Pengamat Wanti-wanti Efek Buruk Larangan Ekspor Nikel RI Berkepanjangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky mengatakan, kebijakan pemerintah yang melarang ekspor komoditas mentah seperti nikel punya sisi buruk untuk jangka panjang. Larangan ekspor sumber daya alam bakal mempercepat negara lain untuk melakukan eksplorasi bahan baku substitusi.
Teuku menjelaskan, beberapa kasus pelarangan ekspor bahan baku mentah yang sebelumnya sudah sempat terjadi, sudah cukup membuktikan bahwa eksplorasi akan semakin cepat dilakukan.
"Jadi kalau kita lihat dalam kasus ekspor nikel , ini menjadi isu security di banyak negara, dimana negara lain yang membutuhkan nikel tentu mereka berpikir ulang untuk mengandalkan nikel, sehingga ini mendorong adanya RnD (Research and Development) atau mencari substitusi terhadap nikel," ujar Teuku dalam Market Review IDXChannel, Kamis (25/1/2024).
Misalnya pada tahun 1970 silam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) resmi melarang ekspor minyak numo. Hal tersebut membuat eksplorasi minyak bumi di berbagai negara kian masif agar tidak memiliki ketergantungan.
Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia, Pemerintah juga sempat menerapkan kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara total pada periode tahun 1985 sampai 1997. Hasilnya, membuat percepatan pertumbuhan kayu sintetis di negara lain dan tidak mengandalkan kayu dari Indonesia.
"Jadi pada proses nikel ini tentu ada risiko bahwa negara lain akan mempercepat proses untuk mengurangi ketergantungannya terhadap nikel," sambungnya.
Kebijakan penutupan ekspor bijih nikel pada 2020 diikuti dengan kenaikan harga dan terbatasnya stok saat itu memicu produsen mencari alternatif. Itu sebabnya banyak perusahaan baterai dunia mulai fokus pada Lithium Ferro Phosphate ( LFP ), tidak terkecuali bagi produsen asal China.
Akibatnya saat ini nikel yang awalnya dominan sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, sudah memiliki kompetitor. Misalnya negara China yang memproduksi baterai kendaraan listrik tidak hanya menggunakan nikel, tapi menggunakan Lithium Ferro Phosphate (LFP).
"Ini yang perlu diperhatikan, jangan sampai proses hilirisasi ini justru mempercepat negara lain malah tidak menggunakan nikel di jangka panjang, kalau jangka pendek memang positif, invetasi meningkat, tenaga kerja, tapi dampak jangka panjang harus kita pikirkan," tutupnya.
Teuku menjelaskan, beberapa kasus pelarangan ekspor bahan baku mentah yang sebelumnya sudah sempat terjadi, sudah cukup membuktikan bahwa eksplorasi akan semakin cepat dilakukan.
"Jadi kalau kita lihat dalam kasus ekspor nikel , ini menjadi isu security di banyak negara, dimana negara lain yang membutuhkan nikel tentu mereka berpikir ulang untuk mengandalkan nikel, sehingga ini mendorong adanya RnD (Research and Development) atau mencari substitusi terhadap nikel," ujar Teuku dalam Market Review IDXChannel, Kamis (25/1/2024).
Misalnya pada tahun 1970 silam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) resmi melarang ekspor minyak numo. Hal tersebut membuat eksplorasi minyak bumi di berbagai negara kian masif agar tidak memiliki ketergantungan.
Selain itu berdasarkan studi yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia, Pemerintah juga sempat menerapkan kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara total pada periode tahun 1985 sampai 1997. Hasilnya, membuat percepatan pertumbuhan kayu sintetis di negara lain dan tidak mengandalkan kayu dari Indonesia.
"Jadi pada proses nikel ini tentu ada risiko bahwa negara lain akan mempercepat proses untuk mengurangi ketergantungannya terhadap nikel," sambungnya.
Kebijakan penutupan ekspor bijih nikel pada 2020 diikuti dengan kenaikan harga dan terbatasnya stok saat itu memicu produsen mencari alternatif. Itu sebabnya banyak perusahaan baterai dunia mulai fokus pada Lithium Ferro Phosphate ( LFP ), tidak terkecuali bagi produsen asal China.
Akibatnya saat ini nikel yang awalnya dominan sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan listrik, sudah memiliki kompetitor. Misalnya negara China yang memproduksi baterai kendaraan listrik tidak hanya menggunakan nikel, tapi menggunakan Lithium Ferro Phosphate (LFP).
"Ini yang perlu diperhatikan, jangan sampai proses hilirisasi ini justru mempercepat negara lain malah tidak menggunakan nikel di jangka panjang, kalau jangka pendek memang positif, invetasi meningkat, tenaga kerja, tapi dampak jangka panjang harus kita pikirkan," tutupnya.
(akr)