Potensi Digitalisasi Transaksi di Sektor Kakao Indonesia Capai Rp11,1 Triliun
loading...
A
A
A
"Banyak perusahaan yang berkomitmen untuk meningkatkan efisiensi, sustainability, dan transparansi saat membeli pasokan kakao di Indonesia," imbuhnya.
Menurutnya, beberapa perusahaan global sedang mengupayakan agar 100% pasokan kakaonya sudah mendapat sertifikat sustainability pada tahun 2025.
"Tak hanya perusahaan besar, komitmen ini juga mulai diterapkan oleh para pemasok kakao, dan saat ini 40% pemasok kakao di Indonesia sudah memiliki sertifikat sustainability. Menimbang hal tersebut, penerapan pembayaran digital bagi para pemasok kakao tentunya akan membawa potensi ekonomi yang cukup besar," katanya.
Southeast Asia Lead, UN-Based Better Than Cash Alliance, Isvary Sivalingam mengatakan, penerapan pembayaran digital dan mengintegrasikan transaksi ke sistem keuangan formal dapat memperluas inklusi keuangan bagi petani kakao, terutama bagi mereka yang perempuan.
Hal ini lanjut dia, dilakukan dalam rangka memperkenalkan produk tabungan, pinjaman, dan asuransi.
"Laporan ini mengajak pemerintah Indonesia, pengusaha kakao, dan penyedia layanan keuangan untuk bersama-sama membangun model bisnis yang layak untuk penerapan pembayaran digital, terutama di daerah terpencil,” ujar Isvary.
Sayangnya, data terbaru menunjukkan adanya penurunan produksi kakao yang cukup besar selama sepuluh tahun terakhir di Indonesia sehingga perlu dilakukan investasi strategis untuk merevitalisasi sektor kakao ini.
"Namun, para petani kecil menghadapi tantangan dalam mengatur pengeluaran dan kebutuhannya karena rendahnya pendapatan dan terbatasnya akses layanan keuangan," ujarnya.
Berdasarkan survey, setiap hektare lahan perkebunan kakao membutuhkan biaya sebesar USD45 per tahun. Untuk memulihkan sektor ini, tambah Isvary, para petani setidaknya memerlukan pinjaman tambahan yang lebih besar dan berjangka panjang sebesar USD1.300 untuk setiap hektar lahan perkebunan.
Dana ini dapat digunakan untuk membantu penanaman kembali serta peremajaan pohon maupun tanah.
Menurutnya, beberapa perusahaan global sedang mengupayakan agar 100% pasokan kakaonya sudah mendapat sertifikat sustainability pada tahun 2025.
"Tak hanya perusahaan besar, komitmen ini juga mulai diterapkan oleh para pemasok kakao, dan saat ini 40% pemasok kakao di Indonesia sudah memiliki sertifikat sustainability. Menimbang hal tersebut, penerapan pembayaran digital bagi para pemasok kakao tentunya akan membawa potensi ekonomi yang cukup besar," katanya.
Southeast Asia Lead, UN-Based Better Than Cash Alliance, Isvary Sivalingam mengatakan, penerapan pembayaran digital dan mengintegrasikan transaksi ke sistem keuangan formal dapat memperluas inklusi keuangan bagi petani kakao, terutama bagi mereka yang perempuan.
Hal ini lanjut dia, dilakukan dalam rangka memperkenalkan produk tabungan, pinjaman, dan asuransi.
"Laporan ini mengajak pemerintah Indonesia, pengusaha kakao, dan penyedia layanan keuangan untuk bersama-sama membangun model bisnis yang layak untuk penerapan pembayaran digital, terutama di daerah terpencil,” ujar Isvary.
Sayangnya, data terbaru menunjukkan adanya penurunan produksi kakao yang cukup besar selama sepuluh tahun terakhir di Indonesia sehingga perlu dilakukan investasi strategis untuk merevitalisasi sektor kakao ini.
"Namun, para petani kecil menghadapi tantangan dalam mengatur pengeluaran dan kebutuhannya karena rendahnya pendapatan dan terbatasnya akses layanan keuangan," ujarnya.
Berdasarkan survey, setiap hektare lahan perkebunan kakao membutuhkan biaya sebesar USD45 per tahun. Untuk memulihkan sektor ini, tambah Isvary, para petani setidaknya memerlukan pinjaman tambahan yang lebih besar dan berjangka panjang sebesar USD1.300 untuk setiap hektar lahan perkebunan.
Dana ini dapat digunakan untuk membantu penanaman kembali serta peremajaan pohon maupun tanah.