Euforia Tanaman Hias

Sabtu, 03 Oktober 2020 - 05:59 WIB
loading...
Euforia Tanaman Hias
Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Pandemi memunculkan banyak tren di tengah masyarakat salah satunya merawat tanaman hias . Kelompok tanaman hias pot khususnya daun seperti jenis-jenis philodendron, anthurium, monstera, aglonema sygonium, calathea, dan lainnya benar-benar sedang naik daun.

Permintaan melonjak sehingga harga pun turut meroket seiring dengan ketersediaan tanaman yang menipis karena produsen tanaman mancanegara seperti Thailand dan Malaysia tidak bisa melakukan ekspor. Para produsen tanaman hias lokal pun mengambil kesempatan ini untuk mengisi kekosongan pasar lokal dan melakukan ekspor ke beberapa negara. (Baca: Amalan Ringan yang Bisa Jadi Sebab Turunnya Rahmat Allah)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor tanaman hias pada Januari - Juli 2020 angka ekspor tercatat 1.555 ton dengan nilai USD5,27 juta. Nilai itu sesungguhnya menurun dari periode yang sama tahun 2019 lalu dimana ekspor mencapai 4.763 ton dengan nilai USD 11,64 juta.

Masyarakat tetap harus waspada dan tetap rasional dalam membeli tanaman hias. Belajar dari tanaman jenis anthurium dan bonsai yang sangat populer pada awal tahun 2000, masyarakat yang rela membeli dengan harga hingga puluhan juta bahkan ratusan juta harus berakhir dengan kekecewaan. Beberapa tahun kemudian, dua jenis tanaman yang disebut-sebut sebagai simbol orang kaya itu nyaris tak ada harganya.

Bahkan, saat booming tanaman hias pada era itu, banyak masyarakat yang menggunakannya sebagai instrumen investasi. Padahal, sulit untuk menilai berapa mahal sebuah tanaman. Dalam hukum pasar, harga akan naik apabila demand tinggi sementara pasokan terbatas. Tetapi, yang perlu dicermati, jangan sampai terjebak pada upaya pihak-pihak tertentu yang sengaja “menggoreng” jenis tanaman hias tertentu sehingga seolah-olah berharga mahal.

Dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Hadi Susilo Arifin menerangkan tanaman hias monster sejak dahulu sudah ada. Hadi mengatakan dirinya sudah lama menanam di pekarangan rumahnya. Monstera aslinya berwarna hijau dengan daun yang bolong-bolong. (Baca juga: Kemenag Validasi Data Calon Penerima Bantuan Guru Madrasah Bukan PNS)

“Cuma (sekarang) ada orang yang mempopulerkan. Lalu, ada jenis-jenis yang yang disilangkan. Yang (asli) warnanya hijau. Sekarang variegata (yang mahal). Jadi karena ada orang yang mempopulerkan, lalu orang lain menjadi suka,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO awal pekan ini.

Dia menjelaskan tanaman itu keistimewaan atau daya tariknya biasa ada pada bentuk, warna, tekstur, dan aroma. Keistimewaan itulah yang ditonjolkan kepada masyarakat. Monstera ini jenis tanaman daun, maka warna dan bentuknya daunnya yang ditampilkan berbeda dari yang lain. Apalagi namanya Janda Bolong, membuat masyarakat penasaran.

“Jadi hal-hal seperti begitu. Ketika dulu ada bougenville pernah populer karena warna bunganya. Anthurium karena daun, daunnya gede. Gelombang cintalah, itu kan nama-nama yang provokatif. Lalu, orang menjadi tertarik, di lain pihak ada yang mempunyai hobi. Ini sekarang pandemi covid-19, orang lebih banyak di rumah. Nah, disalurkanlah hobi,” tutur Hadi Susilo.

Eva Haerani kaget melihat pemberitaan mengenai tanaman Janda Bolong. Maklum, dia mempunyai satu buah tanaman itu di halaman rumahnya. “Kaget banget. Apalagi dengan harga jual di pasaran yang sangat melejit. Eva jadi merasa senang dan bangga sudah mempunyai tanaman yang lagi viral,” ujarnya. (Baca juga: Ini Makanan yang Baik dan Tidak untuk Jantung)

Ibu satu anak itu membeli tanaman itu pada pertengahan Juni lalu. Saat itu, temannya menawarkan Janda Bolong dengan harga yang masih murah. Bahkan, belum terkenal seperti saat ini. Janda bolong yang dimiliki Eva merupakan jenis dasarnya yang berwarna hijau. Di pasarannya, harganya berkisar Rp650.000-1.000.000. “Alhamdulillah Janda Bolong itu pas beli cuma dua tangkai, sekarang sudah sembilan tangkai,” ucapnya.

