Investasi Masih Mengalir

Selasa, 15 Desember 2020 - 06:02 WIB
loading...
Investasi Masih Mengalir
Kendati masih diliputi awan mendung karena dampak pandemi Covid-19, sektor investasi di Tanah Air diyakini sudah berada di jalur yang tepat ke arah pemulihan. Ilustrasi/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Kendati masih diliputi awan mendung karena dampak pandemi Covid-19 , sektor investasi di Tanah Air diyakini sudah berada di jalur yang tepat ke arah pemulihan. Ini setidaknya bisa dilihat dari sejumlah indikator ekonomi yang mulai bergerak ke arah positif.

Di sektor investasi misalnya, laporan Badan Koordinasi Penaman Modal (BKPM) menyebutkan realisasi investasi hingga September 2020 mencapai Rp611,6 triliun, atau 74,8% dari target yang ditetapkan hingga akhir tahun sebesar Rp817,2 triliun.

Indikator positif lainnya juga terlihat dari indeks belanja manajer (Purchasing Managers Index/PMI) yang naik menjadi 50,6 pada November 2020 dari sebelumnya di 47,8 pada Oktober 2020. Diketahui, indeks PMI di atas 50 menunjukkan adanya pertumbuhan aktivitas manufaktur, sedangkan angka di bawah 50 dapat diartikan terkadi kontraksi. (Baca: Ketika Musibah Datang Sebagai Peringatan)

Kabar lain yang juga cukup menggembirakan adalah aksi korporasi perusahaan-perusahaan di pasar modal. Laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan, hingga November 2020, terdapat 46 emiten baru yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jumlah perusahaan yang melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) di BEI itu lebih banyak dibanding di negara-negara lain di ASEAN.

“Jumlah IPO ini terbanyak jika dibandingkan dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara lainnya seperti Singapura, Thailand, dan Filipina,” kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hoesen di Jakarta, kemarin.

Hoesen mengakui, pasar modal Indonesia tidak luput dari tekanan pandemi Covid-19, kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) sempat terpuruk di titik terendahnya pada Maret lalu, yakni di level 3.937,63. Namun, kemarin IHSG kembali menebus level di atas 6.000, melanjutkan penguatan sepekan sebelumnya yang di kisaran 5.930,76 atau tumbuh -5,85% secara year to date dan kapitalisasi pasar mencapai Rp6.895 triliun.

"Kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan tier country di ASEAN, seperti Singapura yang mengalami minus 12,25%, Thailand minus 8,23%, dan Filipina minus 7,83%," katanya.

Dia menuturkan, dari berbagai data indikator pasar modal di atas menunjukkan bahwa kepercayaan publik dan calon emiten terhadap pasar modal Indonesia masih cukup tinggi. "Saya optimistis ke depan pasar modal kita masih akan membukukan kinerja yang lebih baik lagi," kata dia. (Baca juga: Begini Persyaratan Mengikuti SNMPTN 2021)

Optimisme di pasar modal juga direspons baik oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dia berpendapat, naiknya kembali IHSG ke kisaran 6.000 menunjukkan bahwa adanya aliran modal kembali ke Indonesia.

“Tentu ini merupakan kepercayaan yang terus didorong dan menunjukkan aktivitas sektor riil untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di 2021," kata Airlangga di Jakarta, kemarin.

Investasi Bayangan

Kendati sejumlah data ekonomi dan pasar modal menunjukkan perbaikan, namun nilai investasi yang digelontorkan perusahaan-perusahaan private equity sepanjang tahun ini menurun drastis. Menurut laporan perusahaan konsultasi Bain & Company, hingga kuartal III/2020 dana yang digelontorkan perusahaan private equity ke wilayah Asia Tenggara justru turun lebih dari setengahnya.

Secara umum, nilai kesepakatan ekuitas swasta di Asia Tenggara turun lebih dari 50% menjadi hanya USD5 miliar pada periode Januari-September 2020, dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar USD12 miliar. Penyebabnya, banyak investor di kawasan ini yang berhati-hati mengeluarkan modal menyusul timbulnya ketidakpastian ekonomi akibat Covid-19. (Baca juga: 5 Makanan Asam yang Ampuh Menurunkan Berat Badan)

Kendati demikian, Bain & Company menyebutkan, suntikan modal melalui investasi bayangan (shadow investment) justru tetap mengalir dan menjadi salah satu harapan yang dapat mendongkrak ekuitas swasta dan perekonomian kawasan dalam jangka panjang.

