Colombo Port City: Kawasan Ekonomi Sri Lanka atau Surga Pajak Milik China?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banyak warga Sri Lanka yang meragukan pembangunan Colombo Port City di tengah krisis ekonomi terburuk melanda negara mereka.
Menurut penduduk ibu kota Sri Lanka, yang dibutuhkan oleh negara pulau ini dalam situasi krisis ekonomi bukan pantai buatan. Meskipun, Sri Lanka memiliki garis pantai sepanjang 1.340 kilometer (km) yang diberkahi dengan beberapa pantai terindah di dunia.
"Pantai buatan ini hanya pencitraan untuk menarik investor internasional. Soal keberlanjutan, hanya kata kunci yang paling nyaman," kata Priyangi Jayasinghe, seorang peneliti di Munasinghe Institute for Development di Colombo dikutip Al Jazeera, Rabu (6/6/2023).
Jayasinghe adalah salah satu dari banyak kritikus lokal yang khawatir bahwa proyek gajah putih yang didanai Beijing tersebut hanya menjadi proyek kontroversial seperti sebelumnya. Termasuk Pelabuhan Internasional Hambantota yang mengalami kerugian dan asetnya diambil oleh China Merchants Port Holdings Company Limited yang dimiliki Tiongkok pada 2017 silam, ketika Sri Lanka kesulitan membayar utang luar negeri ke China, India, Jepang, dan pemberi pinjaman swasta lain.
Para kritikus mengungkapkan bahwa proyek yang dikembangkan di atas lahan reklamasi seluas 269 hektare bukan pembangunan berkelanjutan, bahkan tidak memberikan manfaat bagi perekonomian negara yang sedang sakit. Proyek tersebut hanya akan menjadi kawasan surga pajak milik China, bukan kawasan ekonomi yang diimpikan oleh Sri Lanka.
"Port City hanya akan memberikan dampak yang sangat kecil pada perekonomian Sri Lanka. Ini akan menjadi tanah impian yang bebas pajak ketika bagian lain negara sedang menghadapi kenaikan pajak untuk mengatasi krisis ekonomi," kata Jayasinghe.
CHEC Port City Colombo (CHEC PCC) yang mengembangkan proyek tersebut menolak kritik tersebut dan bersikeras bahwa proyek ambisius yang didanai dalam kerangka Inisiatif Jalur Sutra (Belt On Road Inisiative/BRI) senilai USD1,4 miliar akan menciptakan sebuah kota kelas dunia di Asia Selatan.
CHEC Port City Colombo (Pvt) Ltd adalah anak perusahaan yang sepenuhnya milik China Harbour Engineering Company (CHEC) pada gilirannya adalah anak perusahaan China Communications Construction Company Limited (CCCC), perusahaan milik negara dengan markas besar di Beijing.
Colombo Port City dijadwalkan selesai 2041. Progresnya pembangunan sebagian lokasi telah jalan termasuk jembatan bagi pejalan kaki dan pantai buatan yang masih ditutup bagi pengunjung.
Proyek ini mendapatkan dukungan Mantan Perdana Menteri Britania Raya, David Cameron di tengah lonjakan inflasi dan kekurangan pangan. Namun, sebagian besar masyarakat skeptis terhadap keterlibatan China dalam urusan ekonomi Sri Lanka. Sebut saja, Pelabuhan Hambantota memang tidak dimiliki China, akan tetapi 65% dari luas tanah reklamasi yang dapat dijual sebesar 178 hektare asetnya disewakan selama 99 tahun oleh mayoritas perusahaan China.
"Pemerintah Sri Lanka tidak memikirkan dengan matang terutama setelah masalah terjadi di Pelabuhan Hambantota," kata Austin Strange, salah satu penulis Banking on Beijing dan asisten profesor hubungan internasional di Universitas Hong Kong.
CHEC Port City Colombo mengklaim proyek ini akan menciptakan 143.375 lapangan kerja baru dan nilai ekonomi tambahan sebesar USD13,8 miliar per tahun.
