Serikat Pekerja Tembakau Kembali Suarakan Tolak Bungkus Rokok Polos
loading...
A
A
A
Baik UU 17/2023 dan PP 28/2024 hanya mengatur ketentuan terkait GHW dan tidak mencantumkan adanya mandat penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Adapun aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek justru menyadur dari klausul kemasan polos (plain packaging) yang tertera pada Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan agenda anti tembakau internasional.
Padahal, Indonesia tidak meratifikasi FCTC mengingat kompleksnya ekosistem pertembakauan di dalam negeri. Maka, Sudarto menegaskan pentingnya pengawasan pada proses perumusan kebijakan yang dampaknya sangat besar bagi kelangsungan industri. Wewenang Kemenkes hanya mengatur 50% GHW dan informasi kesehatan sedangkan identitas merek dan sisa 50% nya adalah hak pelaku industri hasil tembakau.
“Dengan kata lain, Kemenkes sudah melampaui kewenangannya bahkan melanggar hak pelaku usaha yang bukan ranahnya. Sangat disesalkan sekali tindakan Kemenkes ini,” tegasnya.
Ketentuan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek adalah bukti tidak dijalankannya prinsip perumusan regulasi yang seharusnya melibatkan meaningful participation bersama pemangku kepentingan terkait dan akibatnya menimbulkan polemik tak berkesudahan.
Sudarto memastikan FSP RTMM – SPSI akan terus mengawal aturan ini agar tidak dijalankan dan disahkan pada masa pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Harapan ditujukan pada Pemerintahan baru untuk tetap mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan nasional dalam membuat aturan dan regulasi yang berdampak pada warga negaranya.
Sebelumnya, FSP RTMM – SPSI bersama ribuan anggota pekerja tembakau lainnya mengadakan aksi unjuk rasa ke Kantor Kemenkes pada 10 Oktober 2024 lalu. Aksi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan dalam audiensi untuk mengkaji ulang aturan terkait kemasan rokok tanpa merek yang ditolak tegas oleh ratusan ribu pekerja.
Melanjutkan aksi ini, FSP RTMM – SPSI mengambil sikap untuk mendesak pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 serta membatalkan Rancangan Permenkes yang akan memberikan kerugian signifikan dan mengancam PHK masal terhadap sektor pekerja tembakau.
Padahal, Indonesia tidak meratifikasi FCTC mengingat kompleksnya ekosistem pertembakauan di dalam negeri. Maka, Sudarto menegaskan pentingnya pengawasan pada proses perumusan kebijakan yang dampaknya sangat besar bagi kelangsungan industri. Wewenang Kemenkes hanya mengatur 50% GHW dan informasi kesehatan sedangkan identitas merek dan sisa 50% nya adalah hak pelaku industri hasil tembakau.
“Dengan kata lain, Kemenkes sudah melampaui kewenangannya bahkan melanggar hak pelaku usaha yang bukan ranahnya. Sangat disesalkan sekali tindakan Kemenkes ini,” tegasnya.
Ketentuan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek adalah bukti tidak dijalankannya prinsip perumusan regulasi yang seharusnya melibatkan meaningful participation bersama pemangku kepentingan terkait dan akibatnya menimbulkan polemik tak berkesudahan.
Sudarto memastikan FSP RTMM – SPSI akan terus mengawal aturan ini agar tidak dijalankan dan disahkan pada masa pemerintahan baru Prabowo-Gibran. Harapan ditujukan pada Pemerintahan baru untuk tetap mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan nasional dalam membuat aturan dan regulasi yang berdampak pada warga negaranya.
Sebelumnya, FSP RTMM – SPSI bersama ribuan anggota pekerja tembakau lainnya mengadakan aksi unjuk rasa ke Kantor Kemenkes pada 10 Oktober 2024 lalu. Aksi tersebut menghasilkan beberapa kesepakatan dalam audiensi untuk mengkaji ulang aturan terkait kemasan rokok tanpa merek yang ditolak tegas oleh ratusan ribu pekerja.
Melanjutkan aksi ini, FSP RTMM – SPSI mengambil sikap untuk mendesak pemerintah untuk merevisi PP 28/2024 serta membatalkan Rancangan Permenkes yang akan memberikan kerugian signifikan dan mengancam PHK masal terhadap sektor pekerja tembakau.
(akr)