“Investasi bayangan tidak terpengaruh selama pandemi Covid-19,” ungkap Bain & Company dalam keterangan pers, pekan lalu. Istilah “bayangan” diambil karena investor tidak mempublikasikan investasi mereka, baik nama perusahaan ataupun nilai. Namun, aliran dana itu dapat dilihat dari aktivitas bisnis perusahaan.

Tahun lalu, investasi bayangan berhasil memperkuat pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara setelah ekuitas swasta dan modal ventura mencapai USD12 miliar, angka tertinggi yang pernah diraih di Asia Tenggara.

“Jika menilik laporan pada akhir tahun ini, jumlah kesepakatan secara keseluruhan turun drastis di Asia Tenggara dibandingkan tahun lalu, terutama untuk kesepakatan besar,” ujar Penasehat Senior Bain & Company, Suvir Varma.

Sejauh ini, ungkap laporan tersebut, tidak ada penutupan ekuitas swasta di Asia Tenggara pada kuartal I dan II 2020. Penutupan hanya terjadi empat kali pada kuartal III/2020. Sebagai perbandingan, jumlah penutupan ekuitas swasta pada kuartal III/2019 mencapai 14 unit. (Baca juga: Canggih, India Gunakan Robot untuk Merawat Pasien)

Modal Baik

Data-data ekonomi yang mulai membaik pada kuartal III lalu menjadi pertanda bakal pulihnya krisis di masa mendatang. Apalagi, jika dilihat dari sisi makro pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia di kuartal III yang -3.49% YoY, lebih baik dibanding kuartal sebelumnya -5.32%.

Wealth Management Head Bank OCBC NISP Juky Mariska mengatakan, sejumlah kebijakan seperti pelonggaran peraturan pembatasan sosial oleh pemerintah memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk konsumsi dalam negeri.

"IHSG menguat 5,3% pada Oktober, mencatatkan penguatan bulanan terbesar di 2020 setelah turun sebanyak 7,0% pada bulan September. Namun hingga akhir Bulan Oktober, IHSG masih 18,6% lebih rendah dibandingkan awal tahun ini," ujar Juky.

Bagi investor yang bergantung pada teknis, lanjut Juky, hal ini mengindikasikan bahwa pasar saham masih memiliki potensi besar untuk meminimalkan kerugiannya pada kuartal IV yang didorong oleh pemulihan ekonomi. (Baca juga: Lazio Tak Gentar Hadapi Bayern di 16 Besar)

Sementara itu, kata dia, hasil pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) juga telah menjadi pendorong bagi pasar domestik, bersama dengan kemajuan positif pada vaksin terdepan.

Pengamat ekonomi Rifki Fadilah berpendapat, pergerakan ekonomi dalam negeri tidak terpelas dari sisi supply dan demand. Demikian juga dengan sektor investasi yang juga turut didorong oleh permintaan.

“Otomatis hal yang paling sederhana ketika mau investasi melihat prospek dari suatu bisnis itu apakah akan berkembang atau tidak. Bisnis akan berkembang didorong adanya permintaan. Permintaan tidak ada, otomatis potensi bisa akan hilang,” ujarnya.

Terkait realisasi investasi di Indonesia, kata dia, Investor memiliki hitung-hitungan yang matang mengenai keuntungan yang akan diperoleh dan jangka waktu uang kembali. Peneliti The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII) itu mengatakan investasi memang mulai tumbuh, tetapi bukan ke sektor riil melainkan di pasar saham atau derivatif.

“Dia meningkat terus dan prospeknya menjanjikan untuk pasar derivatif. Itu sifatnya hot money, jika ada sesuatu yang mengganggu, bisa langsung pergi. Kalau investasi di sektor riil, mau tidak mau, harus menanggung risiko entah untung atau tidak. Investasi di sektor riil (masih) agak pesimis melihat situasi,” katanya. (Lihat videonya: Komnas HAM Investigasi Kasus Penembakan Simpatisan FPI)

Dia tidak memungkiri, investasi kemungkinan akan menyasar ke perusahaan rintisan. Menurutnya, perusahaan rintisan memiliki keunggulan dari sisi penggunaan teknologi informasi (TI). Di tengah pandemi, semua kegiatan dan mobilitas orang dibatasi. (F.W. Bahtiar/Rina Anggraeni/Aditya Pratama)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0896 seconds (0.1#10.140)