Banyak Pekerja Tersapu Badai PHK, Pemerintah Perlu Bertindak Cepat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri terus berlanjut hingga tahun ini. Data dari Kementerian Tenaga Kerja mencatat bahwa jumlah pekerja yang terkena PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024 meningkat sebesar 23,72 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Jika pada 2023 terdapat 37.375 pekerja yang kehilangan pekerjaan, angka tersebut melonjak menjadi 46.240 pada 2024.
Provinsi dengan jumlah PHK terbesar sepanjang semester pertama 2024 adalah DKI Jakarta, dengan 7.469 pekerja terkena dampak. Diikuti oleh Banten (6.135 pekerja), Jawa Barat (5.155 pekerja), Jawa Tengah (4.275 pekerja), Sulawesi Tengah (1.812 pekerja), dan Bangka Belitung (1.527 pekerja). PHK yang terjadi sebagian besar dipicu oleh krisis di berbagai lini pada sektor manufaktur.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah Liliek Setiawan mengungkapkan, jumlah kasus PHK di lapangan kemungkinan lebih besar dari angka yang dicatat oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Berdasarkan data API, per awal Agustus 2024, sekitar 15 ribu buruh terkena PHK akibat penutupan 10 pabrik tekstil di wilayah Jawa Tengah, termasuk Ungaran, Karanganyar, dan Boyolali. Liliek menyebut banyak perusahaan yang kesulitan bertahan karena serbuan barang impor, yang menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing di pasar sendiri.
"Segala upaya dilakukan melalui efisiensi, tapi akhirnya banyak yang tutup usaha," ujar dia, dalam keterangannya, Kamis (12/9/2024).
Baca Juga: 46.000 Pekerja Diterjang Badai PHK, Korban Terbanyak Jateng dan Jakarta
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam, menyatakan bahwa pelemahan industri manufaktur juga diperparah oleh melemahnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 2023 hanya mencapai 4,82 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 4,94 persen. Penurunan daya beli ini menyebabkan permintaan terhadap produk manufaktur menurun drastis memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan PHK.
Selain itu, Bob menjelaskan bahwa ketidakpastian politik selama masa transisi pemerintahan juga membuat investor enggan menanamkan modal mereka, yang pada akhirnya memperlambat pemulihan sektor industri. Penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) ke level 48,9 pada Agustus 2024 menjadi indikator nyata pelemahan sektor manufaktur di Tanah Air.
Lucia Nanny Lusida, seorang Organization Strategist dan Director D’Impact Indonesia, menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, keputusan PHK harus diambil untuk mempertahankan daya saing perusahaan dan kelangsungan bisnis di masa depan.
"Di banyak perusahaan khususnya multinasional, PHK hanya akan diambil jika semua opsi lain, seperti efisiensi dan optimalisasi, sudah tidak memberikan hasil yang diharapkan," jelas Lucia berdasarkan pengalamannya sebagai praktisi HR.
Provinsi dengan jumlah PHK terbesar sepanjang semester pertama 2024 adalah DKI Jakarta, dengan 7.469 pekerja terkena dampak. Diikuti oleh Banten (6.135 pekerja), Jawa Barat (5.155 pekerja), Jawa Tengah (4.275 pekerja), Sulawesi Tengah (1.812 pekerja), dan Bangka Belitung (1.527 pekerja). PHK yang terjadi sebagian besar dipicu oleh krisis di berbagai lini pada sektor manufaktur.
Wakil Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah Liliek Setiawan mengungkapkan, jumlah kasus PHK di lapangan kemungkinan lebih besar dari angka yang dicatat oleh Kementerian Tenaga Kerja.
Berdasarkan data API, per awal Agustus 2024, sekitar 15 ribu buruh terkena PHK akibat penutupan 10 pabrik tekstil di wilayah Jawa Tengah, termasuk Ungaran, Karanganyar, dan Boyolali. Liliek menyebut banyak perusahaan yang kesulitan bertahan karena serbuan barang impor, yang menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing di pasar sendiri.
"Segala upaya dilakukan melalui efisiensi, tapi akhirnya banyak yang tutup usaha," ujar dia, dalam keterangannya, Kamis (12/9/2024).
Baca Juga: 46.000 Pekerja Diterjang Badai PHK, Korban Terbanyak Jateng dan Jakarta
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam, menyatakan bahwa pelemahan industri manufaktur juga diperparah oleh melemahnya daya beli masyarakat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sepanjang 2023 hanya mencapai 4,82 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2022 yang sebesar 4,94 persen. Penurunan daya beli ini menyebabkan permintaan terhadap produk manufaktur menurun drastis memaksa banyak perusahaan untuk melakukan efisiensi dan PHK.
Selain itu, Bob menjelaskan bahwa ketidakpastian politik selama masa transisi pemerintahan juga membuat investor enggan menanamkan modal mereka, yang pada akhirnya memperlambat pemulihan sektor industri. Penurunan Purchasing Managers' Index (PMI) ke level 48,9 pada Agustus 2024 menjadi indikator nyata pelemahan sektor manufaktur di Tanah Air.
Lucia Nanny Lusida, seorang Organization Strategist dan Director D’Impact Indonesia, menjelaskan bahwa dalam beberapa kasus, keputusan PHK harus diambil untuk mempertahankan daya saing perusahaan dan kelangsungan bisnis di masa depan.
"Di banyak perusahaan khususnya multinasional, PHK hanya akan diambil jika semua opsi lain, seperti efisiensi dan optimalisasi, sudah tidak memberikan hasil yang diharapkan," jelas Lucia berdasarkan pengalamannya sebagai praktisi HR.