Negara Berkembang Dicekik Utang, Terancam Gagal Bayar Bunga Jatuh Tempo

Minggu, 16 Juni 2024 - 10:58 WIB
loading...
Negara Berkembang Dicekik Utang, Terancam Gagal Bayar Bunga Jatuh Tempo
Negara-negara berkembang terancam tidak bisa membayar utang jatuh tempo. FOTO/Reuters
A A A
JAKARTA - Pertemuan Vatikan membahas krisis utang global pekan lalu tidak semeriah pertemuan yang dihadiri oleh para selebritas, yang dipimpin Paus Yohanes Paulus II pada 25 tahun lalu saat ia mengenakan kacamata hitam yang diberikan oleh Bono, vokalis U2.

Namun, pesan yang disampaikan oleh Paus Fransiskus di hadapan para bankir dan ekonom kali ini adalah sama, yaitu Negara-negara termiskin di dunia dihimpit oleh utang yang tidak terkendali dan negara-negara kaya perlu berbuat lebih banyak untuk memberikan pertolongan.

Negara-negara berkembang sedang berjuang dengan utang publik yang mencapai USD29 triliun. Sebanyak 15 negara membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran bunga jatuh tempo daripada untuk anggaran pendidikan, menurut sebuah laporan baru dari Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan. Berdasarkan laporan itu, 46 negara membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran utang daripada untuk perawatan kesehatan.

Utang yang tidak terkendali telah menjadi ciri khas ekonomi global modern yang berulang, tetapi gelombang saat ini mungkin yang terburuk dalam sejarah. Secara keseluruhan, utang pemerintah di seluruh dunia empat kali lebih tinggi daripada tahun 2.000.



Pengeluaran pemerintah yang berlebihan atau salah urus adalah salah satu penyebabnya, tetapi peristiwa global di luar kendali sebagian besar negara telah mendorong masalah utang mereka menjadi semakin parah. Pandemi Covid-19 memangkas keuntungan bisnis dan pendapatan pekerja pada saat yang sama ketika biaya perawatan kesehatan dan bantuan meningkat.
Perang juga berkontribusi pada kenaikan harga energi dan makanan. Bank-bank sentral menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi yang melonjak mengakibatkan ertumbuhan global melambat.

Paus juga mengaitkan seruan mereka dengan apa yang mereka namakan Yubileum atau tahun suci sebuah perayaan yang berakar pada Alkitab dan terkait dengan periode ketika para budak dibebaskan dan utang diampuni.

Kampanye Jubileum tahun 2000 diikuti oleh koalisi yang tidak biasa yang terdiri dari para pemimpin agama, musisi, akademisi, konservatif evangelis, aktivis liberal, dan politisi. Lebih dari 21 juta orang menandatangani petisi yang mendukung pengampunan utang. Kampanye ini akhirnya menghasilkan upaya global yang luar biasa yang menghapuskan lebih dari USD100 miliar dari 35 negara miskin.

Paus Fransiskus menghidupkan kembali gagasan untuk Yubileum 2025. Diangkat sebagai kardinal di Argentina pada tahun 2001 pada puncak keruntuhan keuangan negara tersebut, Fransiskus melihat secara langsung kesengsaraan dan kerusuhan kekerasan yang dapat ditimbulkan oleh krisis utang.

Ia menyerukan transformasi sistem keuangan global selain pengampunan utang. "Mari kita pikirkan sebuah arsitektur keuangan internasional baru yang berani dan kreatif," katanya minggu lalu dilansir dari New York Times, Minggu (16/6/2024).

Pidatonya adalah sebuah pengakuan bahwa masalah utang abad ini jauh lebih rumit daripada masalah utang sebelumnya. Saat ini, utang publik dunia tidak hanya lebih besar, namun juga berbeda. Saat itu, sebagian besar utang dipegang oleh segelintir bank-bank besar dari negara-negara Barat dan organisasi-organisasi pembangunan internasional yang sudah berusia puluhan tahun. Saat ini, selain para pemain yang sudah mapan tersebut, negara-negara harus bersaing dengan ribuan pemberi pinjaman swasta dan kreditor resmi tambahan seperti Cina, serta berbagai perjanjian pinjaman yang terkadang bersifat rahasia yang diatur oleh peraturan nasional yang berbeda.

Banyak ekonom dan pembuat kebijakan mulai berpandangan bahwa mekanisme dan institusi, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), yang dibentuk 80 tahun yang lalu untuk menangani negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan sudah tidak sesuai lagi.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1150 seconds (0.1#10.140)