Lawan WTO Soal Diskriminasi Sawit Indonesia, Dubes RI Pede Menang
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan Parlemen Uni Eropa yang tertuang dalam Renewable Energy Directive II (RED II) yang resmi diberkalukan pada tahun 2019 lalu dianggap sebagai langkah politis yang mendiskriminasi sawit Indonesia. Pasalnya di dalam RED II, sawit Indonesia dinyatakan tidak dapat memenuhi standar EU karena menyebabkan deforestasi dan high risk Indirect Land Use Change (ILUC) atau berisiko tinggi atas perubahan lahan tidak langsung.
Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia telah melayangkan gugatan kepada WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pada Desember 2019 lalu.
(Baca Juga: Menentang Diskriminasi Sawit UE, Indonesia Semangat Bawa ke Jalur Internasional)
Hasan Kleib, Duta Besar/ Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut. Hal ini disampaikan Hasan Kleib dalam webinar #INApalmoil talkshow bertajuk “Palm Oil and Neocolonialism” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Sawit GAPKI.
“Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” kata Dubes Hasan Kleib.
Tidak hanya itu, Indonesia juga menggunggat Uni Eropa atas kebijakannya yang dikenal sebagai Commission Delegated Regulation (DR) dan French fuel tax. Ketiga kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi Uni Eropa terhadap Indonesia khususnya bagi industri kelapa sawit.
Perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia yang tidak membuahkan hasil menggulirkan perundingan ini pada pengajuan panel yang diharapkan dapat mendorong Indonesia untuk merevisi kebijakan yang mendiskriminasi industri kelapa sawit.
( )
Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomai sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut.
“Prospeknya, jika Indonesia memenangkan gugatan ini maka Uni Eropa harus mengubah kebijakan RED II, DR serta French Fuel Tax seusai dengan aturan yang berlaku di WTO. Jika Uni Eropa tidak dapat memenuhi ini dalam tenggang waktu yang disepakati, maka Indonesia berhak mengajukan izin retaliasi,” tegas Hasan.
Membantah Tudingan Uni Eropa
RED II melarang penggunaan biofuel berbasis sawit karena telah dikategorikan sebagai resiko tinggi perubahan penggunaan lahan tidak langsung (high risk land use change [ILUC]) pada DR. Kategori ini ditentukan berdasarkan indikator emisi yang dihasilkan dalam perubahan penggunaan lahan dengan menjatuhkan cut off date atau tahun penebangan yakni pada tahun 2008.
Sementara itu, Perancis secara unilateral menerapkan kebijakan penurunan tarif pajak atau French Fuel Tax untuk produksi biofuel yang dikategorikan sebagai minyak nabati berkelanjutan. Merujuk pada RED II sawit mendapatkan pengecualian atas French Fuel Tax tersebut.
Wakil Ketua Umum I GAPKI, Kacuk Sumarto dalam sambutannya menyatakan cut off date yang ditetapkan oleh Uni Eropa dalam ILUC yakni tahun 2008 yang dianggap tidak adil dan tidak memiliki dasar ilmiah. pada masa tersebut Indonesia sedang mengembangkan industri perkebunannya salah satunya sawit sedangkan Amerika dan eropa telah lebih dulu melakukan deforestasi.
Penelitian Roser (2012) menyebutkan pada periode 1700-1900 laju deforestasi di temperate region atau iklim sedang terjadi secara besar-besaran. Deforestasi dimulai dari daratan Eropa kemudian ke Amerika Utara dan berbagai negara telah menyebabkan penurunan luas hutan dunia (deforestasi) termasuk biodiversity loss di dalamnya.
Laporan The Guardian menyebutkan, kadar CO2 di atmosfer atau green gas house (GHG) cenderung konstan sejak 800 tahun sebelum revolusi industri yakni 280 ppm. Sejak revolusi Industri hingga tahun 2013, kadar CO2 di atmosfer meningkat 40% atau menjadi 400 ppm.
Senada dengan Kacuk, laju deforestasi yang isunya disebabkan oleh industri kelapa sawit tidaklah sesuai. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa mengungkapkan kajian Komisi Eropa tahun 2013 yang menjelaskan total deforestasi lahan seluas 239 juta hektar. 58 juta hektar di antaranya disebabkan oleh sektor peternakan, 13 juta hektar oleh pembukaan lahan kedelai dan 8 juta karena pembukaan lahan jagung.
Sementara itu, untuk industri sawit menyumbang 2,5 persen atau 6 juta hektar. Tidak hanya itu, Yanto menjelaskan 22% berasal dari hutan sekunder sementara sisanya berasal dari lahan terbuka, semak belukar, semak rawa, perkebunan karet dan lain-lain. Dari segi pengurangan emisi gas rumah kaca, biofuel berbasis sawit mampu menandingi batas yang telah ditetapkan Uni Eropa, baik RED I yaitu 35% atau RED II sebesar 65%.
Berlakunya RED II jelas mengganjal ekspor biofuel berbahan sawit dari Indonesia ke negara-negara Uni Eropa. Pemerintah Indonesia telah melayangkan gugatan kepada WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) pada Desember 2019 lalu.
