Barang Branded Laris Manis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bagi kalangan tertentu, membeli dan memiliki produk mode mewah adalah kebutuhan yang harus dipenuhi. Mereka tidak peduli mengeluarkan kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah demi sebuah prestise dan kepuasan pribadi.
Benua Eropa dan Amerika menjadi rumah bagi luxury fashion brands. Sebut saja sederet brand, seperti Louis Vuitton (LV), Chanel, Hermes, Dior, Balenciaga, Gucci, Prada, dan Fendi, seakan sudah menjadi tolok ukur kemewahan masyarakat dunia. (Baca: Rela Siapkan Dana Besar untuk Koleksi Tas Mahal)
Satu item tas ransel LV seri New Age Traveler saja, misalnya, bisa dibanderol Rp765 juta. Adapun untuk seri urban satchel berbentuk persegi yang terbuat dari material bekas seperti bungkus rokok, botol minuman, dan bungkus obat ini bisa mencapai Rp2 miliar.
Tidak kalah dengan LV, label premium Hermes dengan ciri khas material kulit buaya seri Matte Crocodile Birkin dibanderol seharga Rp1,5 miliar hingga Rp26 miliar untuk Birkin yang dibuat langsung oleh desainer asal Jepang, Tanaka.
Di samping itu, masih banyak lagi brand premium dengan nilai jual fantastis, seperti brand Lana Marks dengan seri tas Cleopatra dibanderol Rp3,5 miliar, Leiber Pregious seri Rose dihargai Rp1,2 miliar, dan Marc Jacobs Carolyn Crocodile handbag berharga Rp421 juta, serta tas Fendi untuk seri Selleria bisa mencapai Rp533 juta.
Meski ditawarkan dengan harga selangit, para pencinta brand high end ini kebanyakan berasal dari Benua Asia. Bahkan, industri produk mode mewah di Asia mengalami perkembangan paling pesat.
Indonesia pun memiliki ekosistem produk mode mewah yang solid. Hal ini bisa dilihat dari kebanyakan konsumen yang mulai bergeser. Jika dahulu sebanyak 30% orang Indonesia senang berburu barang bermerek preloved (bekas), kini penjualan barang baru bisa naik 4 hingga 6 kali lipat.
Seperti dilansir dari Reebonz, situs belanja online terbesar di Asia, khusus untuk segmen produk fashion prestisius, item mode seperti sepatu menjadi pencarian belanja terfavorit para fashionista, yaitu sebesar 87%, lalu tas branded 56%, dan jam tangan 39%. (Baca: Usai Diperika Dewan Pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)
Permintaan akan barang baru dari merek prestisius (blue chip brands) selalu tinggi dari tahun ke tahun, khususnya di market e-commerce. Tahun lalu saja total transaksi barang branded naik sekitar 37% dibandingkan periode sebelumnya, sedangkan total pembelanjaan tahun lalu bisa mencapai 50%.
Senior Marketing Manager Reebonz Indonesia Bernard Widjaja menjelaskan, segmentasi produk mode mewah di Asia, termasuk Indonesia, telah berevolusi dan tidak lagi hanya diminati segelintir kalangan. Di pasar Asia, salah satu blue chip brands yang masih menjadi primadona adalah Chanel. Namun, kini banyak juga konsumen yang mulai melirik produk-produk mewah dari label cult seperti Givenchy, Burberry, Valentino Garavani, Balenciaga, Saint Laurent, dan Tory Burch.
"Saat ini orang sudah tidak lagi terpaku pada popularitas brand demi kualitas dan eksklusivitas. Namun, brand Chanel masih mempertahankan statusnya sebagai yang tereksklusif. Karena itu, konsumen yang mendambakan naik ke level puncak hierarki produk mewah merasa tetap perlu memiliki brand Chanel dalam koleksinya," kata Bernard.
Selain Chanel, merek yang diakui memiliki nilai kemewahan dan masih sangat diburu, bahkan hingga barang bekasnya adalah Prada, LV, dan Hermes. Sederet brand ini berhasil menanamkan citra dan nilai brand ke dalam gaya hidup masyarakat elite.
Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) bidang industri dan perdagangan Maxensius Tri Sambodo mengungkapkan, perilaku konsumen barang mode mewah di Asia kini telah bergeser. Jika dahulu para pemburunya lebih menyukai tantangan dan sejarahnya sendiri dalam mendapatkan barang mewah tersebut, kini generasi baru para pencinta barang branded lebih memilih membeli barang secara online atau mencari tahu lebih dalam tentang merek elite yang sudah mapan selama beberapa dekade. (Baca juga: Memanas, Rusia Bakal Gelar Latihan di Laut Mediterania)
"Bisa dikatakan sudah ada pergeseran persepsi konsumen yang kembali mempertanyakan makna dari sebuah produk mode mewah yang sejak lama menjadi indikator status sosial dan ekonomi," kata Maxensius.
