Biden Injeksi Stimulus USD1,9 Triliun, IHSG Diramal Naik ke 6.500

Kamis, 21 Januari 2021 - 01:59 WIB
loading...
Biden Injeksi Stimulus...
IHSG berpotensi naik sebanyak 9% ke kisaran 6.500. Foto/Dok SINDOphoto/Yorri Farli
A A A
JAKARTA - Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Joe Biden kabarnya akan mengajukan paket stimulus tambahan untuk penanganan virus Corona sebesar USD1,9 triliun.

Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean mengatakan, dengan melihat perkembangan politik kontemporer di AS dan rute kebijakan yang akan diambil Joe Biden, diperkirakan rentang indeks dolar akan berada di kisaran 80-90.

"Ini sebagai konsekuensi dari terhambatnya pemulihan di Amerika Serikat dan injeksi stimulus sebesar USD1,9 triliun untuk mengatasi efek Covid-19 dan mendongkrak perekonomian AS," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/1/2021).

( )

Asumsi selanjutnya, US Treasury 10-tahun diperkirakan akan bertahan di kisaran 1% sebagai akibat tertahannya pemulihan ekonomi di Eurozone dan Jepang.

Kemudian, pemulihan global di 2021 menurut Adrian belum cukup kuat untuk mengangkat harga minyak bumi dan komoditas jauh lebih tinggi dari rerata harga di 2020. "Sementara besaran foreign net-inflow di pasar modal yang mencapai kisaran USD5 miliar di 2021," kata dia.

Berdasarkan asumsi tersebut, lanjutnya, maka diperkirakan rata rata tahunan nilai tukar akan berpotensi menguat sekitar 5-6% dibanding 2020 sehingga mencapai Rp13.750 per dolar AS.

Prospek penguatan rupiah dan valuasi obligasi yang saat ini masih di kisaran wajar, ditambah dengan partisipasi Bank Indonesia di pasar primer berpotensi membawa rata rata tahunan yield obligasi 10 tahun kearah 5,9% di 2021, atau turun 100+ bps dibanding tahun 2020.

( )

Sementara itu di pasar saham, dengan ekspektasi pertumbuhan PDB nominal di 2021 sebesar 6%, dan ditambah dengan perbaikan kondisi likuiditas di bursa, Adrian memperkirakan IHSG berpotensi naik sebanyak 9% ke kisaran 6.500.

Terpisah, Kepala Ekonom TanamDuit Ferry Latuhihin mengatakan, untuk bulan Januari ini kondisi market masih sangat volatile. "Sulit memprediksi tren dengan berbagai metode time series statistik karena distribusi probabilitasnya punya variasi yang sangat lebar," kata Ferry.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2251 seconds (0.1#10.140)