Soal Bisnis Neobank, Indonesia Kalah Start dari Filipina
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Agus Sugiarto mengatakan, bisnis neobank atau bank digital yang beroperasi tanpa cabang tidak sama dengan fintech (financial technology) untuk kasus di Indonesia. Menurut dia, secara umum ada yang sama namun di Indonesia kasusnya berbeda.
"Kalau melihat praktik fintech yang ada di Indonesia, tidak bisa disebut neobank. Karena apa? Mereka tidak tunduk pada aturan yang tercantum pada UU Perbankan Tahun 1998," ujarnya pada sebua diskusi bertema Traditional Bank vs Neobank, Selasa (17/11/2020).
( Baca juga:Jangan Tertipu, Begini Cara Hindari Investasi Bodong )
Menurut dia, dalam UU Perbankan dijelaskan bahwa penghimpunan dana masyarakat harus tunduk pada UU Perbankan. Sementara itu, fintech yang beroperasi di Indonesia ada dua macam. Pertama, fintech payment atau fintech pembayaran yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia (BI). Fintech jenis itu untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional yang diatur oleh BI.
Kedua, fintech pembiayaan (P2P) yang sekarang diatur dan diawasi oleh OJK. Fintech pembiayaan mengambil dana masyarakat sebagai investor, bukan untuk menabung.
"Jadi fintech pembayaran dan fintech pembiayaan bukan neobank walaupun di beberapa negara fintech adalah neobank. Tapi di kita konsepnya berbeda. Kecuali kita sudah mengatur dengan jelas, tetapi aturannya belum ada," katanya.
( Baca juga:FPI, Persaudaraan Alumni dan GNPF Ulama Sepakat Tunda Reuni 212 )
Agus melanjutkan, meski belum ada regulasinya di Indonesia, tetapi peluang neobank di Indonesia cukup menjanjikan. Di Asia, perkembangan neobank didominasi negara-negara Asia Timur, seperti China, Hong Kong, dan Korea.
Singapura dan Filipina merupakan negara ASEAN yang sudah memiliki neobank. Sementara di India neobank juga mulai berkembang. "Filipina selangkah lebih maju daripada kita, sementara kita belum punya neobank," tuturnya.
"Kalau melihat praktik fintech yang ada di Indonesia, tidak bisa disebut neobank. Karena apa? Mereka tidak tunduk pada aturan yang tercantum pada UU Perbankan Tahun 1998," ujarnya pada sebua diskusi bertema Traditional Bank vs Neobank, Selasa (17/11/2020).
( Baca juga:Jangan Tertipu, Begini Cara Hindari Investasi Bodong )
Menurut dia, dalam UU Perbankan dijelaskan bahwa penghimpunan dana masyarakat harus tunduk pada UU Perbankan. Sementara itu, fintech yang beroperasi di Indonesia ada dua macam. Pertama, fintech payment atau fintech pembayaran yang berada di bawah pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia (BI). Fintech jenis itu untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran nasional yang diatur oleh BI.
Kedua, fintech pembiayaan (P2P) yang sekarang diatur dan diawasi oleh OJK. Fintech pembiayaan mengambil dana masyarakat sebagai investor, bukan untuk menabung.
"Jadi fintech pembayaran dan fintech pembiayaan bukan neobank walaupun di beberapa negara fintech adalah neobank. Tapi di kita konsepnya berbeda. Kecuali kita sudah mengatur dengan jelas, tetapi aturannya belum ada," katanya.
( Baca juga:FPI, Persaudaraan Alumni dan GNPF Ulama Sepakat Tunda Reuni 212 )
Agus melanjutkan, meski belum ada regulasinya di Indonesia, tetapi peluang neobank di Indonesia cukup menjanjikan. Di Asia, perkembangan neobank didominasi negara-negara Asia Timur, seperti China, Hong Kong, dan Korea.
Singapura dan Filipina merupakan negara ASEAN yang sudah memiliki neobank. Sementara di India neobank juga mulai berkembang. "Filipina selangkah lebih maju daripada kita, sementara kita belum punya neobank," tuturnya.
(uka)