Jadi Beban Petani hingga Industri, PKB Tolak Kenaikan Cukai Rokok

Selasa, 27 Oktober 2020 - 12:34 WIB
loading...
Jadi Beban Petani hingga...
PKB menolak kenaikan cukai rokok karena membebani industri hingga petani. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan tegas menolak semua regulasi yang memusuhi dan mematikan kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT), menyusul rencana pemerintah untuk kembali menaikkan cukai rokok tahun depan . Sekretaris Jenderal PKB, Hasanuddin Wahid menegaskan, IHT adalah warisan hasil kebudayaan nasional yang harus dilindungi dan dikembangkan agar memberikan kontribusi yang maksimal bagi bangsa dan negara.

"Jadi segala bentuk aturan yang merugikan IHT, termasuk di dalamnya para petani, harus segera dihentikan, bukan malah dicari celahnya seperti mengambil pajak atau penerapan cukai yang tinggi. Ini berkaitan erat dengan para petani yang ada di desa-desa dan itu sebagian besar warga PKB," kata Hasanuddin dalam keterangan resminya, Selasa (27/10/2020).



Dia menambahkan, PMK No. 77/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024 sangat mengancam IHT. Pasalnya, aturan itu mengatur simplifikasi dan kenaikan cukai yang tinggi. Menurut Hasanuddin, kebijakan simplifikasi dan kenaikan tarif cukai dampaknya serapan produk tembakau rendah dan mengancam eksistensi pabrik rokok. Juga tenaga kerja, petani, dan buruh rokok kena dampaknya.

"Dampaknya akan sangat panjang, bahkan termasuk para pengecer dan yang lainnya. Masalah kesehatan nasional tidak hanya disebabkan rokok, ada banyak faktor yang memengaruhi seperti lingkungan, buruknya sanitasi, dan polusi udara dari kendaraan maupun pabrik," kata dia. Hasanuddin mengaku heran, mengapa industri lain seperti plastik tidak dibebani cukai yang tinggi, padahal produsen plastik itu kan usaha skala atas semua. "Tetapi, ini yang terkait petani (tembakau) selalu diobok-obok!," cetus dia.

Menurut dia, dengan kebijakan 10 layer (penarikan cukai rokok) seperti saat ini, sudah cukup baik. Karena mampu mewadahi berbagai kelas pabrikan rokok dari yang besar, menengah, dan kecil. Dia melanjutkan, produsen kecil dan pabrikan kretek yang notabene warisan nusantara tak akan bertahan jika dihadapkan dengan produsen besar.

Hitungannya, ada sekitar 500 pabrik rokok, dan 90-an persen masuk kategori menengah kecil. Jika kebijakan ini tetap berlangsung, mayoritas pabrik rokok gulung tikar. Alhasil, jutaan masyarakat menjadi pengangguran baru. Ketimbang terus mengobok-obok IHT, Hasanuddin meminta pemerintah mereformasi fiskal di sektor lain. "Jika alasannya menutup kekurangan APBN, pemerintah bisa menarik pajak yang lebih tinggi dari sektor lain," tegasnya.



Sementara itu, anggota Komisi IV DPR-RI, Luluk Nur Hamidah menegaskan, pemerintah harus melindungi IHT dan para petani tembakau. Menurutnya, pemerintah harus berani tegas menolak aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang coba diterapkan secara ketat di Indonesia. Dalam klausul FCTC, kata Luluk, tembakau diindikasikan sebagai komoditas negatif karena mengakibatkan kecanduan (adiktif). "Hal ini tidak adil karena keputusan ini dilakukan tanpa adanya riset dan pengembangan penelitian terlebih dahulu," tegasnya.

Jamak diketahui, FCTC merupakan agenda asing untuk mengontrol Indonesia, karena dengan melemahkan IHT dan turunannya, maka penerimaan pajak akan ikut menurun. "Kalau pajak terus dinaikkan, maka industri akan mati, kalau industri mati maka petani juga ikut mati," tegas Luluk.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2143 seconds (0.1#10.140)