Menakar Efek Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek terhadap Petani Tembakau
loading...
A
A
A
“Kami tegas menolak aturan-aturan ini karena berdampak pada mata pencarian kami sebagai petani tembakau. Kami memohon kepada pemerintah untuk mendengarkan aspirasi kami dari pulau terujung di Indonesia," ujarnya melalui keterangan resmi.
“Peraturan yang dibuat tidak memberikan kesempatan kepada petani untuk menyampaikan kondisi yang sebenarnya di lapangan, makanya ketika aturannya muncul, justru tidak sinkron. Hampir seluruh masyarakat di Aceh memiliki kemampuan dalam mengolah tanaman tembakau,” imbuhnya.
Kritik tegas juga dilontarkan Perwakilan DPD APTI Jabar, Undang Herman. Ia mempertanyakan pasal-pasal pertembakauan di PP 28/2024 yang masih menuai polemik. Menurutnya, Kemenkes berniat untuk membunuh industri tembakau, termasuk nasib para petani yang berada dalam ekosistem pertembakauan nasional.
Herman bahkan menduga inisiasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan intervensi dari kelompok anti tembakau global. Kelompok-kelompok ini, kata dia, sejak lama memiliki misi untuk meruntuhkan industri tembakau di seluruh dunia dan memberikan tekanan pada pemerintah untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan yang terlampau ketat dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal Indonesia sendiri tidak meratifikasi kebijakan global tersebut.
"Perlu dicatat, negara yang mempunyai pertanian tembakau dan industrinya seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing. Sekarang, mengapa masih didorong juga dalam RPMK untuk dilaksanakan?” tegasnya.
Perumusan Tanpa Melibatkan Petani
Dia mengaku para petani tembakau di Aceh tidak pernah dilibatkan dalam perumusan regulasi yang justru sangat berdampak pada keberlangsungan mereka. Padahal, Aceh memiliki lahan pertanian yang luas dan sangat cocok untuk pembudidayaan tembakau, di mana masyarakatnya sendiri telah menanam tanaman tembakau secara turun menurun.“Peraturan yang dibuat tidak memberikan kesempatan kepada petani untuk menyampaikan kondisi yang sebenarnya di lapangan, makanya ketika aturannya muncul, justru tidak sinkron. Hampir seluruh masyarakat di Aceh memiliki kemampuan dalam mengolah tanaman tembakau,” imbuhnya.
Kritik tegas juga dilontarkan Perwakilan DPD APTI Jabar, Undang Herman. Ia mempertanyakan pasal-pasal pertembakauan di PP 28/2024 yang masih menuai polemik. Menurutnya, Kemenkes berniat untuk membunuh industri tembakau, termasuk nasib para petani yang berada dalam ekosistem pertembakauan nasional.
Herman bahkan menduga inisiasi kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek merupakan intervensi dari kelompok anti tembakau global. Kelompok-kelompok ini, kata dia, sejak lama memiliki misi untuk meruntuhkan industri tembakau di seluruh dunia dan memberikan tekanan pada pemerintah untuk mengadopsi ketentuan-ketentuan yang terlampau ketat dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal Indonesia sendiri tidak meratifikasi kebijakan global tersebut.
"Perlu dicatat, negara yang mempunyai pertanian tembakau dan industrinya seperti Amerika Serikat, Swiss, Kuba, Argentina, dan lain-lain secara gamblang menolak diintervensi dalam mengatur industri tembakau di negaranya masing-masing. Sekarang, mengapa masih didorong juga dalam RPMK untuk dilaksanakan?” tegasnya.
(akr)