Indonesia Juaranya Soal Negara Paling Ribet untuk Berbisnis

Jum'at, 16 Oktober 2020 - 15:53 WIB
loading...
Indonesia Juaranya Soal Negara Paling Ribet untuk Berbisnis
Indonesia menjadi juaranya atau menempati posisi pertama sebagai negara paling ribet untuk berbisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) periode Juni. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Indonesia menjadi juaranya atau menempati posisi pertama sebagai negara paling 'ribet' untuk berbisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) periode Juni. Indeks itu dirilis oleh lembaga konsultan dan riset, TMF Group yang berbasis di Belanda.

Hasil survei GBCI tahunan terbaru oleh perusahaan layanan profesional TMF Group menempatkan Indonesia diperingkatkan satu sebagai tempat paling ribet untuk berbisnis . Adapun, hasil laporan ini berdasarkanriset dengan menganalisis 250 kriteria dari 77 negara untuk menentukan GBCI tahun ini.

(Baca Juga: Regulasi Terlalu Gemuk Jadi Landasan Lahirnya UU Cipta Kerja )

Meliputi administrasi bisnis, waktu yang diperlukan untuk memulai bisnis, perubahan dalam undang-undang perpajakan, kebijakan seputar upah dan manfaat, hingga tantangan membuka rekening bank.

"Covid-19 telah menambahkan permasalahan ekonomi dan sosial yang signifikan," tulis TMF yang dikutip SINDOnews di Jakarta, Jumat (16/10/2020).

Selain Indonsesia, ada enam negara yang juga kompleks dalam berbisnis yakni Amerika Selatan, dengan Brasil, Argentina, dan Bolivia berada di peringkat ke-2, ke-3, dan ke-4. Yunani, yang menempati posisi teratas tahun lalu, telah melakukan beberapa perbaikan, dan kini berada di peringkat ke-5 paling kompleks tahun ini.

(Baca Juga: Urusan Pajak Paling Jelek di Kemudahan Berusaha, UU Ciptaker Bikin Simple )

Salah satu dari tiga faktor yang diidentifikasi yang membentuk peringkat tahun ini adalah kompleksitas berkelanjutan yang dihadapi perusahaan multinasional dalam memenuhi peraturan internasional dan lokal, dan penjajaran yang sering terjadi di antara keduanya.

"Tren internasional mendorong standardisasi global tetapi praktik lokal tetap ada, dan bahkan meningkat di beberapa yurisdiksi," tulisnya.

Permasalahan aturan domestik juga menjadi kendala perusahaan multinasional membuka bisnis mereka, termasuk perubahan legislatif yang harus dipatuhi oleh perusahaan multinasional.

Sejumlah negara juga masih berpegang pada adat istiadat dan praktik yang berakar pada tradisi, sehingga menambah lapisan kompleksitas. Misalnya, 43% masih mengharuskan dokumen ditandai dengan stempel, potongan, atau segel agar mengikat secara hukum.

(Baca Juga: Jokowi Minta Minta Peringkat Kemudahan Berusaha di Bawah 40 )

Tetapi, pemberlakuan aturan ini sudah turun dibandingkan tahun lalu sebanyak 49% negara. Argentina, Malaysia, dan Hong Kong telah menghapus persyaratan itu. Namun, sejumlah negara mulai mengurangi kompleksitas bisnis.

Misalnya, China dapat mengenakan pajak perusahaan yang lebih rendah daripada ketentuan nasional untuk menarik investasi. Sebanyak 6 provinsi di China mengenakan pajak perusahaan sebesar 15% daripada tarif nasional tetap sebesar 25%.

TMF Group mengatakan faktor yang meningkatkan kemudahan berbisnis adalah tingkat adopsi teknologi. Hasil riset menunjukkan jumlah negara yang memungkinkan proses bisnis menjadi digital dan dilakukan secara online bertambah.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2201 seconds (0.1#10.140)