Pertumbuhan tertinggi dari belanja dan transaksi produk mode high end di Asia saat ini dikuasai oleh pembeli dari Hong Kong dan Indonesia. Meski begitu, Singapura masih berada di posisi teratas dalam konsumsi barang mewah. "Konsumen Indonesia memiliki 44% kecenderungan lebih untuk membeli barang mewah. Indonesia masih berada di urutan ketiga dalam mengonsumsi barang mewah meskipun pemerintah telah memberlakukan regulasi pajak barang mewah yang cukup mahal namun tidak memengaruhi daya belinya," tambah Maxensius.
Namun, menjadi barang mewah dan terfavorit tidak lantas menyelamatkan sederet brand high end tersebut dari serangan pandemi virus korona. Seperti dilansir dari Fashion Law, pendapatan untuk brand Belenciaga, Yves Saint Laurent, dan Bottega Veneta mengalami penurunan hingga 15,4% pada kuartal I 2020.
Sementara itu, brand Gucci mengalami penurunan hingga 23,2% dibandingkan kuartal I di 2019, yakni dari USD2,52 miliar menjadi USD1,96 miliar. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)
Meski begitu, koleksi dari brand premium ini seakan tidak sepi dari penggemarnya. Lantas, bagaimana pemerintah melihat masih tingginya minat barang premium di Indonesia.
Anggota DPR Komisi VI Rieke Diah Pitaloka memandang masih besarnya dominasi produk luar di beberapa pasar ritel dan digital karena karakteristik market Indonesia sendiri. Seperti behavior market yang masih skeptis dengan produk lokal walaupun sudah banyak produk lokal yang diakui kualitasnya di mancanegara.
Secara garis besar, ada dua karakteristik umum market Indonesia, yaitu suka merek luar dan sensitif terhadap harga. Meski begitu, beberapa produk lokal juga sudah menggeliat meski mereka harus berjuang keras untuk bersaing dengan produk luar. (Lihat videonya: Pekerja Diduga Lalai, Dua Bangunan Ruko Roboh)
"Seharusnya pemerintah bisa lebih proaktif dalam membantu produsen, terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM) lewat insentif, keringanan pajak, permodalan, dan yang paling penting knowledge. Kalau pengetahuannya bagus, bukan tidak mungkin barang lokal kita lebih unggul di rumah sendiri," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP tersebut. (Aprilia S Andyna)
Benua Eropa dan Amerika menjadi rumah bagi luxury fashion brands. Sebut saja sederet brand, seperti Louis Vuitton (LV), Chanel, Hermes, Dior, Balenciaga, Gucci, Prada, dan Fendi, seakan sudah menjadi tolok ukur kemewahan masyarakat dunia. (Baca: Rela Siapkan Dana Besar untuk Koleksi Tas Mahal)
Satu item tas ransel LV seri New Age Traveler saja, misalnya, bisa dibanderol Rp765 juta. Adapun untuk seri urban satchel berbentuk persegi yang terbuat dari material bekas seperti bungkus rokok, botol minuman, dan bungkus obat ini bisa mencapai Rp2 miliar.
Tidak kalah dengan LV, label premium Hermes dengan ciri khas material kulit buaya seri Matte Crocodile Birkin dibanderol seharga Rp1,5 miliar hingga Rp26 miliar untuk Birkin yang dibuat langsung oleh desainer asal Jepang, Tanaka.
Di samping itu, masih banyak lagi brand premium dengan nilai jual fantastis, seperti brand Lana Marks dengan seri tas Cleopatra dibanderol Rp3,5 miliar, Leiber Pregious seri Rose dihargai Rp1,2 miliar, dan Marc Jacobs Carolyn Crocodile handbag berharga Rp421 juta, serta tas Fendi untuk seri Selleria bisa mencapai Rp533 juta.
Meski ditawarkan dengan harga selangit, para pencinta brand high end ini kebanyakan berasal dari Benua Asia. Bahkan, industri produk mode mewah di Asia mengalami perkembangan paling pesat.
Indonesia pun memiliki ekosistem produk mode mewah yang solid. Hal ini bisa dilihat dari kebanyakan konsumen yang mulai bergeser. Jika dahulu sebanyak 30% orang Indonesia senang berburu barang bermerek preloved (bekas), kini penjualan barang baru bisa naik 4 hingga 6 kali lipat.
Seperti dilansir dari Reebonz, situs belanja online terbesar di Asia, khusus untuk segmen produk fashion prestisius, item mode seperti sepatu menjadi pencarian belanja terfavorit para fashionista, yaitu sebesar 87%, lalu tas branded 56%, dan jam tangan 39%. (Baca: Usai Diperika Dewan Pengawas KPK, Firli Bahuri Memilih Bungkam)
Permintaan akan barang baru dari merek prestisius (blue chip brands) selalu tinggi dari tahun ke tahun, khususnya di market e-commerce. Tahun lalu saja total transaksi barang branded naik sekitar 37% dibandingkan periode sebelumnya, sedangkan total pembelanjaan tahun lalu bisa mencapai 50%.
