Besarnya Beban Pajak Dinilai Jadi Penyebab Industri RI Terpuruk

Jum'at, 23 Agustus 2024 - 21:30 WIB
loading...
Besarnya Beban Pajak...
Anggota Dewan terpilih 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS). FOTO/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Terpuruknya industri dalam negeri akibat besarnya beban pajak yang harus ditanggung oleh para pelaku usaha. Bukan sepenuhnya karena barang impor.

Kondisi ini perlu diwaspadai oleh pemerintah, karena turunnya industri dalam negeri berdampak secara luas pada kehidupan masyarakat kecil dan menengah baik konsumen maupun tenaga kerja.

Anggota Dewan terpilih 2024-2029, Bambang Haryo Soekartono (BHS) menyatakan untuk menangkal banyaknya barang impor masuk ke Indonesia, yang pertama dilakukan adalah dengan memperkuat iklim usaha yang baik bagi sektor industri dalam negeri.

"Beri kemudahan untuk para pelaku industri. Jangan dibebani macam-macam, jangan dibebani dengan biaya besar. Sehingga bisa memunculkan industri kecil, menengah, yang bisa menjadi pendukung industri besar. Jika industri kita kuat, harganya bersaing, kualitas bagus, tidak akan masyarakat memilih produk impor," ujar BHS, dikutip Jumat (20/8/2024).

Baca Juga: Badai PHK Industri Tekstil Belum Reda, 11 Ribu Orang Jadi Korban

Dia mengatakan skema untuk mempermudah sektor industri telah diberlakukan oleh negara industri seperti China dan bahkan negara-negara tetangga Indonesia seperti Vietnam, Thailand dan Malaysia. Mereka semua memperlakukan pelaku industri dengan sangat baik.

"Pengusaha kita kalau masuk ke negara-negara tersebut, dikasih karpet merah. Sehingga pengusaha kita lebih suka membuka usahanya di negara-negara tersebut karena kemudahan dan beban biaya murah serta didukung dengan infrastruktur yang sangat baik," ujarnya.

Kemudahan ini, lanjutnya, dimulai dengan masalah perizinan yang tidak berbayar dan cepat. Berbeda dengan di Indonesia, seperti yang selama ini kerap dikeluhkan oleh para investor.

"Saat saya menjabat sebagai DPR, saya berkunjung ke China dan mempromosikan perizinan di Indonesia bisa 3 jam, tetapi yang mewakili Pemerintah dan beberapa Pengusaha di China mengatakan tidak benar, Yang benar bisa sampai 3 bulan atau bahkan 3 tahun, ledek mereka. Gimana saya gak malu? Mereka katakan di Cina perizinan hanya membutuhkan waktu 1 jam," ujar dia.

BHS menyebutkan ada banyak beban biaya yang harus ditanggung oleh pengusaha Indonesia, bahkan besarannya bisa meningkat seperti, PPh, PPN, PBB, PPnBC, Pajak Karyawan, Pajak Daerah, hingga PNBP.

"Pengusaha di sini pasti bingung. Banyak banget biaya pajak yang perlu ditanggung oleh mereka, belum lagi pajak gak resmi nya. Terlalu banyak cost yang perlu ditanggung oleh para Pengusaha disini," kata Anggota Dewan Pakar Partai Gerindra.

Masalah berikutnya yang membebani sektor industri adalah suku bunga bank di Indonesia yang sangat tinggi, jika dibandingkan dengan suku bunga di negara tetangga.

"Bunga bank di Indonesia itu tertinggi di Asia Tenggara. Di Malaysia itu hanya sekitar 3-5 persen , di Vietnam sekitar 6 persen, Brunei 5.50 persen, dan bahkan di Cina hanya 4.35 persen. Sedangkan di Indonesia bisa mencapai 10-12 persen,” kata BHS.