"PwC telah melakukan penilaian dampak ekonomi dari Colombo Port City yang menyoroti signifikansi proyek ini dalam berbagai sektor ekonomi," kata juru bicara perusahaan.
Para kritikus pun mempertanyakan apakah perhitungan tersebut mencakup biaya lingkungan yang lengkap. Vidhura Ralapanawe, seorang pakar keberlanjutan yang memberikan nasihat kepada Komisi Port City Colombo (PCC) badan pemerintah yang bertugas mengawasi pengembangan tersebut, mengatakan bahwa proyek ini didominasi oleh kendaraan bermotor dan belum memperhitungkan peningkatan yang diharapkan dalam permintaan untuk layanan energi, air, limbah, dan pengolahan air limbah.
Ralapanawe juga mengatakan bahwa proyek kereta cepat senilai USD1,5 miliar yang dibiayai Jepang yang seharusnya menjadi jalur transportasi umum utama antara PCC dan Colombo telah dibatalkan pada 2020.
"Pada 2021, saya mengatakan kepada komisi PCC bahwa rencana keberlanjutan yang ada tidak cukup baik, tidak ada fokus serius pada keberlanjutan, itu hanya diperlakukan sebagai hiasan di atas kue," kata Ralapanawe, yang menjabat sebagai wakil presiden eksekutif keberlanjutan dan inovasi di produsen pakaian ramah lingkungan Epic Group.
"Yang kita miliki sekarang adalah tidak banyak dalam hal keberlanjutan. Ini dirancang sebagai kota dengan biaya murah," kata dia.
Juru bicara Komisi PCC menolak klaim tersebut, sebagai penilaian yang tidak berdasar dan mengarahkan Al Jazeera ke situs web komisi, yang menyatakan.
Beberapa aktivis lingkungan dan warga mempertanyakan apakah pihak berwenang memiliki rencana atau anggaran untuk investasi signifikan yang diperlukan untuk mengakomodasi PCC. Mengingat, infrastruktur publik Colombo yang terbebani dan kondisi keuangan publik Sri Lanka yang buruk.
CHEC Port City Colombo memperkirakan bahwa proyek tersebut akan meningkatkan permintaan air sebesar 39.000 meter kubik per hari, setara dengan lebih dari 15 kolam renang ukuran Olimpiade, di negara yang mengalami kekeringan parah pada 1992 dan 2001.
Pengembang telah mengatakan bahwa peningkatan permintaan tersebut akan dipenuhi oleh otoritas air negara dan mereka mendorong mitra swasta untuk mendaur ulang air limbah.
CHEC Port City Colombo juga berargumen bahwa tidak mungkin untuk mendirikan pembangkit energi terbarukan dalam skala besar untuk proyek ini, tetapi mereka mengeksplorasi seluruh kemungkinan untuk melihat bentuk energi terbarukan atau kombinasi.
Perusahaan mengatakan jalan tol multilane baru yang dikenal sebagai Outer Circular Highway (OCH) akan memenuhi kebutuhan transportasi pengembangan tersebut dan mereka akan berusaha mempromosikan bentuk perjalanan yang lebih ramah pejalan kaki dengan banyak tempat berlindung dan kanopi hijau.
Meskipun CHEC Port City Colombo berpendapat bahwa PCC telah menarik minat yang signifikan di komunitas internasional, namun Ralapanawe mengatakan perusahaan asing mungkin akan terhalang untuk berinvestasi dalam proyek ini jika proyek tidak memungkinkan mereka untuk mencapai target keberlanjutan dalam mengurangi emisi karbon, limbah, penggunaan air, dan melindungi lingkungan laut.
Banyak penduduk di Colombo juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa investor China dapat mengambil bagian yang lebih besar proyek PCC jika proyek tersebut gagal, meskipun tidak ada saran tentang kemungkinan tersebut dari pemerintah maupun pengembang. "PCC adalah kasus dari ketidakmampuan untuk berpikir dengan matang pada skala makro," tegas Ralapanawe.