Senior Marketing Manager Reebonz Indonesia Bernard Widjaja menjelaskan, segmentasi produk mode mewah di Asia, termasuk Indonesia, telah berevolusi dan tidak lagi hanya diminati segelintir kalangan. Di pasar Asia, salah satu blue chip brands yang masih menjadi primadona adalah Chanel. Namun, kini banyak juga konsumen yang mulai melirik produk-produk mewah dari label cult seperti Givenchy, Burberry, Valentino Garavani, Balenciaga, Saint Laurent, dan Tory Burch.
"Saat ini orang sudah tidak lagi terpaku pada popularitas brand demi kualitas dan eksklusivitas. Namun, brand Chanel masih mempertahankan statusnya sebagai yang tereksklusif. Karena itu, konsumen yang mendambakan naik ke level puncak hierarki produk mewah merasa tetap perlu memiliki brand Chanel dalam koleksinya," kata Bernard.
Selain Chanel, merek yang diakui memiliki nilai kemewahan dan masih sangat diburu, bahkan hingga barang bekasnya adalah Prada, LV, dan Hermes. Sederet brand ini berhasil menanamkan citra dan nilai brand ke dalam gaya hidup masyarakat elite.
Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) bidang industri dan perdagangan Maxensius Tri Sambodo mengungkapkan, perilaku konsumen barang mode mewah di Asia kini telah bergeser. Jika dahulu para pemburunya lebih menyukai tantangan dan sejarahnya sendiri dalam mendapatkan barang mewah tersebut, kini generasi baru para pencinta barang branded lebih memilih membeli barang secara online atau mencari tahu lebih dalam tentang merek elite yang sudah mapan selama beberapa dekade. (Baca juga: Memanas, Rusia Bakal Gelar Latihan di Laut Mediterania)
"Bisa dikatakan sudah ada pergeseran persepsi konsumen yang kembali mempertanyakan makna dari sebuah produk mode mewah yang sejak lama menjadi indikator status sosial dan ekonomi," kata Maxensius.
Pertumbuhan tertinggi dari belanja dan transaksi produk mode high end di Asia saat ini dikuasai oleh pembeli dari Hong Kong dan Indonesia. Meski begitu, Singapura masih berada di posisi teratas dalam konsumsi barang mewah. "Konsumen Indonesia memiliki 44% kecenderungan lebih untuk membeli barang mewah. Indonesia masih berada di urutan ketiga dalam mengonsumsi barang mewah meskipun pemerintah telah memberlakukan regulasi pajak barang mewah yang cukup mahal namun tidak memengaruhi daya belinya," tambah Maxensius.
Namun, menjadi barang mewah dan terfavorit tidak lantas menyelamatkan sederet brand high end tersebut dari serangan pandemi virus korona. Seperti dilansir dari Fashion Law, pendapatan untuk brand Belenciaga, Yves Saint Laurent, dan Bottega Veneta mengalami penurunan hingga 15,4% pada kuartal I 2020.
Sementara itu, brand Gucci mengalami penurunan hingga 23,2% dibandingkan kuartal I di 2019, yakni dari USD2,52 miliar menjadi USD1,96 miliar. (Baca juga: Jeli, Cara Selebriti Manfaatkan TikTok untuk Publikasi)
Meski begitu, koleksi dari brand premium ini seakan tidak sepi dari penggemarnya. Lantas, bagaimana pemerintah melihat masih tingginya minat barang premium di Indonesia.
Anggota DPR Komisi VI Rieke Diah Pitaloka memandang masih besarnya dominasi produk luar di beberapa pasar ritel dan digital karena karakteristik market Indonesia sendiri. Seperti behavior market yang masih skeptis dengan produk lokal walaupun sudah banyak produk lokal yang diakui kualitasnya di mancanegara.
Secara garis besar, ada dua karakteristik umum market Indonesia, yaitu suka merek luar dan sensitif terhadap harga. Meski begitu, beberapa produk lokal juga sudah menggeliat meski mereka harus berjuang keras untuk bersaing dengan produk luar. (Lihat videonya: Pekerja Diduga Lalai, Dua Bangunan Ruko Roboh)
"Seharusnya pemerintah bisa lebih proaktif dalam membantu produsen, terutama usaha mikro kecil menengah (UMKM) lewat insentif, keringanan pajak, permodalan, dan yang paling penting knowledge. Kalau pengetahuannya bagus, bukan tidak mungkin barang lokal kita lebih unggul di rumah sendiri," kata anggota DPR dari Fraksi PDIP tersebut. (Aprilia S Andyna)
(ysw)