Selain Judi Online, Pemerintah Diharap Juga Perangi Mafia Rokok Ilegal
loading...
A
A
A
"Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat berdampak signifikan terhadap peredaran rokok ilegal. Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai," terangnya.
Saat ini, kenaikan harga rokok telah melebihi batas maksimum dan membahayakan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) yang terbukti melalui penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Di sisi lain, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai. ”Ini karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai)," jelasnya.
Upaya mengendalikan peredaran rokok ilegal di tengah tekanan kenaikan tarif cukai dan harga rokok bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja sama antara berbagai pihak, termasuk menyamakan persepsi atau metodologi dalam melakukan perhitungan rokok ilegal untuk dapat menentukan formula kebijakan penanganan rokok ilegal yang lebih efektif.
"Diperlukan sinergi multi stakeholders yang diharapkan dapat menurunkan angka peredaran rokok ilegal, sekaligus menciptakan keadilan dan keseimbangan berusaha dalam industri hasil tembakau," tandasnya.
Diketahui, berbagai kajian rokok ilegal pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga riset. Sebut saja, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). INDEF pernah melakukan simulasi, jika peredaran rokok ilegal 2% saja kerugian negara mencapai Rp1,75 triliun, dan kalau 5% Rp4,38 triliun minimal.
Hasil kajian Lembaga Survei Indodata menyatakan, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika dikonversi dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang sebesar Rp 53,18 triliun. Ini membuktikan bahwa penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif.
Angka Rp 53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%.
Saat ini, kenaikan harga rokok telah melebihi batas maksimum dan membahayakan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT) yang terbukti melalui penurunan jumlah pabrikan rokok terutama golongan 1. Di sisi lain, rokok ilegal memiliki perputaran penjualan yang lebih cepat daripada rokok berpita cukai. ”Ini karena rokok ilegal lebih diminati oleh konsumen karena harganya yang lebih murah daripada rokok yang legal (berpita cukai)," jelasnya.
Upaya mengendalikan peredaran rokok ilegal di tengah tekanan kenaikan tarif cukai dan harga rokok bukanlah hal yang mudah. Perlu kerja sama antara berbagai pihak, termasuk menyamakan persepsi atau metodologi dalam melakukan perhitungan rokok ilegal untuk dapat menentukan formula kebijakan penanganan rokok ilegal yang lebih efektif.
"Diperlukan sinergi multi stakeholders yang diharapkan dapat menurunkan angka peredaran rokok ilegal, sekaligus menciptakan keadilan dan keseimbangan berusaha dalam industri hasil tembakau," tandasnya.
Diketahui, berbagai kajian rokok ilegal pernah dilakukan oleh sejumlah lembaga riset. Sebut saja, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF). INDEF pernah melakukan simulasi, jika peredaran rokok ilegal 2% saja kerugian negara mencapai Rp1,75 triliun, dan kalau 5% Rp4,38 triliun minimal.
Hasil kajian Lembaga Survei Indodata menyatakan, sebanyak 28,12% perokok di Indonesia pernah atau sedang mengkonsumsi rokok ilegal. Jika dikonversi dengan pendapatan negara, maka potensi pajak yang hilang sebesar Rp 53,18 triliun. Ini membuktikan bahwa penyebaran rokok ilegal di Indonesia sudah sangat masif.
Angka Rp 53,18 triliun itu keluar berdasarkan estimasi rentang peredaran rokok ilegal itu ada 127,53 miliar batang dan temuan hasil survei ini tidak jauh berbeda dengan perhitungan gap antara CK-1 dan Susenas yang sebesar 26,38%.
(poe)