Pengurus INSA Ramai-Ramai Tegaskan Kedaulatan Kapal Berbendera Indonesia, Ada Apa?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) menegaskan bahwa keinginan pemerintah untuk membuka akses investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri tidak sejalan dengan Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Hal ini bisa berakibat meredupnya kekuatan industri maritim dalam negeri. Dibukanya akses asing di sektor pelayaran dikhawatirkan ada pada RUU Cipta Kerja. Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja selama sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.
Menurutnya, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008 khususnya di pasal 8 dan pasal 57.
(Baca Juga: Kapal Berlebih, Investasi Asing di Sektor Pelayaran Belum Dibutuhkan)
"Jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatĂ n potensi maritim nasional di sektor pelayaran. Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih," tegas Carmelita di Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Carmelita juga menambahkan penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China dan negara-negara maju lainnya. Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi asing di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.
Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan asset di pembukuan. Kapal sebagai aset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara. Keuntungan pelayaran asing, kata dia, juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia.
Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional. "Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh," ujarnya.
Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri. Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.
Wakil Ketua Umum III DPP INSA Nova Y Mugijanto mengatakan asas cabotage telah berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja di industri pelayaran dan ekosistem industri di sekitarnya, seperti logistik, galangan, asuransi, klasifikasi Indonesia, industri komponen, konsultan desain kapal, lembaga sekolah dan pelatihan SDM pelaut dan lainnya.
Hal ini bisa berakibat meredupnya kekuatan industri maritim dalam negeri. Dibukanya akses asing di sektor pelayaran dikhawatirkan ada pada RUU Cipta Kerja. Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja selama sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.
Menurutnya, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres No 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008 khususnya di pasal 8 dan pasal 57.
(Baca Juga: Kapal Berlebih, Investasi Asing di Sektor Pelayaran Belum Dibutuhkan)
"Jika asas cabotage coba dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatĂ n potensi maritim nasional di sektor pelayaran. Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih," tegas Carmelita di Jakarta, Selasa (29/9/2020).
Carmelita juga menambahkan penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China dan negara-negara maju lainnya. Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim mengatakan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi asing di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.
Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan asset di pembukuan. Kapal sebagai aset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara. Keuntungan pelayaran asing, kata dia, juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia.
Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional. "Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh," ujarnya.
Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri. Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.
Wakil Ketua Umum III DPP INSA Nova Y Mugijanto mengatakan asas cabotage telah berdampak positif terhadap serapan tenaga kerja di industri pelayaran dan ekosistem industri di sekitarnya, seperti logistik, galangan, asuransi, klasifikasi Indonesia, industri komponen, konsultan desain kapal, lembaga sekolah dan pelatihan SDM pelaut dan lainnya.