Awan Hitam Olimpiade, Menyisakan Lilitan Utang bagi Tuan Rumah
loading...
A
A
A
Lalu saat era sebelum adanya siaran televisi, tuan rumah tidak berharap mendapatkan untung. Sebaliknya, pertandingan didanai publik karena mereka yang menjadi tuan rumah adalah negara maju dengan infrastruktur lengkap.
Ekonom Andrew Zimbalist, yang menulis tiga buku tentang ekonomi Olimpiade mengatakan, tahun 1970-an menjadi titik balik. Pertandingan berkembang pesat, dengan jumlah peserta Olimpiade hampir dua kali lipat dari awal abad kedua puluh dan jumlah acara meningkat sepertiga selama tahun 1960-an.
Tetapi beberapa insiden berdarah menodai citra Olimpiade, dan skeptisisme publik untuk menarik utang demi menjadi tuan rumah Olimpiade mulai tumbuh.
Pada tahun 1972, Denver menjadi kota tuan rumah pertama dan satu-satunya yang menolak kesempatan untuk menjadi tuan rumah. Sebuah studi University of Oxford tahun 2024 memperkirakan bahwa, sejak 1960, biaya rata-rata menjadi tuan rumah Olimpiade telah meningkat tiga kali lipat dari harga penawaran.
Olimpiade 1976 di Montreal memperlihatkan risiko fiskal menjadi tuan rumah. Biaya penyelenggaraan diperkirakan mencapai USD124 juta yang diakibatkan adanya penundaan konstruksi dan pembengkakan biaya untuk stadion baru. Olimpiade Montreal akhirnya meninggalkan warisan utang sekitar USD1,5 miliar yang membutuhkan hampir 30 tahun untuk melunasinya.
Los Angeles adalah satu-satunya kota yang menawarkan dirinya menjadi tuan rumah pada Olimpiade 1984. Mereka menegosiasikan persyaratan yang sangat menguntungkan dengan IOC. Hal terpenting yakni Los Angeles bisa memanfaatkan stadion dan infrastruktur yang sudah ada, daripada menjanjikan fasilitas baru yang mewah untuk menarik komite seleksi IOC.
Dikombinasikan dengan lonjakan tajam dari pendapatan siaran televisi, menjadikan Los Angeles satu-satunya kota yang menghasilkan keuntungan saat menjadi tuan rumah Olimpiade, dimana berakhir dengan surplus USD215 juta.
Keberhasilan Los Angeles menyebabkan meningkatnya jumlah kota yang menawar untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, dari yang awalnya hanya ada dua pada 1988 menjadi 12 di 2024. Hal ini memungkinkan IOC untuk memilih kota-kota dengan rencana yang paling ambisius.
Selain itu peneliti Robert Baade dan Victor Matheson mengungkap, penawaran dari negara-negara berkembang meningkat lebih dari tiga kali lipat setelah tahun 1988. Negara-negara seperti China, Brasil, dan Rusia sangat ingin memanfaatkan Olimpiade untuk menunjukkan kemajuan mereka di panggung dunia.
Namun negara-negara ini harus mengucurkan investasi yang tidak sedikit demi membangun infrastruktur yang diperlukan. Biaya mengalami lonjakan menjadi USD20 miliar untuk 2016 di Rio de Janeiro.
Ekonom Andrew Zimbalist, yang menulis tiga buku tentang ekonomi Olimpiade mengatakan, tahun 1970-an menjadi titik balik. Pertandingan berkembang pesat, dengan jumlah peserta Olimpiade hampir dua kali lipat dari awal abad kedua puluh dan jumlah acara meningkat sepertiga selama tahun 1960-an.
Tetapi beberapa insiden berdarah menodai citra Olimpiade, dan skeptisisme publik untuk menarik utang demi menjadi tuan rumah Olimpiade mulai tumbuh.
Pada tahun 1972, Denver menjadi kota tuan rumah pertama dan satu-satunya yang menolak kesempatan untuk menjadi tuan rumah. Sebuah studi University of Oxford tahun 2024 memperkirakan bahwa, sejak 1960, biaya rata-rata menjadi tuan rumah Olimpiade telah meningkat tiga kali lipat dari harga penawaran.
Olimpiade 1976 di Montreal memperlihatkan risiko fiskal menjadi tuan rumah. Biaya penyelenggaraan diperkirakan mencapai USD124 juta yang diakibatkan adanya penundaan konstruksi dan pembengkakan biaya untuk stadion baru. Olimpiade Montreal akhirnya meninggalkan warisan utang sekitar USD1,5 miliar yang membutuhkan hampir 30 tahun untuk melunasinya.
Los Angeles adalah satu-satunya kota yang menawarkan dirinya menjadi tuan rumah pada Olimpiade 1984. Mereka menegosiasikan persyaratan yang sangat menguntungkan dengan IOC. Hal terpenting yakni Los Angeles bisa memanfaatkan stadion dan infrastruktur yang sudah ada, daripada menjanjikan fasilitas baru yang mewah untuk menarik komite seleksi IOC.
Dikombinasikan dengan lonjakan tajam dari pendapatan siaran televisi, menjadikan Los Angeles satu-satunya kota yang menghasilkan keuntungan saat menjadi tuan rumah Olimpiade, dimana berakhir dengan surplus USD215 juta.
Keberhasilan Los Angeles menyebabkan meningkatnya jumlah kota yang menawar untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, dari yang awalnya hanya ada dua pada 1988 menjadi 12 di 2024. Hal ini memungkinkan IOC untuk memilih kota-kota dengan rencana yang paling ambisius.
Selain itu peneliti Robert Baade dan Victor Matheson mengungkap, penawaran dari negara-negara berkembang meningkat lebih dari tiga kali lipat setelah tahun 1988. Negara-negara seperti China, Brasil, dan Rusia sangat ingin memanfaatkan Olimpiade untuk menunjukkan kemajuan mereka di panggung dunia.
Namun negara-negara ini harus mengucurkan investasi yang tidak sedikit demi membangun infrastruktur yang diperlukan. Biaya mengalami lonjakan menjadi USD20 miliar untuk 2016 di Rio de Janeiro.