Tanaman Janda Bolong ini pun mempunyai keunggulan, mudah dalam pemeliharaan. Hadi Susilo menuturkan tanaman monster ini mudah untuk dikembangbiakkan.”Kalau harganya normal (tidak masalah). Ketika harganya jutaan kok bisa. Saya lihat variegata (beda), daunnya warna warni. Itu disilangkan,” ucapnya.

Dia menerangkan setiap booming tanaman hias biasa ada orang yang punya keahlian untuk membentuk tanaman itu terlihat berbeda. Sebelumnya, pernah tren palem raja untuk di perumahan. Setelah itu muncul palem ekor tupai dan botol. Pria asal Cirebon itu mengungkapkan palem raja itu booming karena seorang arsitektur lanskap taman.

Palem raja itu dijejer di area pemukiman biar kelihatan seperti di California, Amerika Serikat. “Yang pinter yang membuat trendsetter. Orang yang mempunyai pemikiran orang Indonesia latah dan mudah dibujuk. Dia bikin banyak, siap dilempar di pasar. Di buat tren, harganya melonjak, barang dia habis, dia keluarin tren lain. Petani lain ikutan, dia punya stok banyak harganya sudah turun,” jelasnya. (Baca juga: Peneliti Temukan Danau Air Asin di Planet Mars)

Pria lulusan Okayama University, Jepang, itu memprediksi tren tanaman janda bolong paling lama satu tahun. Ia menyamakan dengan tren batu akik yang booming beberapa tahun lalu, sekarang sudah tidak lagi. Dia menuturkan masyarakat harus logis dalam menjalankan hobi tanaman. Kalau harganya masih ratusan ribu itu tidak masalah. Namun, jika harganya sudah jutaan, itu sudah tidak logis. “Enggak sampai dua tahun. kan orang bosen juga,” pungkasnya.

Direktur Buah dan Florikultura Direktoran Jendral Hortikultura Kementrian Pertanian (Kementan) Liferdi Lukman menanggapi positif fenomena tanaman hias yang kini tengah booming karena tentu berimbas secara positif terhadap pemasukan petani dan pelaku usaha tanaman hias. "Tren menanam dan memiliki tanaman hias khususnya pada masa pandemi ini menjadi asupan jiwa di tengah keterbatasan masyarakat,”ungkapnya di Jakarta, kemarin.

Dia memaparkan, sebagian masyarakat meyakini, memiliki dan merawat tanaman bisa membuat hati tenang, rileks dan bahagia. Hal ini menjadi peluang para petani dan tanaman hias untuk berproduksi dan mempromosikan tanaman hiasnya.

Jenis philodendron dan monstera terutama untuk jenis-jenis variegate dengan warna gelap, pink dan velvet harganya bisa sangat mahal hingga menyentuh angka Rp100 juta. Hal ini terjadi karena tanaman-tanaman tersebut menjadi sulit ditemui dipasaran karena keterbatasan stok tanaman. (Baca juga: Din Syamsuddin Minta Moeldoko Tak Mudah Lempar Tuduhan)

Menurut Ronald Bunga Mayang, Kepala Seksi Pelayanan Teknis dan Plt Kepala Seksi Jasa Penelitian Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi) mengatakan, tidak dapat dipungkiri heboh tanaman hias hingga harganya yang terus tinggi disebabkan juga munculnya influencer yang memiliki kepentingan tertentu.

"Berbeda dari tren tahun 2000-an yang menaikan Anthurium atau dikenal gelombang cinta. Dulu hanya memenuhi pasar lokal, belum terbuka seperti saat ini. Kalau sekarang lebih terbuka dengan media sosial beserta para influencer di dalamnya," ujarnya.

Tanaman hias jenis daun-daunan ini memang lebih digemari karena daun lebih panjang usia hidupnya. Dibandingkan dengan bunga yang harus menungguh waktu tertentu untuk tumbuh dan kemudian akan cepat gugur.

