Menangkap Pendapatan Rp8.000 Triliun dari Perdagangan Karbon, Begini Caranya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia berpotensi mendapatkan pendapatan tambahan hingga ribuan triliun dari nilai ekonomi karbon . Pendapatan ekonomi karbon diperoleh dari perdagangan karbon hutan tropis, mangrove, dan gambut.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan, jika mengacu kepada data, Indonesia merupakan salah satu negara yang luas dan memiliki luas area hutan yang cukup untuk menyerap emisi karbon.
"Jadi dengan sumber daya tersebut, saya pikir di masa mendatang emisi karbon yang berpotensi diserap Indonesia itu relatif besar. Kalau menurut penelitian itu sekitar 113,18 giga ton dengan asumsi kredit karbon misalnya katakanlah USD5 di pasar karbon Indonesia, itu berpotensi mendapatkan kisaran Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon," ungkap Yusuf dalam siaran Market Review di IDX Channel, Kamis (23/2/2023).
Dia menyebutkan, selain menghadirkan potensi ekonomi yang besar, disaat yang bersamaan juga membantu menjaga kelestarian lingkungan untuk menurunkan emisi gas global yang telah disepakati.
"Karena Indonesia juga tergabung dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca makanya sekarang kemudian muncul peraturan atau kebijakan perdagangan karbon," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan perdagangan karbon sub sektor tenaga listrik batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dimulai tahun ini.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.
Sejumlah sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.
Di bidang pertanahan, kebijakan yang disiapkan antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Lalu di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular.
Di sektor fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada 2030. Kemudian, kebijakan di bidang energi dan transportasi yakni dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan dan menggunakan Energi Baru dan Terbarukan mendekati 100% pada tahun 2060.
Total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar.
Alhasil, potensi ekonomi karbon RI yang mencapai Rp8.000 triliun itu apabila dirincikan yakni dari hutan tropis sebesar Rp1.780 triliun, hutan mangrove Rp2.333 triliun, dan lahan gambut Rp3.888 triliun.
Ekonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan, jika mengacu kepada data, Indonesia merupakan salah satu negara yang luas dan memiliki luas area hutan yang cukup untuk menyerap emisi karbon.
"Jadi dengan sumber daya tersebut, saya pikir di masa mendatang emisi karbon yang berpotensi diserap Indonesia itu relatif besar. Kalau menurut penelitian itu sekitar 113,18 giga ton dengan asumsi kredit karbon misalnya katakanlah USD5 di pasar karbon Indonesia, itu berpotensi mendapatkan kisaran Rp8.000 triliun dari perdagangan karbon," ungkap Yusuf dalam siaran Market Review di IDX Channel, Kamis (23/2/2023).
Dia menyebutkan, selain menghadirkan potensi ekonomi yang besar, disaat yang bersamaan juga membantu menjaga kelestarian lingkungan untuk menurunkan emisi gas global yang telah disepakati.
"Karena Indonesia juga tergabung dalam upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca makanya sekarang kemudian muncul peraturan atau kebijakan perdagangan karbon," jelasnya.
Seperti diketahui, pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan perdagangan karbon sub sektor tenaga listrik batu bara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang akan dimulai tahun ini.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Dalam Pembangunan Nasional.
Berdasarkan peta jalan perdagangan karbon subsektor pembangkit tenaga listrik yang telah disusun, pelaksanaan perdagangan karbon berpotensi dapat menurunkan emisi Gas Rumah Kaca sebesar lebih dari 36 juta ton CO2e di tahun 2030.
Sejumlah sektor penyumbang emisi karbon di Indonesia, yakni kehutanan dan lahan, pertanian, energi dan transportasi, limbah, serta proses industri dan penggunaan produk.
Di bidang pertanahan, kebijakan yang disiapkan antara lain restorasi gambut, rehabilitasi mangrove, dan pencegahan deforestasi menjadi lahan pertanian. Lalu di bidang persampahan, termasuk pengelolaan sampah melalui ekonomi sirkular.
Di sektor fiskal, kebijakan yang dilakukan pemerintah mencakup penerapan pajak karbon dan penghapusan subsidi energi secara menyeluruh pada 2030. Kemudian, kebijakan di bidang energi dan transportasi yakni dengan beralih ke kendaraan listrik hingga 95% dari total kendaraan dan menggunakan Energi Baru dan Terbarukan mendekati 100% pada tahun 2060.
Total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga USD5 di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai USD565,9 miliar.
Alhasil, potensi ekonomi karbon RI yang mencapai Rp8.000 triliun itu apabila dirincikan yakni dari hutan tropis sebesar Rp1.780 triliun, hutan mangrove Rp2.333 triliun, dan lahan gambut Rp3.888 triliun.
(akr)