Akankah Resesi Berlanjut ke Depresi Ekonomi? Ini Kata Ekonom
loading...
A
A
A
JAKARTA - Indonesia resmi masuk zona resesi di kuartal III/2020 dengan pertumbuhan ekonomi -3,49%. Akan tetapi, ekonom mengatakan bahwa resesi ekonomi di kuartal III ini hanya mengafirmasi kembali bahwa ekonomi tengah berada dalam tekanan yang cukup berat.
Yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya, akankah ekonomi Indonesia makin terpuruk dan mengalami depresi, yakni resesi ekonomi yang berlanjut dalam satu tahun ke depan?
(Baca Juga: Ini Dia Biang Kerok Penyebab Indonesia Alami Resesi)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, resesi ekonomi dapat mengarah pada depresi ekonomi jika pertumbuhan produk domesti bruto (PDB) masih negatif hingga 2021.
Terkait dengan itu, Bhima mengungkapkan kekhawatirannya pada konsumsi rumah tangga yang masih terkontraksi -4,04%. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama ekonomi Indonesia.
Terkontraksinya belanja rumah tangga, kata dia, menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya golongan menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah.
(Infografis: Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta Akibat Resesi)
"Kekhawatiran untuk belanja di luar rumah masih cukup tinggi sehingga kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman. Situasi ini sulit mengalami perubahan apabila masalah fundamental gerak masyarakat terbatas karena pandemi belum juga diselesaikan," kata Bhima Saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Di sisi lain, dia menambahkan, belanja pemerintah belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Meskipun ada kenaikan pertumbuhan sebesar 9,76%, namun kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69% pada kuartal III atau hanya naik tipis dibanding kuartal II yang sebesar 8,67% dari PDB.
(Baca Juga: Indonesia Engga Sendirian, Kepala BPS: Banyak Negara Alami Resesi)
Penyebab efektivitas belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp695 triliun yang rendah menurutnya adalah terdapat kesalahan dalam konsep stimulus. Misalnya, kartu prakerja yang tetap dilanjutkan meskipun target sasaran tidak fokus, dan training secara online belum dibutuhkan dalam situasi masyarakat yang lebih membutuhkan bantuan langsung.
"Masalah lain dari PEN adalah program subsidi bunga yang serapannya relatif rendah, karena pemerintah terlalu mengandalkan jasa keuangan konvensional atau perbankan dalam penyelamatan UMKM, bukan andalkan koperasi atau pelaku keuangan mikro yang lebih memahami karakteristik debitur UMKM," katanya.
Yang menjadi pertanyaan besar selanjutnya, akankah ekonomi Indonesia makin terpuruk dan mengalami depresi, yakni resesi ekonomi yang berlanjut dalam satu tahun ke depan?
(Baca Juga: Ini Dia Biang Kerok Penyebab Indonesia Alami Resesi)
Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, resesi ekonomi dapat mengarah pada depresi ekonomi jika pertumbuhan produk domesti bruto (PDB) masih negatif hingga 2021.
Terkait dengan itu, Bhima mengungkapkan kekhawatirannya pada konsumsi rumah tangga yang masih terkontraksi -4,04%. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan motor utama ekonomi Indonesia.
Terkontraksinya belanja rumah tangga, kata dia, menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya golongan menengah ke atas belum percaya terhadap penanganan Covid-19 yang dilakukan oleh pemerintah.
(Infografis: Penduduk Miskin Bisa Bertambah 1,2 Juta Akibat Resesi)
"Kekhawatiran untuk belanja di luar rumah masih cukup tinggi sehingga kelas menengah dan atas mengalihkan uang ke simpanan perbankan atau aset aman. Situasi ini sulit mengalami perubahan apabila masalah fundamental gerak masyarakat terbatas karena pandemi belum juga diselesaikan," kata Bhima Saat dihubungi SINDOnews di Jakarta, Kamis (5/11/2020).
Di sisi lain, dia menambahkan, belanja pemerintah belum mampu mendorong pemulihan ekonomi. Meskipun ada kenaikan pertumbuhan sebesar 9,76%, namun kontribusi belanja pemerintah baru mencapai 9,69% pada kuartal III atau hanya naik tipis dibanding kuartal II yang sebesar 8,67% dari PDB.
(Baca Juga: Indonesia Engga Sendirian, Kepala BPS: Banyak Negara Alami Resesi)
Penyebab efektivitas belanja program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Rp695 triliun yang rendah menurutnya adalah terdapat kesalahan dalam konsep stimulus. Misalnya, kartu prakerja yang tetap dilanjutkan meskipun target sasaran tidak fokus, dan training secara online belum dibutuhkan dalam situasi masyarakat yang lebih membutuhkan bantuan langsung.
"Masalah lain dari PEN adalah program subsidi bunga yang serapannya relatif rendah, karena pemerintah terlalu mengandalkan jasa keuangan konvensional atau perbankan dalam penyelamatan UMKM, bukan andalkan koperasi atau pelaku keuangan mikro yang lebih memahami karakteristik debitur UMKM," katanya.
(fai)