Bank di Tengah Pandemi

Sabtu, 22 Agustus 2020 - 08:44 WIB
loading...
Bank di Tengah Pandemi
Managing Partner Inventure Yuswohady. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Yuswohady
Managing Partner Inventure

Pandemi Covid-19 mengubah drastis perilaku konsumen . Implikasinya, model bisnis dan strategi perusahaan harus berubah mengikuti irama perubahan konsumen tersebut. Tak terkecuali industri perbankan. Di era pandemi setiap bank harus agile mengubah model bisnisnya agar bisa tetap relevan dan survive melintasi badai krisis, bahkan tumbuh pesat begitu pandemi lewat.

Kami di Inventure mencoba mengembangkan model bisnis generik bank di era pandemi dengan mengadopsi konsep yang Nine Block Business Model Canvas yang dipopulerkan Osterwalder-Pigneur (2010) seperti terlihat pada bagan. Berikut ini adalah uraian singkat mengenai elemen-elemen di masing-masing blok.

#1. Customer: 15 Megashifts

Untuk customer segment, setiap bankir harus mencermati 15 pergeseran konsumen perbankan yang telah kami uraikan dalam e-book, 15 Banking Consumer Megashifts. 15 pergeseran konsumen tersebut memberikan gambaran yang komprehensif mengenai bagaimana arah perubahan konsumen dan bisnis perbankan.

Secara umum pergeseran tersebut terbagi ke dalam empat perubahan, yaitu munculnya stay @ home lifestyle, fenomena back to the bottom of the pyramid, tren go virtual, dan terakhir terbentuknya apa yang saya sebut empathic society. (Baca: Setelah 25 Agustus Segera Cek Saldo Anda, Pastikan Itu Gaji atau BLT yang Masuk)

Megashifts tersebut menggoyahkan enpat pilar keuangan individu/rumah tangga yaitu: income, spending, saving, investing. Kita tahu di masa krisis pandemi konsumen menjadi: less income, less spending, less saving, di sisi lain menjadi more digital.

#2. Value Proposition: Flexibility & Security

Ketika perilaku konsumen mengalami megashifts, otomatis bank harus meresponsnya dengan menawarkan value proposition yang relevan dengan perubahan tersebut. Ketika nasabah mengalami kesulitan akibat resesi, hal yang mereka butuhkan adalah produk perbankan yang memiliki flexibility dan menjamin financial security mereka.

Untuk produk lending, misalnya, di tengah krisis bank harus lebih empati dalam menyolusikan masalah-masalah keuangan nasabah dengan menawarkan fleksibilitas dalam pengembalian kredit, refinancing, bahkan restrukturisasi. Tentu itu dilakukan dengan menerapkan prinsip risk mitigation yang superprudent.

Di sisi lain, dengan adanya megashift “go virtual“, konsumen kian menuntut pengalaman berbank yang bebas repot baik secara luring maupun daring. Karena itu, bank harus membenahi infrastruktur dan kemampuan digitalnya untuk bisa memberikan seamless customer experience. Misalnya, buka rekening via online, pengajuan pinjaman virtual, otomasi asesmen kredit via artificial intelligence, pembayaran online dengan one-click payment, dan lain-lain. (Baca juga: Kasus Virus Corona Global Tembus 23 Juta)

#3. Customer Relationship: Responsible Banking

Bencana pandemi yang diikuti bencana ekonomi telah memunculkan empati dan kepedulian dari segenap elemen masyarakat untuk membantu sesama. By-default bank memiliki posisi penting dalam memulihkan ekonomi dengan membantu rumah tangga, pelaku usaha kecil-menengah, dan pemain bisnis besar dalam menyelesaikan masalah keuangan dan bisnisnya melewati krisis.

Di sinilah konsep “responsible bank” menjadi relevan di tengah pandemi. Bank harus berperan aktif membantu pelaku ekonomi baik di sektor rumah tangga, UKM, dan korporat dalam melewati badai krisis pandemi dengan berbagai instrumen pemulihan yang solutif.

Bank tak lagi bisa menggunakan pendekatan selfish seperti sebelumnya, tapi harus mulai meredefinisinya menjadi pendekatan baru yang lebih empatik, solutif, dan bertanggung jawab dalam memulihkan bisnis dan ekonomi. Dalam berelasi ke nasabah, bank harus menggunakan pendekatan responsible banking, di mana bank harus menjadi trusted advisor bagi nasabah.

#4. Channel: Go Omni

Pandemi ini membuat nasabah semakin menuntut seamless banking experience, yaitu pengalaman menggunakan layanan perbankan yang melintas di semua titik persentuhan interaksi konsumen (touchpoint).

