Tak Mampu Bayar Pesangon, Pengusaha Ungkit Keburukan Penetapan Aturannya

Kamis, 15 Oktober 2020 - 20:21 WIB
loading...
Tak Mampu Bayar Pesangon,...
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Isu pesangon menjadi salah satu yang mendapatkan banyak sorotan dari para pekerja di UU Cipta Kerja . Pasalnya, besaran pesangon yang didapat jadi berubah, dari 32 kali gaji menjadi 25 gaji saja. ( Baca juga:Kata Airlangga, dengan UU Ciptaker Korban PHK Tak Cuma Dikasih Pesangon )

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemberian 32 gaji untuk pesangon para pekerja dinilai sangat sulit sekali. Makanya, ada beberapa perusahaan yang tidak patuh menjalankan UU No. 13 Tahun 2003 soal Ketenagakerjaan karena tidak mampu.

“Itu kalau 32 sulit sekali. Jadi kalau 32 kondisi di lapangan kan memang berat sekali,” ujar Haryadi saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Hariyadi pun menjelaskan, selain pesangon, para pengusaha juga harus mencadangkan jaminan sosial. Dan jumlah untuk membayar jaminan sosial itu cukup besar, yakni di kisaran 10,24% hingga 11,74% dari pengeluaran perusahaan.

“Selain pesangon kami juga harus mencadangkan yang namanya biaya untuk jaminan sosial. Kami harus membayar iuran untuk BPJS Ketenagakerjaan dan juga kesehatan. Kalau kita bicara di jaminan sosial saja sudah 10,24% sampai 11,74%. Ada perbedaannya karena di jaminan kecelakaan kerja, preminya tergantung risiko,” jelasnya.



Tak hanya itu, perusahaan juga harus memberikan upah bulanan yang mana selalu naik karena menyesuaikan dengan inflasi. Sehingga jika harus membayar 32 kali gaji, banyak perusahaan yang tidak mampu. ( Baca juga:Upah Minimum Tidak Turun Meski Ada UU Ciptaker, Apindo: Tahun Depan Masih Sama )

“Belum lagi nanti dari upah sebulan karena kenaikan upah minimum. Jadi kondisi itu yang membuat pada saat pesangon diberikan itu perusahaan banyak yang tidak mampu. Mayoritas tidak mampu,” jelasnya.

Lagi pula lanjut Hariyadi, dalam UU Ketenagakerjaan, urusan pesangon dibuat ngawur. Saat itu, pemerintah langsung menetapkan angka tanpa melibatkan proses akademik.

“Saya juga ikut waktu pembahasan UU 13/2003. Mohon maaf, waktu itu juga rada ngawur. Pokoknya taruh aja satu angka tanpa kajian akademik melibatkan aktuaria, itu tidak ada. Saya ingat banget waktu itu kondisinya tidak seperti itu. Seingat saya waktu itu di bawah 19 kali. Kalau tidak salah kita bicaranya hanya 9 kali. Tapi karena persoalan politik waktu itu, kebetulan juga Pak Jacob Nuwa Wea adalah Menteri Ketenagakerjaan dan juga Ketua Serikat Pekerja, sehingga berubah itu semua,” jelasnya.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1619 seconds (0.1#10.140)