"Tanaman hias lain yang pernah booming seperti Bonsai atau anggrek permintaannya stabil karena mereka punya pasar sendiri dan kolektor setia sehingga penjualan tidak meredup. Gelombang cinta yang termasuk tanaman daun cantik itu permintaan musiman," jelas Ronald.

Tren musiman ini, diramaikan dengan para kolektor baru sehingga menjadi populer. Geliat bisnis tanaman hias memang sangat bagus. Namun, Balithi selalu meningatkan kepada mitra yakni petani, pengusaha untuk berhati-hati. Sebab, jika tanaman itu mudah untuk diperbanyak, semua orang bisa melakukannya. Popularitas tanaman tidak akan bertahan lama. Seperti yang terjadi pada anthurium jenis gelombang cinta. Pernah langka sehingga menjadi buruan tapi karena sudah banyak yang menanam harga langsung turun. Apalagi jika semakin banyak di pasaran tidak akan ada lagi harganya. (Baca juga: Uni Eropa Sanksi 40 Pejabat Belarusia)

Balithi merupakan lembaga dibawah Kementrian Pertanian (Kementan) yang mempunya teknologi in-vitro. Memperbanyak tanaman menjadi lebih cepat lagi.

Balithi merupakan unit pelaksana teknis bidang penelitian tanaman hias di bawah koordinasi Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementan. Balithi sebagai institusi pemerintah menjadi pihak yang tidak bisa terlepas dari fenomena ini. Tingginya permintaan akan tanaman hias daun pot, menyebabkan produsen dituntut untuk dapat menyediakan stok tanaman dalam jumlah banyak secara terus-menerus.

Padahal kondisi saat ini, kebanyakan produsen-produsen lokal belum memiliki kemampuan untuk itu. "Saat ini memperbanyak bahan tanam masih dilakukan secara konvensional, melalui pencacahan atau pemotongan tunas tanaman. Teknik ini tidak bisa diandalkan untuk menyediakan bahan tanam (benih) dalam jumlah banyak dalam waktu singkat secara berkesinambungan," jelas Ronald.

Disini peranan Balithi, dituntut untuk bisa mendukung ketersediaan benih dari jenis-jenis tanaman hias daun yang sedang booming saat ini.

Menyikapi kondisi saat ini, pada 2021, beberapa jenis tanaman hias daun potensial dan bernilai ekonomi tinggi seperti philodendron, dracaena dan monstera akan dimasukan dalam program kegiatan Balai Penelitian Tanaman Hias, termasuk teknologi perbanyakan masal melalui kultur in-vitro.

Melalui teknologi ini diharapkan kendala keterbatasan jumlah benih tanaman hias dan tersebut bisa teratasi, sehingga produsen Indonesia bisa bersaing dengan negara produsen lain dipasaran lokal maupun global.

Pakar tanaman dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Syarifah Iis Aisyah menilai ada trend setter yang menciptakan jenis tanaman hias yang booming di periode tertentu. (Baca juga: Jelang Akhir Tahun, Realisasi PEN Baru Rp316 Triliun)

"Tren itu memang dibuat dan diciptakan, masalah harga mahal diserahkan kepada konsumen dan kolektor sebagai penjual yang membuat kesepakatan. Selama tidak merugikan kedua belah pihak," ujarnya.

Syarifah menambahkan, tren tanaman hias ini biasanya tidak lebih dari satu tahun. Harga yang selangit itu akan turun dalam beberapa waktu ke depan. Tanaman hias yang semakin unik penampilannya akan semakin mahal. Meskipun tumbuh tidak normal, lebih kecil tapi karena bentuknya unik beda dari yang lain bisa jadi mahal. Unik terlihat pada daun dan bunga tanaman hias tersebut. Misalnya daun menjadi keriting, berwarba albino membuat tanaman tersebut menjadi spesies yang langka.

"Warna daun albino karena kekurangan kloroplas dalam daunnya. Kalau dia bisa hidup akan bagus sekali. Jenis ini selain mahal memeliharanya lebih sulit. Jadi bagi kolektor baru harus lebih berhati-hati," ungkap dosen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB ini.

