Usulan HJE 100%, Akal-akalan Produsen AS Kurangi Persaingan?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat ini perhatian pelaku industri hasil tembakau (IHT) di Tanah Air tertuju ke Kementerian Keuangan. Para pengusaha IHT, khususnya rokok, menanti aturan Kementerian Keuangan menyangkut besarnya tarif cukai yang akan dikenakan kepada industri tahun depan.
Namun, belum lagi PMK termutakhir dirilis, sebuah usulan ambigu dari satu produsen rokok dari Amerika Serikat agar Pemerintah menetapkan harga transaksi pasar (HTP) secara penuh (100% dari harga banderol), tidak lagi 85% dari harga yang tertera pada banderol.
Penetapan HTP 85% dari harga banderol itu tertuang dalam Aturan Dirjen Bea dan Cukai No. 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT. Bila harga di banderol, misalnya, Rp10.000, produsen diperkenankan menjual senilai Rp8.500 per bungkus (HTP). Pengaturan floor price tadi memiliki latar belakang tersendiri.
Pertama, aturan tersebut merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi. Pengaturan ini mencegah pembelian rokok oleh anak-anak di bawah umur. Pengusaha diatur sedemikian rupa sehingga tidak berlomba-lomba menjual produknya dengan harga semurah mungkin (predatory pricing). Selanjutnya, pengaturan HJE 85% ini dibuat untuk menjaga persaingan yang sehat serta memberikan perlindungan terhadap industri kecil dan menengah.
Usulan menghilangkan floor price tersebut mencuat karena diduga ada banyak pelanggaran atas aturan tadi. Banyak produsen diduga menjual produknya di bawah ketentuan floor price tadi. Akibat praktek tersebut, negara dirugikan hingga Rp2,6 triliun karena adanya “diskon” yang diberikan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC), Sunaryo menolak pernyataan bahwa Negara dirugikan. Ia juga menampik pendapat yang menyudutkan DJBC, yang seakan-akan memberikan diskon kepada produsen rokok.
Penerapan floor price tersebut, menurut Sunaryo, tidak mempengaruhi penerimaan Negara sama sekali karena pengusaha rokok membayar cukai mereka dalam jumlah rupiah per batang, dan selalu dibayarkan di depan.Lebih jauh Sunaryo mengatakan bahwa, penetapan floor price juga tidak memberikan efek apapun kepada penerimaan pajak rokok karena pajak rokok dibayar 10% dari cukai rokok tersebut.
"Aturan itu juga tidak akan mempengaruhi penerimaan Negara terhadap PPn hasil tembakau (HT) karena pengenaan PPn HT ditentukan berdasarkan HJE Banderol," kata Sunaryo dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Ketua Gapero (Gabungan Perusahaan Rokok) Surabaya Sulami Bahar, menilai kebijakan HJE 85% ini sudah tepat dan tidak perlu lagi diubah-ubah. Menurut Sulami, tidak ada perusahaan rokok yang bisa menetapkan harga jual ke konsumen hingga 100% dari HJE mempertimbangkan kenaikan cukai tinggi di tahun 2020. “Perusahaan rokok besar saja banyak yang menetapkan harga 85%,” katanya.
Namun, belum lagi PMK termutakhir dirilis, sebuah usulan ambigu dari satu produsen rokok dari Amerika Serikat agar Pemerintah menetapkan harga transaksi pasar (HTP) secara penuh (100% dari harga banderol), tidak lagi 85% dari harga yang tertera pada banderol.
Penetapan HTP 85% dari harga banderol itu tertuang dalam Aturan Dirjen Bea dan Cukai No. 37/2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif CHT. Bila harga di banderol, misalnya, Rp10.000, produsen diperkenankan menjual senilai Rp8.500 per bungkus (HTP). Pengaturan floor price tadi memiliki latar belakang tersendiri.
Pertama, aturan tersebut merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi. Pengaturan ini mencegah pembelian rokok oleh anak-anak di bawah umur. Pengusaha diatur sedemikian rupa sehingga tidak berlomba-lomba menjual produknya dengan harga semurah mungkin (predatory pricing). Selanjutnya, pengaturan HJE 85% ini dibuat untuk menjaga persaingan yang sehat serta memberikan perlindungan terhadap industri kecil dan menengah.
Usulan menghilangkan floor price tersebut mencuat karena diduga ada banyak pelanggaran atas aturan tadi. Banyak produsen diduga menjual produknya di bawah ketentuan floor price tadi. Akibat praktek tersebut, negara dirugikan hingga Rp2,6 triliun karena adanya “diskon” yang diberikan oleh Ditjen Bea dan Cukai.
Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC), Sunaryo menolak pernyataan bahwa Negara dirugikan. Ia juga menampik pendapat yang menyudutkan DJBC, yang seakan-akan memberikan diskon kepada produsen rokok.
Penerapan floor price tersebut, menurut Sunaryo, tidak mempengaruhi penerimaan Negara sama sekali karena pengusaha rokok membayar cukai mereka dalam jumlah rupiah per batang, dan selalu dibayarkan di depan.Lebih jauh Sunaryo mengatakan bahwa, penetapan floor price juga tidak memberikan efek apapun kepada penerimaan pajak rokok karena pajak rokok dibayar 10% dari cukai rokok tersebut.
"Aturan itu juga tidak akan mempengaruhi penerimaan Negara terhadap PPn hasil tembakau (HT) karena pengenaan PPn HT ditentukan berdasarkan HJE Banderol," kata Sunaryo dalam rilisnya di Jakarta, Rabu (7/10/2020).
Ketua Gapero (Gabungan Perusahaan Rokok) Surabaya Sulami Bahar, menilai kebijakan HJE 85% ini sudah tepat dan tidak perlu lagi diubah-ubah. Menurut Sulami, tidak ada perusahaan rokok yang bisa menetapkan harga jual ke konsumen hingga 100% dari HJE mempertimbangkan kenaikan cukai tinggi di tahun 2020. “Perusahaan rokok besar saja banyak yang menetapkan harga 85%,” katanya.