Sektor Manufaktur Mulai Pulih, Ekonom Ungkap Beberapa Tantangan ke Depan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia, Teuku Riefky menyebut, pertumbuhan sektor manufaktur di Indonesia pasca pandemi Covid-19 sudah mulai pulih dan menunjukkan perkembangan positif.
“Sektor manufaktur merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar dalam perekonomian Indonesia,” tutur Riefky.
Namun Riefky menekankan bahwa posisi penting sektor manufaktur tersebut mengalami berbagai tantangan yang membuat performanya tidak maksimal. Baca Juga: Kinerja Manufaktur Indonesia Positif, Tepis Adanya Deindustrialisasi
"Kalau kita lihat faktor apa yang mempengaruhi, ada bermacam-macam, dari sisi daya saing tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, investasi yang masuk, iklim persaingan usaha, infrastruktur dan berbagai macam faktor lainnya," katanya.
Menurut Riefky ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan berbagai kementerian atau lembaga negara yang dengan sendirinya memberikan imbas negatif pada performa sektor industri manufaktur.
“Saya tidak menyebutkan kementerian mana secara spesifik, tapi banyak kebijakan dari sisi regulasi, investasi, perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, serta regulasi terkait misalnya akuisisi lahan yang memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri,” beber Riefky.
Riefky juga menjelaskan bahwa sisi kebijakan fiskal Indonesia seperti bea masuk dan sebagainya ikut punya andil dalam daya saing sektor industri manufaktur Indonesia. "Dari sisi bea masuk juga tentu ada dampaknya terhadap daya saing industri nasional," tambah Riefky.
Dalam konteks itu menurutnya Indonesia pemerintah perlu mengekspos sektor industri dalam negeri untuk mampu bersaing menghadapi industri luar negeri, namun pemerintah harus jelas dalam memberikan insentif untuk industri agar dapat bersaing dengan baik.
"Industri kita perlu diekpose pada persaingan dengan produk-produk luar disertai dengan insentif. Namun bukan berarti harus diproteksi secara utuh, kemudian tidak terekspose dari sisi persaingan terhadap kondisi global," tutup Riefky.
“Sektor manufaktur merupakan penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar dalam perekonomian Indonesia,” tutur Riefky.
Namun Riefky menekankan bahwa posisi penting sektor manufaktur tersebut mengalami berbagai tantangan yang membuat performanya tidak maksimal. Baca Juga: Kinerja Manufaktur Indonesia Positif, Tepis Adanya Deindustrialisasi
"Kalau kita lihat faktor apa yang mempengaruhi, ada bermacam-macam, dari sisi daya saing tenaga kerja, produktivitas tenaga kerja, investasi yang masuk, iklim persaingan usaha, infrastruktur dan berbagai macam faktor lainnya," katanya.
Menurut Riefky ada berbagai kebijakan yang dikeluarkan berbagai kementerian atau lembaga negara yang dengan sendirinya memberikan imbas negatif pada performa sektor industri manufaktur.
“Saya tidak menyebutkan kementerian mana secara spesifik, tapi banyak kebijakan dari sisi regulasi, investasi, perbaikan infrastruktur, kemudahan berusaha, serta regulasi terkait misalnya akuisisi lahan yang memberikan dampak negatif terhadap industri dalam negeri,” beber Riefky.
Riefky juga menjelaskan bahwa sisi kebijakan fiskal Indonesia seperti bea masuk dan sebagainya ikut punya andil dalam daya saing sektor industri manufaktur Indonesia. "Dari sisi bea masuk juga tentu ada dampaknya terhadap daya saing industri nasional," tambah Riefky.
Dalam konteks itu menurutnya Indonesia pemerintah perlu mengekspos sektor industri dalam negeri untuk mampu bersaing menghadapi industri luar negeri, namun pemerintah harus jelas dalam memberikan insentif untuk industri agar dapat bersaing dengan baik.
"Industri kita perlu diekpose pada persaingan dengan produk-produk luar disertai dengan insentif. Namun bukan berarti harus diproteksi secara utuh, kemudian tidak terekspose dari sisi persaingan terhadap kondisi global," tutup Riefky.