Untuk mendapatkan tanaman hias albino ternyata cukup sulit. Seperti Monstera variegata harus didapat dari hasil persilangan atau cara lain seperti mutasi dengan sinar gamma. Ada beberapa program pemulihan yang dapat menciptakan keragaman berupa variegata. Makin aneh penampilannya memang lebih sulit itu juga yang membuat tanaman langka dan membuatnya mahal. (Baca juga: Berwisata Sambil Belajar di Liang Bua)

Maka, beberapa kolektor juga memperbanyak untuk mendapatkan tanaman serupa atau albino. Syarifah menjelaskan, cara memperbanyak dengan vegetatif yakni stek pucuk, stek daun, stek akar. Cara lain dengan generatif atau biji. Jika ingin menghasilkan variasi yang bervariatif tanam kembali dengan biji meskipun membutuhkan waktu yang lebih lama.

"Kalau kita tidak ingin variasi, sama persis dengan tumbuhan yang ingin kita perbanyak, dapat dengan cara vegetatif. Tingkat kemudahan relatif, ada yang sangat mudah ada juga sulit karena membutuhkan lingkungan yang ketat seperti memperhatikan suhu dan kelembaban," jelasnya.

Tanaman hias yang berbeda dari sesama jenisnya memang diincar para kolektor. Tian seorang penjual tanaman di mengakui hal tersebut. Monstera yang harganya hanya Rp 50 ribu jika daunnya hijau, namun, saat tumbuh diluar kewajaran malah bisa mahal."Saya pernah jual paling mahal monstera variegata Rp 100 juta, satu pot terdiri dari 5 daun warnanya hampir putih. Itu memang impor dari Thailand. Memang belum pernah liat di Indonesia makanya ada yang berani beli dengan harga segitu," jelasnya. (Baca juga: Anies 'Pamer' Baju Batik, Pujian Netizen Bikin Hati Meleleh)

Tian mengatakan, semua tanaman hias daun sedang naik harganya sehingga penjual tidak berani stok banyak. Sistem pre order dilakukan, bila sudah ada pesanan, Tian yang langsung mencarikan. Berkeliling ke banyak petani hingga ke luar Jawa. Perjuangan mendapatkan tanaman sesuai pesanan juga yang membuat harga melambung.

Tian merupakan seorang kolektor yang menjelma menjadi pedagang bila tren tanaman hias sedang menanjak. Dia mengakui, konsumen yang ingin beli dengan harga mahal biasanya mereka para kolektor baru. "Kalau sudah pemain lama biasanya enggan untuk beli dengan harga mahal seperti sekarang karena sudah tahu harga aslinya," ucapnya.

Tanaman hias bagi para kolektor bisa menjadi bisnis dan investasi. Namun bukan bagi para kolektor dadakan yang membeli untuk disimpan dengan harapan harga lebih mahal dikemudian hari. Bisnis jual beli mungkin saja, namun tidak prospektif dalam waktu lama.

"Tahun lalu pernah beli syngonium variegata harga Rp 60 ribu. Saya perbanyak hingga 20 pot, sudah setahun ini tumbuh. Tidak menyangka kalau akan menjadi hits tanaman hias. Sekarang saya jual per pot Rp 250 ribu," ungkapnya.

Sosiolog Sigit Rohadi menilai, euforia tanaman hias memang sesuai ciri masyarakat Indonesia yang reaktif dan emosional. Ciri-ciri itu menandakan seseorang akan mudah tertarik dengan sesuatu yang baru dan bahkan dirinya sendiri belum tahu manfaatnya atau bahkan barangnya. (Lihat videonya: Janda Bolong jadi Primadona Saat Pandemi Harganya Mencapai Ratusan Juta)

Sigit mengenang tren tanaman hias pernah terjadi 30 tahun silam. Dulu tahun 1980- an masyarakat gandrung dengan tanaman bonsai. Tanaman ini pun langsung populer.Kemudian tahun 1990-an booming tanaman kaktus kemudian meledek jenis tanman hias lain pada 2000 an yakni anthurium.

Semua polanya sama ketika suplai melimpah di pasaran harga menurun drastis. Tren datang juga biasanya memang disertai momen tertentu. "Disaat masyarakat sedang bosan atau kelelahan berpikir. Karena Masyarakat sedang dihadapkan pada rutinitas yang berbeda dari keseharian. Tren barang tersebut meledak dengan sendirinya, seperti pada pandemi saat ini," jelasnya. (Ananda Nararya/FW Bahtiar)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1638 seconds (0.1#10.140)