pullman Jakarta, Kamis (19/1).
Kendati demikian, Fitrah mengatakan pihaknya bersama Kementerian Dalam Negeri sedang mencari terobosan agar pemda ikut bersama membantu pembiayaan rumah bersubsidi.
"Ini tak bisa dilakukan Kementerian PUPR sendiri, harus dilakukan oleh semua stakeholder perumahan," pungkasnya.
Pada tahun 2023 Kementerian PUPR akan mengalokasikan dana sebesar Rp30,38 Triliun untuk bantuan pembiayaan sebanyak 230.000 unit rumah. Dana tersebut akan disalurkan melalui program fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang dianggarakan sebesar Rp25,18 triliun untuk memfasilitasi KPR FLPP 220.000 unit rumah.
Kemudian untuk subsidi bantuan uang muka (SBUM) disiapkan anggaran sebesar Rp0,89 triliun untuk memfasilitasi KPR SBUM sebanyak 220.000 unit. Bantuan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang dianggarkan Rp0,85 triliun untuk memfasilitasi KPR Tapera sebanyak 10.000 unit rumah.
Selain itu bantuan subsidi selisih bunga (SBB) dianggarkan sebesar Rp3,64 triliun untuk memfasilitasi sebanyak 754.004 unit rumah. Disamping itu, Kementerian PUPR mengembangkan pembiayaan perumahan yang menyasar beberapa kelompok masyarakat yaitu MBR informal melalui skema rent to own yang dikombinasikan dengan contractual saving housing.
Kebijakan itu membuat masyarakat perkotaan diarahkan ke hunian vertikal dengan skema staircasing shared ownership (SSO), dan generasi milenial melalui skema KPR dengan jangka waktu lebih panjang yang disesuaikan dengan housing career.
(uka)