Utang AS Tembus Rp558.000 Triliun, China Cari Tempat yang Lebih Aman

Senin, 11 November 2024 - 20:19 WIB
loading...
Utang AS Tembus Rp558.000...
Presiden terpilih AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. FOTO/Reuters
A A A
JAKARTA - Sejak dolar AS mengukuhkan perannya sebagai tulang punggung sistem keuangan global pascaperang dunia kedua, mata uang ini telah menjadi senjata pilihan bagi para presiden Amerika dalam melancarkan perang ekonomi. Namun, seiring dengan meningkatnya penggunaan sanksi oleh Amerika Serikat (AS) dalam beberapa tahun terakhir, kekhawatiran telah berkembang di China dan di tempat lain mengenai apakah dolar AS dapat tetap menjadi mata uang safe haven.

Kini, setelah kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS pada hari Selasa, gelombang ketidakpastian baru membayangi dolar AS dan aset-aset berdenominasi dolar AS.

"Kami masih menjadi tempat yang aman menawarkan penerbangan ke tempat yang aman di dunia yang berantakan dan berbahaya dan itu adalah keuntungan yang sangat besar," ujar mantan Menteri Keuangan AS Timothy Geithner kepada Bloomberg dikutip dari South China Morning Post, Senin (11/11/2024).



Ketika pemerintah negara-negara dengan perekonomian paling maju di dunia, yang dipimpin oleh AS, membekukan hampir setengah dari cadangan devisa Bank Sentral Rusia setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, hal ini menjadi pengingat bagi China bahwa cadangan devisa, yang merupakan yang terbesar di dunia, juga dapat terpengaruh oleh sanksi-sanksi AS.

Risiko sanksi hingga kesengsaraan utang AS membuat China lebih memiih mencari tempat yang lebih aman. Seorang peneliti di Sekolah Keuangan PBC Universitas Tsinghua, Yang Siyao mengungkapkan risiko penjualan paksa atau pembekuan aset-aset terkait AS juga perlu dipertimbangkan. Dia memprediksi kemungkinan memburuknya hubungan keuangan antara China dan AS sangat tinggi setelah Trump kembali ke Gedung Putih.

Ini akan berarti risiko yang lebih besar bagi China dalam memegang aset-aset berdenominasi dolar AS dan menambahkan bahwa China harus bersiap-siap untuk skenario terburuk. Misalnya, risiko penjualan paksa atau pembekuan aset-aset terkait AS juga perlu dipertimbangkan.

Belum lagi risiko perang dagang yang dilontarkan Donald Trump. Trump memulai perang dagang dengan China pada 2018 setahun, setelah masa jabatan pertamanya sebagai presiden AS dan mendorong pemisahan diri Amerika dari negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut.

Pada sebuah rapat umum kampanye di bulan September, ia mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada negara-negara yang menghindari dolar AS sebuah langkah yang terlihat sebagai bagian dari rencananya untuk melindungi peran dominan mata uang tersebut dalam sistem keuangan global. Dolar AS berfungsi sebagai mata uang utama untuk perdagangan internasional, cadangan bank sentral, dan penerbitan utang global.

Obligasi, tagihan, dan surat berharga yang diterbitkan oleh Departemen Keuangan AS yang dipegang oleh bank-bank sentral dan institusi-institusi di seluruh dunia sebagai surat berharga telah dipandang sebagai aset yang aman (safe haven). Cadangan devisa China mulai tumbuh di tahun 1990-an sebagai bagian dari transisi menuju ekonomi yang lebih terbuka.

Krisis keuangan Asia 1997, ketika mata uang Asia didevaluasi, mendorong Beijing untuk membangun cadangan devisa untuk melindungi diri dari guncangan eksternal. Cadangan devisanya meningkat karena perdagangan internasional dan investasi asing langsung berkembang selama bertahun-tahun, dengan data Administrasi Valuta Asing Negara menunjukkan bahwa jumlahnya mencapai USD3,261 triliun bulan lalu, turun dari USD3,316 triliun di bulan September.

Meskipun China tidak mengungkapkan di mana mereka menyimpan uang, sebagian besar diinvestasikan dalam utang pemerintah AS, menurut data resmi AS. Pada Agustus, kepemilikan China atas surat-surat berharga AS mencapai USD774,6 miliar menjadikannya pemegang utang pemerintah AS terbesar kedua di luar negeri setelah Jepang yang mencapai USD1,13 triliun.



Data Departemen Keuangan AS menunjukkan bahwa China mulai memangkas kepemilikan obligasi pemerintah AS sekitar tahun 2014, setelah mencapai puncaknya di atas USD1,3 triliun pada tahun 2013. Pada 2022, kepemilikan obligasi pemerintah AS oleh China turun di bawah USD1 triliun untuk pertama kalinya sejak tahun 2010.

Selain cadangan devisa yang dilaporkan, China telah mempertahankan eksposur substansial terhadap aset-aset berdenominasi dollar AS melalui bank-bank komersial negara yang besar, bank-bank kebijakan negara, dan sovereign wealth fund, China Investment Corporation (CIC).

China meluncurkan CIC pada 2007 untuk mengelola cadangan devisa yang membengkak dengan lebih baik dan mendiversifikasi investasi di luar kepemilikan dolar AS, dengan menargetkan peluang-peluang yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi di luar negeri.

CIC mengatakan total asetnya bernilai USD1,33 triliun pada akhir tahun lalu, naik 7,46 persen dari tahun ke tahun, dengan hampir 50 persen dari portofolio luar negerinya diinvestasikan dalam aset-aset alternatif seperti dana lindung nilai dan properti, dan sepertiganya diinvestasikan dalam bentuk saham dengan 60,29 persen di antaranya adalah saham-saham yang tercatat di bursa AS, meningkat dari 59,18 persen pada 2022.

Menurut Departemen Keuangan AS, utang AS mencapai USD35,46 triliun atau setara Rp558.000 triliun pada akhir September 2024, memberikan rasio utang terhadap produk domestik bruto sebesar 124%.
(nng)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0879 seconds (0.1#10.140)