Ditambah dengan biaya energi, baik listrik, BBM, gas, maupun biaya air juga sangat tinggi. Padahal Indonesia memiliki sumber daya energi yang berlimpah, mulai dari geothermal, kelapa sawit yang tidak bisa habis, minyak dan gas yang terbesar di dunia, serta surya matahari dan air sumber yang melimpah terbesar nomor 5 di dunia.

"Tapi kenyataannya, harga gas Indonesia itu menyentuh USD10 – 12 per MMBTU. Jauh lebih tinggi dibanding dengan beberapa negara penghasil gas lainnya. Termasuk di Malaysia harga gas bisa 1/3 dari harga Indonesia. Bahkan di China pun harga gas untuk industri sangat murah yang berkisar USD3 – 5 per MMBTU. Sedangkan Industri yang ada di Indonesia, paling murah masih berkisar USD7 per MMBTU. Bagaimana industri bisa eksis?" ungkapnya.

Sama halnya, dengan BBM solar industri di Indonesia tidak diberlakukan subsidi. Berbeda dengan di Malaysia, dimana harga BBM Solar yang tidak bersubsidi, yaitu sekitar 3.25 ringgit atau sekitar Rp11.000 per liter. Sementara di Indonesia, yang tidak subsidi saja bisa menyentuh Rp16 – 18 ribu.

"Belum lagi cost industri yang harus ditanggung sebagai akibat dari buruknya infrastruktur jalan di Indonesia. Wilayah Kalimantan dan Sumatera itu jalannya 50 persen lebih tidak layak dan bahkan offroad. Inilah yang menghancurkan transportasi yang mengangkut logistik hasil industri. Sehingga mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, termasuk menghambat laju perekonomian akibat transportasi logistik tidak bisa cepat di jalan jalan yang ada di Indonesia," ungkapnya.

Baca Juga: PHK Massal di Industri Teknologi: Ketika Raksasa-Raksasa Digital Terpaksa Merampingkan Diri

Dari sektor buruh yang dikeluhkan pengusaha adalah seringnya demo. Sehingga menjadi pertimbangan pelaku usaha yang merasa iklim industri tidak sehat.

"Jadi jangan disalahkan kalau industri kita tidak bisa bersaing dengan negara industri lainnya, termasuk negara tetangga kita. Seperti halnya industri teksil, kita harus impor karena Industri pendukung kita tidak berkembang. Sehingga bahan baku tekstil mencapai diatas 80 persen impor dari Cina. Bagaimana harga tekstil produk industri Indonesia bisa bersaing lebih murah?” kata BHS lebih lanjut.

PR selanjutnya, adalah daya beli masyarakat yang saat ini melemah dikarenakan semakin tingginya biaya hidup yang fokus pada pengeluaran rumah tangga seperti sektor pangan, energi, kesehatan, pendidikan dan cicilan tempat tinggalnya walaupun saat ini mengalami kenaikan yang cukup tinggi. Akhirnya daya beli masyarakat terhadap barang barang konsumtif seperti pakaian baik yang dari industri lokal maupun Impor seperti di Mangga Dua pun juga sangat berkurang.

"Jadi tolong pemerintah introspeksi diri dan harus paham bahwa yang membuat hancurnya industri adalah rakusnya perpajakan kita," ucapnya.

BHS mengimbau kepada pemerintah untuk lebih aktif mendorong dan mengajak masyarakat untuk menggunakan produk industri dalam negeri. Dimana saat ini dorongan cinta produk Indonesia dari Pemerintah sangat kurang.

"Coba kita lihat di jaman Pak Harto, Slogan Aku Cinta Produk Indonesia itu sangat gencar. Pemerintah harus tampil di depan mendukung industri dalam negeri. Berikan insentif pajak, insentif energi, insentif bunga bank, dan dukung iklim usaha yang kondusif, tanpa munculnya pungutan pungutan liar. Dan juga mendorong bangun market untuk produk dalam negeri, serta yang paling penting, negara ini harus dikelola oleh orang-orang profesional. Supaya iklim usaha di Indonesia bisa tumbuh lebih baik," pungkasnya.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1253 seconds (0.1#10.140)