Menurut penduduk ibu kota Sri Lanka, yang dibutuhkan oleh negara pulau ini dalam situasi krisis ekonomi bukan pantai buatan. Meskipun, Sri Lanka memiliki garis pantai sepanjang 1.340 kilometer (km) yang diberkahi dengan beberapa pantai terindah di dunia.
"Pantai buatan ini hanya pencitraan untuk menarik investor internasional. Soal keberlanjutan, hanya kata kunci yang paling nyaman," kata Priyangi Jayasinghe, seorang peneliti di Munasinghe Institute for Development di Colombo dikutip Al Jazeera, Rabu (6/6/2023).
Jayasinghe adalah salah satu dari banyak kritikus lokal yang khawatir bahwa proyek gajah putih yang didanai Beijing tersebut hanya menjadi proyek kontroversial seperti sebelumnya. Termasuk Pelabuhan Internasional Hambantota yang mengalami kerugian dan asetnya diambil oleh China Merchants Port Holdings Company Limited yang dimiliki Tiongkok pada 2017 silam, ketika Sri Lanka kesulitan membayar utang luar negeri ke China, India, Jepang, dan pemberi pinjaman swasta lain.
Para kritikus mengungkapkan bahwa proyek yang dikembangkan di atas lahan reklamasi seluas 269 hektare bukan pembangunan berkelanjutan, bahkan tidak memberikan manfaat bagi perekonomian negara yang sedang sakit. Proyek tersebut hanya akan menjadi kawasan surga pajak milik China, bukan kawasan ekonomi yang diimpikan oleh Sri Lanka.
"Port City hanya akan memberikan dampak yang sangat kecil pada perekonomian Sri Lanka. Ini akan menjadi tanah impian yang bebas pajak ketika bagian lain negara sedang menghadapi kenaikan pajak untuk mengatasi krisis ekonomi," kata Jayasinghe.
CHEC Port City Colombo (CHEC PCC) yang mengembangkan proyek tersebut menolak kritik tersebut dan bersikeras bahwa proyek ambisius yang didanai dalam kerangka Inisiatif Jalur Sutra (Belt On Road Inisiative/BRI) senilai USD1,4 miliar akan menciptakan sebuah kota kelas dunia di Asia Selatan.
CHEC Port City Colombo (Pvt) Ltd adalah anak perusahaan yang sepenuhnya milik China Harbour Engineering Company (CHEC) pada gilirannya adalah anak perusahaan China Communications Construction Company Limited (CCCC), perusahaan milik negara dengan markas besar di Beijing.
Colombo Port City dijadwalkan selesai 2041. Progresnya pembangunan sebagian lokasi telah jalan termasuk jembatan bagi pejalan kaki dan pantai buatan yang masih ditutup bagi pengunjung.
Proyek ini mendapatkan dukungan Mantan Perdana Menteri Britania Raya, David Cameron di tengah lonjakan inflasi dan kekurangan pangan. Namun, sebagian besar masyarakat skeptis terhadap keterlibatan China dalam urusan ekonomi Sri Lanka. Sebut saja, Pelabuhan Hambantota memang tidak dimiliki China, akan tetapi 65% dari luas tanah reklamasi yang dapat dijual sebesar 178 hektare asetnya disewakan selama 99 tahun oleh mayoritas perusahaan China.
"Pemerintah Sri Lanka tidak memikirkan dengan matang terutama setelah masalah terjadi di Pelabuhan Hambantota," kata Austin Strange, salah satu penulis Banking on Beijing dan asisten profesor hubungan internasional di Universitas Hong Kong.
CHEC Port City Colombo mengklaim proyek ini akan menciptakan 143.375 lapangan kerja baru dan nilai ekonomi tambahan sebesar USD13,8 miliar per tahun.
