Dampak Inflasi Global Merembes ke Ekonomi Jepang, Investor Cemas

Selasa, 21 November 2023 - 11:06 WIB
loading...
Dampak Inflasi Global Merembes ke Ekonomi Jepang, Investor Cemas
Dua pebisnis ini baru saja mendapat penghargaan Special Award for Entrepreneur Spirit category dalam ajang EY Entrepreneur of the Year 2023 (EOY). Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Imbas inflasi global akhirnya merembes ke dalam perekonomian Jepang setelah beberapa dekade. Kondisi tersebut kemudian memaksa investor untuk memikirkan kembali pertaruhan mereka terhadap Jepang secara radikal ketika Bank of Japan (BoJ) mempertimbangkan perubahan kebijakan secara besar.



Ekonomi Jepang terkontraksi 2,1% pada Q3-2023 menghentikan ekspansi konsumsi dan ekspor selama dua kuartal berturut-turut. Hal ini akan mempersulit upaya bank sentral untuk secara bertahap menghapuskan stimulus moneter besar-besaran di tengah meningkatnya inflasi.

Investor internasional, yang sejauh ini menggemari saham-saham yang memperoleh keuntungan dari menuanya populasi Jepang atau melemahnya Yen, mulai mengubah strategi mereka untuk lebih berfokus pada perkiraan suku bunga yang lebih tinggi, dividen yang lebih besar, dan mulai bangkitnya belanja konsumen.

"Peralihan kebijakan ini berjalan lambat, namun bisa menjadi cara baru dalam berinvestasi di Jepang jika tingkat inflasi jangka panjang yang diprediksi sebesar 2% pada tahun 2024 benar-benar terjadi," demikian dikutip MNC Portal Indonesia dari Reuters di Jakarta, Selasa (21/11/2023).



Pembeli Jepang, tampaknya lagi memperkirakan harga akan terus turun, kemungkinan besar akan melakukan pembelian dalam jumlah besar. Jika BOJ menarik suku bunga di atas nol untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, margin pinjaman bank bisa meningkat.

Pasar saham Jepang telah mencapai titik tertinggi sejak tahun 1990, dengan kinerja saham-saham konsumen dan keuangan yang mengungguli indeks domestik. Sisi negatifnya, inflasi menciptakan prospek yang suram bagi obligasi pemerintah Jepang.

"Kebijakan suku bunga sedang mengalami perubahan bersejarah. Sesuatu yang baru akan segera terjadi," ucap Chief Executive Four Seasons Asia Investment, Shigeka Koda.

Demografi Jepang yang menua telah menjadikan perusahaan krematorium Jepang sebagai salah satu pilihan utama investor asing, dengan sahamnya melonjak hampir 700% dalam lima tahun.

Posisi teratas Koda termasuk operator krematorium yakni Kosaido Holdings (7868.T) serta Rheon Automatic Machinery (6272.T), yang menjual robot pembuat kue untuk membantu produsen makanan menghadapi menyusutnya tenaga kerja di Jepang.

Namun pada bulan Agustus, untuk pertama kalinya dalam 17 tahun sejarah pendanaannya, Koda memilih bank Jepang, Kyushu Financial (7180.T), sebagai posisi terbesarnya, karena dia yakin suku bunga Jepang akan naik.

Steve Donzé, wakil kepala investasi Pictet Asset Management di Tokyo, mengatakan dia juga telah membeli saham bank Jepang.

Bagi Junichi Inoue, kepala ekuitas Jepang di Janus Henderson, bisnis konsumen yang memiliki daya penetapan harga untuk meningkatkan pendapatan dan keuntungan dengan membebankan biaya energi dan makanan yang lebih tinggi kepada pelanggan adalah fokusnya.

"Saya sungguh menyukai toko serba ada. Margin benar-benar meningkat, pendapatannya bagus, sangat mengejutkan," ucapnya.

Inflasi di Jepang tentunya menyebabkan investor obligasi bisa menderita. Meningkatnya inflasi mengurangi daya tarik obligasi dengan bunga tetap.

BoJ juga telah lama mendukung pasar obligasi dengan membeli utang pemerintah untuk membatasi imbal hasil dan menekan biaya pinjaman dalam negeri. Namun investor berhati-hati mengenai apa yang disebut sebagai berakhirnya kebijakan pengendalian kurva imbal hasil karena BOJ terpaksa mengetatkan kebijakan moneternya.

"Inflasi ini 'mungkin tidak bersifat sementara' bagi Jepang karena hal ini belum pernah terjadi di Amerika Serikat atau Eropa," kata Manajer Portofolio Pbligasi Global Newton Investment Management, Jon Day.

Dan tentu saja, pasar obligasi belum sepenuhnya mempertimbangkan hal tersebut. Yield JGB lima tahun sekitar 0,35%. "Bahkan tingkat inflasi jangka panjang sebesar 1% di Jepang akan menghasilkan pengembalian yang buruk,” ucap Day.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1077 seconds (0.1#10.140)