Sebelum ada pandemi, layanan perbankan didominasi oleh space experience. Nasabah harus hadir di kantor cabang untuk bertransaksi. Di situasi saat ini sering berada di luar rumah praktis menjadi hal yang hampir mustahil. Itu sebabnya, omnichannel strategy menjadi faktor kunci. Menghadirkan pengalaman perbankan secara online yang sama seperti pengalaman offline.

Para bankir dituntut untuk memahami customer journey di era kenormalan baru. Dengan pendekatan consumer journey, para bankir akan melihat setiap titik persentuhan interaksi (touchpoint) sebagai sebuah journey yang tak terlepas satu sama lain. Artinya pendekatan yang digunakan bukan lagi multi-channel, namun omni-channel. Paradigma baru ini akan menghasilkan customer interaction yang seamless.

#5. Key Activities: Digital Transformation

Ketika konsumen ramai-ramai bermigrasi ke ranah digital akibat pandemi, agenda terbesar bank di kenormalan baru adalah menjalankan transformasi digital. Tujuan akhirnya adalah menciptakan pengalaman terbaik bagi konsumen baik di ranah offline maupun online. (Baca juga: Tak Ingin Solo Jadi Ajang Coba-coba, PKS Siapkan Lawan Gibran)

Di samping itu, risk mitigation yang prudent juga menentukan kesuksesan bank di masa pandemi. Wajar saja, karena di masa krisis pandemi banyak keluarga, UKM, dan korporasi yang mengalami kesulitan keuangan bahkan bangkrut. Kalau transformasi digital adalah aktivitas untuk “ngegas” dalam rangka mendorong revenue, maka mitigasi risiko adalah “ngerem” untuk menjamin kelangsungan bank di masa krisis.

#6. Key Resources: Digital Assets & Data

Ketika di era pandemi bank dituntut menjadi “digital bank”, maka otomatis sumber daya terpenting bank adalah digital assets. Bank dituntut untuk mengimplementasikan teknologi bank 4.0 mulai dari big data analytic, IoT, artificial intelligence, virtual/augmented reality, robotics/automation, digital security, hingga blockchain. Di atas itu semua, ultimate asset bank adalah data nasabah yang diolah untuk mewujudkan customization dan personalization. Pascapandemi, bagi bank “data will be the new gold.”

#7. Key Partners: Phygital Ecosystem Collaborators

Di tengah maraknya e-commerce, hal ini menjadi peluang positif yang mendorong bank untuk agresif menjalankan strategi open banking yaitu berkolaborasi dengan pemilik platform dan third-party service providers. Itu sebabnya kolaborasi dengan partner ekosistem (phisical-digital ecosystem collaborators) menjadi krusial bagi bank untuk tetap relevan di tengah gempuran fintech. (Baca juga: Wabah Covid-19 Berpotensi Lebih Mematikan Dibanding Flu 1908)

Kolaborasi ini dilakukan dengan membuka akses APIs (Application Programming Interfaces) e-commerce atau third-party service providers, di mana bank bisa hadir memberikan variasi channel pembayaran untuk mendukung layanan transaksi dan keuangan lainnya. Open banking bakal menjadi sumber inovasi produk dan layanan yang paling hot di era pandemi.

#8. Cost Structure: Cost Effectiveness through Digitization

Ketika consumer demand cenderung mengerut, strategi cutting cost menjadi krusial untuk sukses melewati badai krisis pandemi. Karena itu, strategi digital bank harus bisa menyelesaikan persoalan ganda sekaligus, yaitu mendongkrak value dan customer experience di satu sisi; di sisi lain digitalisasi juga harus mampu memangkas biaya-biaya.

Misalnya, di satu sisi digitalisasi bisa memangkas overhead dengan mengurangi kantor cabang fisik. Di sisi lain, melalui strategi omnichannel digitalisasi dan efisiensi kantor cabang tersebut sekaligus bisa menciptakan seamless customer experience ke konsumen.

#9. Revenue Stream: Focus on Best Lifetime Value Customers

Di tengah pasar yang lesu, fokus dalam alokasi sumber daya menjadi begitu krusial bagi bank. Dengan kata lain, memilah-milah portofolio konsumen: mana yang masih bisa tumbuh; mana yang mandek; dan mana yang tumbang terdampak pandemi menjadi amat penting bagi bank. (Lihat videonya: Polisi Tangkap Anggota Geng Motor Sadis di Jakarta Timur)

Seperti kita ketahui, bencana pandemi telah menyebabkan begitu banyak perusahaan bertumbangan, namun tak sedikit perusahaan yang justru tumbuh. Dalam kondisi seperti ini fungsi data analytic dan credit scoring berbasis AI menjadi begitu penting untuk mengetahui secara presisi mana-mana konsumen yang masih bisa tumbuh di masa pandemi dan memiliki lifetime value terbaik.
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1351 seconds (0.1#10.140)