"PwC telah melakukan penilaian dampak ekonomi dari Colombo Port City yang menyoroti signifikansi proyek ini dalam berbagai sektor ekonomi," kata juru bicara perusahaan.
Para kritikus pun mempertanyakan apakah perhitungan tersebut mencakup biaya lingkungan yang lengkap. Vidhura Ralapanawe, seorang pakar keberlanjutan yang memberikan nasihat kepada Komisi Port City Colombo (PCC) badan pemerintah yang bertugas mengawasi pengembangan tersebut, mengatakan bahwa proyek ini didominasi oleh kendaraan bermotor dan belum memperhitungkan peningkatan yang diharapkan dalam permintaan untuk layanan energi, air, limbah, dan pengolahan air limbah.
Ralapanawe juga mengatakan bahwa proyek kereta cepat senilai USD1,5 miliar yang dibiayai Jepang yang seharusnya menjadi jalur transportasi umum utama antara PCC dan Colombo telah dibatalkan pada 2020.
"Pada 2021, saya mengatakan kepada komisi PCC bahwa rencana keberlanjutan yang ada tidak cukup baik, tidak ada fokus serius pada keberlanjutan, itu hanya diperlakukan sebagai hiasan di atas kue," kata Ralapanawe, yang menjabat sebagai wakil presiden eksekutif keberlanjutan dan inovasi di produsen pakaian ramah lingkungan Epic Group.
"Yang kita miliki sekarang adalah tidak banyak dalam hal keberlanjutan. Ini dirancang sebagai kota dengan biaya murah," kata dia.
Juru bicara Komisi PCC menolak klaim tersebut, sebagai penilaian yang tidak berdasar dan mengarahkan Al Jazeera ke situs web komisi, yang menyatakan.
Beberapa aktivis lingkungan dan warga mempertanyakan apakah pihak berwenang memiliki rencana atau anggaran untuk investasi signifikan yang diperlukan untuk mengakomodasi PCC. Mengingat, infrastruktur publik Colombo yang terbebani dan kondisi keuangan publik Sri Lanka yang buruk.
CHEC Port City Colombo memperkirakan bahwa proyek tersebut akan meningkatkan permintaan air sebesar 39.000 meter kubik per hari, setara dengan lebih dari 15 kolam renang ukuran Olimpiade, di negara yang mengalami kekeringan parah pada 1992 dan 2001.
Pengembang telah mengatakan bahwa peningkatan permintaan tersebut akan dipenuhi oleh otoritas air negara dan mereka mendorong mitra swasta untuk mendaur ulang air limbah.
CHEC Port City Colombo juga berargumen bahwa tidak mungkin untuk mendirikan pembangkit energi terbarukan dalam skala besar untuk proyek ini, tetapi mereka mengeksplorasi seluruh kemungkinan untuk melihat bentuk energi terbarukan atau kombinasi.
Perusahaan mengatakan jalan tol multilane baru yang dikenal sebagai Outer Circular Highway (OCH) akan memenuhi kebutuhan transportasi pengembangan tersebut dan mereka akan berusaha mempromosikan bentuk perjalanan yang lebih ramah pejalan kaki dengan banyak tempat berlindung dan kanopi hijau.
Meskipun CHEC Port City Colombo berpendapat bahwa PCC telah menarik minat yang signifikan di komunitas internasional, namun Ralapanawe mengatakan perusahaan asing mungkin akan terhalang untuk berinvestasi dalam proyek ini jika proyek tidak memungkinkan mereka untuk mencapai target keberlanjutan dalam mengurangi emisi karbon, limbah, penggunaan air, dan melindungi lingkungan laut.
Banyak penduduk di Colombo juga mengungkapkan kekhawatiran bahwa investor China dapat mengambil bagian yang lebih besar proyek PCC jika proyek tersebut gagal, meskipun tidak ada saran tentang kemungkinan tersebut dari pemerintah maupun pengembang. "PCC adalah kasus dari ketidakmampuan untuk berpikir dengan matang pada skala makro," tegas Ralapanawe.
(nng)