Pengusaha Harap Besaran Stimulus Ditambah dan Lebih Merata
loading...
A
A
A
"Kami di industri maskapai dalam negeri pun sudah megap-megap. Padahal ini industri yang cukup besar, padat karya dengan valuasi di atas miliaran rupiah," papar Denon. Dia menilai sudah saatnya pemerintah menambah stimulusnya dari sekitar 2,5% terhadap PDB menjadi 5-10% terhadap PDB.
(Baca Juga: Cegah Krisis, Sri Mulyani Didukung Komisi XI DPR Selamatkan Ekonomi Nasional)
Ketua umum DPP Organda Andre Djokosoetono mendorong agar pemerintah mengkaji kembali program restrukturisasi kredit. Menurutnya, tidak semua pengusaha transportasi darat yang mendapatkan fasilitas ini. Hanya pengusaha dengan armada dalam jumlah terbatas yang bisa memperoleh. Padahal, pengusaha dengan jumlah armada besar pun kesulitan di tengah pandemi ini. Umumnya, perusahaan-perusahaan ini mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar.
"Yang unik di transportasi darat adalah UMKM. Ada dua jenis UMKM di sektor transportasi darat, pertama adalah UMKM yang seutuhnya independen seperti angkot, angling, dan lainnya. Tetapi ada UMKM jenis kedua, yaitu yang bernaung di bawah perusahaan besar bahkan regional, yaitu perusahaan aplikasi. Jika UMKM jenis kedua ini mendapatkan kemudahan, maka juga perlu diperhatikan perusahaan nasional walaupun bukan UMKM," tandasnya.
Dia berharap insentif diperluas dan lebih merata. Jika kondisi in terus berlangsung, ujar Andre, perusahaan transportasi umum hanya bisa bertahan 1-2 bulan ke depan.
Dibutuhkan langkah cepat menagani dampak pandemi. Salah satunya diusulkan oleh Badan Angggaran DPR dengan meminta Bank Indonesia mencetak uang. Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, usulan itu masuk akal, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan.
"Kalau cetak uang Rp600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI cetak Rp600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%, tidak juga kalau menurut kami," ungkapnya.
Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Mohamad Faisal mengatakan, tidak hanya pemerintah pusat namun sudah saatnya bank sentral ikut aktif berperan membantu krisis pandemi Covid-19 secara nyata dengan mengucurkan likuiditas kepada sektor-sektor ekonomi. "Paling ekstrem ya bisa dilakukan dengan mencetak uang. Tapi karena kondisi saat ini saya kira itu tidak salah dilakukan selama risikonya terukur. Apalagi sebelum masa pandemi Covid terjadi di dalam negeri masih kekurangan likuiditas," ujarnya.
Dia menjelaskan porsi PDB nasional hanya sekitar 40% dari jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga saat ini dibutuhkan banyak uang yang dalam bentu cash. Dia menambahkan, bank sentral harus berpikir out of the box dan ikut andil menyelamatkan perekonomian.
(Baca Juga: Cegah Krisis, Sri Mulyani Didukung Komisi XI DPR Selamatkan Ekonomi Nasional)
Ketua umum DPP Organda Andre Djokosoetono mendorong agar pemerintah mengkaji kembali program restrukturisasi kredit. Menurutnya, tidak semua pengusaha transportasi darat yang mendapatkan fasilitas ini. Hanya pengusaha dengan armada dalam jumlah terbatas yang bisa memperoleh. Padahal, pengusaha dengan jumlah armada besar pun kesulitan di tengah pandemi ini. Umumnya, perusahaan-perusahaan ini mempekerjakan pegawai dalam jumlah besar.
"Yang unik di transportasi darat adalah UMKM. Ada dua jenis UMKM di sektor transportasi darat, pertama adalah UMKM yang seutuhnya independen seperti angkot, angling, dan lainnya. Tetapi ada UMKM jenis kedua, yaitu yang bernaung di bawah perusahaan besar bahkan regional, yaitu perusahaan aplikasi. Jika UMKM jenis kedua ini mendapatkan kemudahan, maka juga perlu diperhatikan perusahaan nasional walaupun bukan UMKM," tandasnya.
Dia berharap insentif diperluas dan lebih merata. Jika kondisi in terus berlangsung, ujar Andre, perusahaan transportasi umum hanya bisa bertahan 1-2 bulan ke depan.
Dibutuhkan langkah cepat menagani dampak pandemi. Salah satunya diusulkan oleh Badan Angggaran DPR dengan meminta Bank Indonesia mencetak uang. Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, usulan itu masuk akal, terutama dari sisi inflasi yang kerap kali dikhawatirkan.
"Kalau cetak uang Rp600 triliun kemudian seakan-akan uangnya banjir, tidak juga. Hitungan kami kalau BI cetak Rp600 triliun, itu inflasinya sekitar 5-6%, tidak banyak. Masa Rp600 triliun tiba-tiba inflasi akan naik 60-70%, tidak juga kalau menurut kami," ungkapnya.
Dihubungi terpisah, ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Mohamad Faisal mengatakan, tidak hanya pemerintah pusat namun sudah saatnya bank sentral ikut aktif berperan membantu krisis pandemi Covid-19 secara nyata dengan mengucurkan likuiditas kepada sektor-sektor ekonomi. "Paling ekstrem ya bisa dilakukan dengan mencetak uang. Tapi karena kondisi saat ini saya kira itu tidak salah dilakukan selama risikonya terukur. Apalagi sebelum masa pandemi Covid terjadi di dalam negeri masih kekurangan likuiditas," ujarnya.
Dia menjelaskan porsi PDB nasional hanya sekitar 40% dari jumlah uang yang beredar di masyarakat sehingga saat ini dibutuhkan banyak uang yang dalam bentu cash. Dia menambahkan, bank sentral harus berpikir out of the box dan ikut andil menyelamatkan perekonomian.
(fai)