Pertumbuhan Ekonomi 8% Masih Berat di Tahun 2025, Ekonom Ungkap Penyebabnya
loading...
A
A
A
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun 2019 atau sebelum pandemi Covid-19 sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Sedangkan pada tahun 2024 jumlahnya hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13% dari total penduduk.
Bhima memproyeksikan, pada tahun 2025 pada kuartal I bahkan tidak sampai di angka 5%, alias hanya bisa tumbuh 4,7 - 4,95%. Menurutnya ada 10 kebijakan pemerintah yang akan berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat tahun 2025. Seperti penerapan PPN 12%, wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera, Dana Pensiun Wajib, Asuransi Kendaraan Wajib, Opsen Kendaraan Wajib, Wacana Subsidi KRL diganti NIK, Kenaikan UKT Mahasiswa, Cukai MBDK, hingga kenaikan UMP hanya sebesar 6,5%.
"Begitu konsumsi rumah tangga melemah, bahkan tumbuh di angka 5%, ekonomi domestik tidak mampu lagi menjaga pertumbuhan ekonomi. Akibatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2025 akan berkisar di angka 4,7 – 4,95%," kata Bhima.
Direktur Celios Bhima menilai adanya penambahan komponen iuran wajib maupun kenaikan tarif pajak yang berlaku mulai tahun 2025 tidak sepadan dengan kenaikan Upah Minimum yang ditetapkan sebesar hanya 6,5% secara nasional.
"Fenomena makan tabungan akan berlanjut selain karena kebijakan perpajakan, juga karena rendahnya kenaikan UMP 6,5%," tambahnya
Menurutnya, sebagai upaya untuk memulihkan kelas menengah pada tahun 2025 bisa dimulai dari melindungi daya beli. Caranya dengan membatalkan tarif-tarif dan pungutan baru yang siap berlaku mulai tahun depan.
"Fiskal jadi tantangan terberat ekonomi Indonesia di 2025. Semua tergantung pemerintah, apakah mau jaga daya beli, ekonomi tumbuh diatas 5% atau mengorbankan daya beli demi pelaksanaan program pemerintah," tutupnya.
Bhima memproyeksikan, pada tahun 2025 pada kuartal I bahkan tidak sampai di angka 5%, alias hanya bisa tumbuh 4,7 - 4,95%. Menurutnya ada 10 kebijakan pemerintah yang akan berpengaruh langsung terhadap daya beli masyarakat tahun 2025. Seperti penerapan PPN 12%, wacana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Tapera, Dana Pensiun Wajib, Asuransi Kendaraan Wajib, Opsen Kendaraan Wajib, Wacana Subsidi KRL diganti NIK, Kenaikan UKT Mahasiswa, Cukai MBDK, hingga kenaikan UMP hanya sebesar 6,5%.
"Begitu konsumsi rumah tangga melemah, bahkan tumbuh di angka 5%, ekonomi domestik tidak mampu lagi menjaga pertumbuhan ekonomi. Akibatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2025 akan berkisar di angka 4,7 – 4,95%," kata Bhima.
Direktur Celios Bhima menilai adanya penambahan komponen iuran wajib maupun kenaikan tarif pajak yang berlaku mulai tahun 2025 tidak sepadan dengan kenaikan Upah Minimum yang ditetapkan sebesar hanya 6,5% secara nasional.
"Fenomena makan tabungan akan berlanjut selain karena kebijakan perpajakan, juga karena rendahnya kenaikan UMP 6,5%," tambahnya
Menurutnya, sebagai upaya untuk memulihkan kelas menengah pada tahun 2025 bisa dimulai dari melindungi daya beli. Caranya dengan membatalkan tarif-tarif dan pungutan baru yang siap berlaku mulai tahun depan.
"Fiskal jadi tantangan terberat ekonomi Indonesia di 2025. Semua tergantung pemerintah, apakah mau jaga daya beli, ekonomi tumbuh diatas 5% atau mengorbankan daya beli demi pelaksanaan program pemerintah," tutupnya.
(akr)
Lihat Juga :