Penyederhanaan Tarif Cukai Dikhawatirkan Timbulkan Monopoli Pasar
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kebijakan terkait tarif cukai dikhawatirkan dapat mengarah kepada monopoli pasar. Hal tersebut disampaikan Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto.
“Karena perlu diingat bahwa pabrikan besar jumlahnya walaupun hanya 5%, tapi menguasai 90% pasar. Sedangkan pabrikan kecil dan menengah jumlahnya sebanyak 90%, tetapi pasarnya hanya 10% saja. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di bidang ekonomi, Pemerintah perlu meninjau dan menghitung kembali agar IHT tidak mengarah pada monopoli pasar,” kata Heri dalam rilisnya di Jakarta, kemarin. (Baca: Subhahanallah! Shalat tepat Waktu Berpengaruh Pada Kesuksesan)
Pihaknya juga meminta pemerintah untuk kembali menyesuaikan kenaikan cukai yang lebih realistis yaitu di sekitaran angka 7 hingga 10%. Jika ditinjau dari volume produksi, juga sudah menurun dan target cukai IHT tahun ini pun memenuhi target pemerintah.
“Jika tetap dinaikkan, dampaknya akan menurunkan daya beli masyarakat dan ruang untuk rokok ilegal semakin marak. Maka jangan sampai niat baik pemerintah justru ditunggangi pihak-pihak yang tidak berkepentingan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum FSP RTMM Sudarto selaku ketua umum untuk serikat pekerja, memetakan realitas di lapangan terhadap dampak kenaikan tarif cukai ke depan. “Sekarang kita lihat saja secara realita, selama lima sampai tujuh tahun ke belakang, setiap regulasi untuk IHT ini faktanya menurunkan tingkat serapan tenaga kerja.
Keputusan pabrikan melakukan efisiensi pekerja tidak mudah namun jalan melakukan efisiensi ini memang risiko yang paling cepat kejadian kalau kenaikan cukai terus dilakukan, termasuk tahun 2021 nanti dan lambat laun, berpengaruh ke perusahaan rokok akan semakin sedikit,” tuturnya. (Baca juga: Kemendikbud Dukung Pelaksanaan Kampus Sehat Selama Pandemi)
Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad), Bayu Kharisma menambahkan, Indonesia sekarang ini menuju ambang resesi, secara umum pasti yang akan terasa adalah daya beli masyarakat semakin terpukul. Selain itu, akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan puluhan ribu pekerja rokok SKT.
“Hal lain yang tidak kalah penting adalah, harus dilihat juga seberapa dalam resesi dan seperti apa pertumbuhan ekonomi kita nanti. Kalau ekonominya makin memburuk, maka tahun 2021 saya rasa adalah cobaan berat kepada pelaku IHT, khususnya kelompok usaha kecil-menengah dan pekerja pabrikan golongan 2 dan 3 akan semakin sulit,” jelasnya.
Pilihan untuk bertahan nampaknya juga sulit karena produktifitas akan terbatas selama pandemi masih berlangsung di negeri ini. Dengan kondisi perekonomian yang semakin terpuruk akibat resesi, negara harus mengeluarkan kebijakan yang melindungi sektor IHT, terutama pekerja rokok SKT yang mayoritas merupakan tulang punggung keluarga. (Lihat videonya: Waspada Angka Kejahatan Selama Pandemi Naik)
Bayu menambahkan, pemerintah sebaiknya meninjau ulang kenaikan tarif cukai di sektor IHT untuk 2021. Selama ini, pemerintah seakan menutup mata dari dampak kenaikan cukai yang signifikan di awal tahun 2020, dimana penetapan tarif harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35% dan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 21,55% menuai respon negatif dari kalangan industri. (Heru Febrianto)
“Karena perlu diingat bahwa pabrikan besar jumlahnya walaupun hanya 5%, tapi menguasai 90% pasar. Sedangkan pabrikan kecil dan menengah jumlahnya sebanyak 90%, tetapi pasarnya hanya 10% saja. Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat di bidang ekonomi, Pemerintah perlu meninjau dan menghitung kembali agar IHT tidak mengarah pada monopoli pasar,” kata Heri dalam rilisnya di Jakarta, kemarin. (Baca: Subhahanallah! Shalat tepat Waktu Berpengaruh Pada Kesuksesan)
Pihaknya juga meminta pemerintah untuk kembali menyesuaikan kenaikan cukai yang lebih realistis yaitu di sekitaran angka 7 hingga 10%. Jika ditinjau dari volume produksi, juga sudah menurun dan target cukai IHT tahun ini pun memenuhi target pemerintah.
“Jika tetap dinaikkan, dampaknya akan menurunkan daya beli masyarakat dan ruang untuk rokok ilegal semakin marak. Maka jangan sampai niat baik pemerintah justru ditunggangi pihak-pihak yang tidak berkepentingan,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Umum FSP RTMM Sudarto selaku ketua umum untuk serikat pekerja, memetakan realitas di lapangan terhadap dampak kenaikan tarif cukai ke depan. “Sekarang kita lihat saja secara realita, selama lima sampai tujuh tahun ke belakang, setiap regulasi untuk IHT ini faktanya menurunkan tingkat serapan tenaga kerja.
Keputusan pabrikan melakukan efisiensi pekerja tidak mudah namun jalan melakukan efisiensi ini memang risiko yang paling cepat kejadian kalau kenaikan cukai terus dilakukan, termasuk tahun 2021 nanti dan lambat laun, berpengaruh ke perusahaan rokok akan semakin sedikit,” tuturnya. (Baca juga: Kemendikbud Dukung Pelaksanaan Kampus Sehat Selama Pandemi)
Peneliti senior Universitas Padjadjaran (Unpad), Bayu Kharisma menambahkan, Indonesia sekarang ini menuju ambang resesi, secara umum pasti yang akan terasa adalah daya beli masyarakat semakin terpukul. Selain itu, akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan puluhan ribu pekerja rokok SKT.
“Hal lain yang tidak kalah penting adalah, harus dilihat juga seberapa dalam resesi dan seperti apa pertumbuhan ekonomi kita nanti. Kalau ekonominya makin memburuk, maka tahun 2021 saya rasa adalah cobaan berat kepada pelaku IHT, khususnya kelompok usaha kecil-menengah dan pekerja pabrikan golongan 2 dan 3 akan semakin sulit,” jelasnya.
Pilihan untuk bertahan nampaknya juga sulit karena produktifitas akan terbatas selama pandemi masih berlangsung di negeri ini. Dengan kondisi perekonomian yang semakin terpuruk akibat resesi, negara harus mengeluarkan kebijakan yang melindungi sektor IHT, terutama pekerja rokok SKT yang mayoritas merupakan tulang punggung keluarga. (Lihat videonya: Waspada Angka Kejahatan Selama Pandemi Naik)
Bayu menambahkan, pemerintah sebaiknya meninjau ulang kenaikan tarif cukai di sektor IHT untuk 2021. Selama ini, pemerintah seakan menutup mata dari dampak kenaikan cukai yang signifikan di awal tahun 2020, dimana penetapan tarif harga jual eceran (HJE) rokok sebesar 35% dan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 21,55% menuai respon negatif dari kalangan industri. (Heru Febrianto)
(ysw)