Kemenkeu Tegaskan Penempatan Dana Pemerintah untuk Bank Sehat

Kamis, 14 Mei 2020 - 08:30 WIB
loading...
Kemenkeu Tegaskan Penempatan Dana Pemerintah untuk Bank Sehat
Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan penempatan dana pemerintah hanya dilakukan terhadap perbankan yang sehat. Kemenkeu memprediksi hanya sedikit bank-bank pelaksana yang membutuhkan bantuan likuiditas dalam waktu dekat dan jumlah yang besar.

"Kalau pun ada itu hanya 1-2 bank karena memerlukan likuiditas karena melakukan restrukturisasi. Tapi ingat ini kita hanya melakukan ini untuk bank sehat, bukan bank yang terancam likuiditas yang ke arah tidak sehat," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu di Jakarta, kemarin.

Febrio menegaskan, langkah pemerintah yang akan menempatkan dana melalui hasil penjualan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibeli oleh BI kepada perbankan bukanlah langkah penyelamatan perbankan. Langkah tersebut untuk menyelamatkan masyarakat yang terdampak Covid-19.

Menurut dia, pemerintah menerbitkan kebijakan restrukturisasi kredit UMKM melalui perbankan. Dalam pelaksanaannya, perbankan memerlukan likuiditas yang cukup. Likuiditas yang diperlukan untuk keseluruhan program restrukturisasi kredit yakni sekitar Rp600 triliun. "Ini saya tegaskan, ini bukan dalam bisnis penyelamatan perbankan," jelasnya. (Baca: Audit BPK Bisa Pengaruhi Kepercayaan Masyarakat terhadap Perbankan)

Dia meluruskan bahwa pemerintah tidak dalam upaya mengambil alih tugas BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait penyelamatan perbankan ini. "Pemerintah tidak berusaha mengambil alih tugas BI dan OJK," ucapnya.

Febrio menambahkan, sejauh ini tak ada permasalahan likuiditas di perbankan selama melakukan restrukturisasi. Sebab, perbankan masih punya cadangan likuiditas yang bisa diperoleh dari merepokan SBN ke BI. Jumlahnya yaitu sekitar Rp700 triliun, dan dengan peraturan yang berlaku ada Rp400 triliun SBN yang bisa direpo ke BI.

"Jadi tidak ada masalah likuditas dari perbankan kalau melakukan restrukturisasi hanya selama 6 bulan. Jadi tidak ada masalah pelik di perbankan sejauh ini," tegasnya.

Pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan, dana pemerintah yang diperoleh dari sumber apa pun harus dipastikan kembali untuk sektor riil. Jika melakukan bantuan restrukturisasi kredit misalnya, pengawasannya harus ketat. Namun, dia mengkritisi apabila tidak hati-hati, bisa berisiko muncul kasus BLBI jilid kedua yang lebih besar. “Alih-alih uangnya masuk ke debitur, tapi justru digelapkan oleh para pemilik bank ke luar negeri. Jadi potensi korupsi itu pasti ada,” ujar Bhima.

Menurutnya, dibutuhkan peran OJK dalam melakukan pengawasan dan seleksi bank mana yang berhak mendapatkan restrukturisasi kredit.

Sebelumnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih meyakini perbankan kecil maupun sedang tidak akan goyah di tengah tekanan pandemi Covid-19. Pasalnya, rasio redit macet atau Non-Performing Loan (NPL) masih akan terjaga stabil hingga akhir tahun. ( Baca juga: LPS Longgarkan Denda Pembayaran Premi Penjamninan Perbankan)

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan,angka NPL pada bulan Maret tercatat telah meningkat menjadi 2,79% dari Desember 2019 yang masih mencapai 2,53%.

"NPL ini kita harapkan sampai Covid-19 selesai tidak akan signifikan naik. Dan angka ini masih di 2,7% untuk bulan Maret. Kalau ada bank goyah dari sisi NPL saya yakin tidak ada," kata Wimboh.

Dia menjelaskan, kondisi likuiditas perbankan saat ini masih terjaga. Hal ini tercermin dari rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) yang telah mengalami penurunan namun masih cukup tinggi yaitu sebesar 21,72% dimana pada saat Desember 2019 sempat mencapai 23,31%.

"Program restukturisasi perbankan cukup efektif untuk menekan pembengkakan NPL di perbankan. Wimboh menyebut, bilamana ada nasabah yang menunggak pokok dan bunga dapat dikategorikan lancar apabila kesehatan pembayarannya masih lancar sebelum pandemi covid-19 terjadi di Indonesia," katanya.

Dia menambahkan terdapat beberapa sektor yang mulai mengalami penurunan permintaan kredit hingga kredit macet. Adapun sektor-sektor tersebut bagian yang terdampak langsung dari pandemi Covid-19.

Sektor ini mulai mengalami kredit macet dan penurunan permintaan kredit di antaranya perhotelan, transportasi dan restoran. Sektor-sektor tersebut terdampak karena pengunjung dan penggunanya turun drastis akibat pandemi.

"Hotel penghuninya sudah berkurang banyak, transportasi sudah juga berhenti restoran juga sudah tidak ada pengunjungnya tapi ini semua kan bersifat sementara dan akan kita lihat kondisinya," katanya. (Rina Anggraeni)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1868 seconds (0.1#10.140)