Wakil Sri Mulyani Ungkap Kronologi Dugaan TPPU Impor Emas Batangan Rp189 T di Bea Cukai
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Menteri Keuangan atau Wamenkeu, Suahasil Nazara buka suara terkait adanya dugaan terkait modus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari impor emas batangan yang melibatkan pejabat Bea Cukai senilai Rp189 triliun . Dugaan TPPU itu diungkap sebelumnya oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Suahasil menjelaskan, pada bulan Januari 2015 lalu, pegawai di Bea Cukai hendak mencegah ekspor emas mentah ingot. Laporan eksportir barang yang hendak dikirim adalah emas perhiasan, namum ternyata isinya bukan perhiasan, melainkan ingot.
Itu di stop oleh Bea cukai, maka didalami dan dilihat bahwa ini ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyelidikan, hingga ke pengadilan untuk tindak pidana kepabeanan.
Sehingga pada tahun 2016 ekspor tersebut dihentikan dan mulai diusut hingga masuk dalam pengadilan selama 2017,2018, dan 2019. Hasilnya saat di pengadilan negeri, Bea Cukai kalah gugatan. Selanjutnya hasil tersebut dinaikan ke Kasasi bea cukai menang.
"Kemudian pada tahun 2019 dilakukan peninjauan kembali (PK) atas permintaan si pelapor, di PK Bea Cukai kalah, sehingga tidak terbukti tindak pidana kepabeanan," ujar Suahasil dalam konferensi pers di kantor, Jumat (31/3/2023).
Lebih lanjut, Suahasil menjelaskan pada tahun 2020 pegawai dari Bea Cukai kembali melihat modus serupa dengan tahun 2016 kembali digunakan dalam melakukan ekspor emas mentah atau ingot.
"Kalau modusnya sama, kasus 2016-2019 kemarin tuh kita sudah dikalahkan oleh pengadilan, tindak pidana kepabeanan itu sudah dikalahkan oleh pengadilan, modusnya sama," kata Suahasil.
"Dengan logika seperti itu, maka pada Agustus 2020 apabila tindak pidana kepabeanan tidak kena, maka kita kejar pajaknya, sehingga PPAT mengirimkan hasil pemeriksaan pajak," lanjutnya.
Dia menjelaskan, kalahnya gugatan di pengadilan pada tahun 2016 itu karena gugatan Bea Cukai dinilai tidak ada memiliki unsur tindak pidana sehingga tidak bisa disebut sebagai TPPU.
Suahasil menjelaskan, pada bulan Januari 2015 lalu, pegawai di Bea Cukai hendak mencegah ekspor emas mentah ingot. Laporan eksportir barang yang hendak dikirim adalah emas perhiasan, namum ternyata isinya bukan perhiasan, melainkan ingot.
Itu di stop oleh Bea cukai, maka didalami dan dilihat bahwa ini ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyelidikan, hingga ke pengadilan untuk tindak pidana kepabeanan.
Sehingga pada tahun 2016 ekspor tersebut dihentikan dan mulai diusut hingga masuk dalam pengadilan selama 2017,2018, dan 2019. Hasilnya saat di pengadilan negeri, Bea Cukai kalah gugatan. Selanjutnya hasil tersebut dinaikan ke Kasasi bea cukai menang.
"Kemudian pada tahun 2019 dilakukan peninjauan kembali (PK) atas permintaan si pelapor, di PK Bea Cukai kalah, sehingga tidak terbukti tindak pidana kepabeanan," ujar Suahasil dalam konferensi pers di kantor, Jumat (31/3/2023).
Lebih lanjut, Suahasil menjelaskan pada tahun 2020 pegawai dari Bea Cukai kembali melihat modus serupa dengan tahun 2016 kembali digunakan dalam melakukan ekspor emas mentah atau ingot.
"Kalau modusnya sama, kasus 2016-2019 kemarin tuh kita sudah dikalahkan oleh pengadilan, tindak pidana kepabeanan itu sudah dikalahkan oleh pengadilan, modusnya sama," kata Suahasil.
"Dengan logika seperti itu, maka pada Agustus 2020 apabila tindak pidana kepabeanan tidak kena, maka kita kejar pajaknya, sehingga PPAT mengirimkan hasil pemeriksaan pajak," lanjutnya.
Dia menjelaskan, kalahnya gugatan di pengadilan pada tahun 2016 itu karena gugatan Bea Cukai dinilai tidak ada memiliki unsur tindak pidana sehingga tidak bisa disebut sebagai TPPU.
(akr)