(Baca Juga: Menentang Diskriminasi Sawit UE, Indonesia Semangat Bawa ke Jalur Internasional)
Hasan Kleib, Duta Besar/ Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, optimistis dapat memenangkan gugatan tersebut. Hal ini disampaikan Hasan Kleib dalam webinar #INApalmoil talkshow bertajuk “Palm Oil and Neocolonialism” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Sawit GAPKI.
“Pemerintah Indonesia sudah beberapa kali mengangkat isu RED II sebagai isu specific trade concern pada pertemuan-pertemuan di WTO, sayangnya ketika diintervensi EU selalu menyatakan kebijakan RED II sudah sesuai aturan WTO,” kata Dubes Hasan Kleib.
Tidak hanya itu, Indonesia juga menggunggat Uni Eropa atas kebijakannya yang dikenal sebagai Commission Delegated Regulation (DR) dan French fuel tax. Ketiga kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi Uni Eropa terhadap Indonesia khususnya bagi industri kelapa sawit.
Perundingan antara Uni Eropa dan Indonesia yang tidak membuahkan hasil menggulirkan perundingan ini pada pengajuan panel yang diharapkan dapat mendorong Indonesia untuk merevisi kebijakan yang mendiskriminasi industri kelapa sawit.
( )
Hasan menilai, Indonesia perlu memperkuat diri dalam diplomai sawit. Perlu informasi-informasi positif yang dikembangkan terkait dampak positif langsung maupun tidak langsung sawit bagi sosial, perekonomian maupun lingkungan. Selain itu penguatan data perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan kuat dalam diplomasi melawan diskriminasi Uni Eropa tersebut.
“Prospeknya, jika Indonesia memenangkan gugatan ini maka Uni Eropa harus mengubah kebijakan RED II, DR serta French Fuel Tax seusai dengan aturan yang berlaku di WTO. Jika Uni Eropa tidak dapat memenuhi ini dalam tenggang waktu yang disepakati, maka Indonesia berhak mengajukan izin retaliasi,” tegas Hasan.
Membantah Tudingan Uni Eropa
RED II melarang penggunaan biofuel berbasis sawit karena telah dikategorikan sebagai resiko tinggi perubahan penggunaan lahan tidak langsung (high risk land use change [ILUC]) pada DR. Kategori ini ditentukan berdasarkan indikator emisi yang dihasilkan dalam perubahan penggunaan lahan dengan menjatuhkan cut off date atau tahun penebangan yakni pada tahun 2008.
Sementara itu, Perancis secara unilateral menerapkan kebijakan penurunan tarif pajak atau French Fuel Tax untuk produksi biofuel yang dikategorikan sebagai minyak nabati berkelanjutan. Merujuk pada RED II sawit mendapatkan pengecualian atas French Fuel Tax tersebut.
Wakil Ketua Umum I GAPKI, Kacuk Sumarto dalam sambutannya menyatakan cut off date yang ditetapkan oleh Uni Eropa dalam ILUC yakni tahun 2008 yang dianggap tidak adil dan tidak memiliki dasar ilmiah. pada masa tersebut Indonesia sedang mengembangkan industri perkebunannya salah satunya sawit sedangkan Amerika dan eropa telah lebih dulu melakukan deforestasi.
Penelitian Roser (2012) menyebutkan pada periode 1700-1900 laju deforestasi di temperate region atau iklim sedang terjadi secara besar-besaran. Deforestasi dimulai dari daratan Eropa kemudian ke Amerika Utara dan berbagai negara telah menyebabkan penurunan luas hutan dunia (deforestasi) termasuk biodiversity loss di dalamnya.
Laporan The Guardian menyebutkan, kadar CO2 di atmosfer atau green gas house (GHG) cenderung konstan sejak 800 tahun sebelum revolusi industri yakni 280 ppm. Sejak revolusi Industri hingga tahun 2013, kadar CO2 di atmosfer meningkat 40% atau menjadi 400 ppm.
Senada dengan Kacuk, laju deforestasi yang isunya disebabkan oleh industri kelapa sawit tidaklah sesuai. Guru Besar Fakultas Kehutanan Institute Pertanian Bogor (IPB), Prof. Yanto Santosa mengungkapkan kajian Komisi Eropa tahun 2013 yang menjelaskan total deforestasi lahan seluas 239 juta hektar. 58 juta hektar di antaranya disebabkan oleh sektor peternakan, 13 juta hektar oleh pembukaan lahan kedelai dan 8 juta karena pembukaan lahan jagung.
Sementara itu, untuk industri sawit menyumbang 2,5 persen atau 6 juta hektar. Tidak hanya itu, Yanto menjelaskan 22% berasal dari hutan sekunder sementara sisanya berasal dari lahan terbuka, semak belukar, semak rawa, perkebunan karet dan lain-lain. Dari segi pengurangan emisi gas rumah kaca, biofuel berbasis sawit mampu menandingi batas yang telah ditetapkan Uni Eropa, baik RED I yaitu 35% atau RED II sebesar 65%.
(akr)