Pertumbuhan Ekonomi Tak Capai 7 Persen, Listrik Oversupply
loading...
A
A
A
JAKARTA - Terjadi ketidaksesuaian antara proyeksi pertumbuhan kebutuhan listrik dengan penambahan pasokan listrik baru sebesar 35.000 Megawatt (MW). Hal ini menyebabkan adanya kondisi kelebihan pasokan (oversupply) listrik secara nasional.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, ada beberapa asumsi yang menyebabkan kelebihan pasokan listrik. Pertama, pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang ditargetkan sebesar 7%. Dengan pertumbuhan sebesar 7%, diperkirakan permintaan listrik bisa tumbuh sebesar 8-8,5%.
"Tapi dalam perjalanannya 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita tidak 7%. Rata-rata di kisaran 5%. Begitu pula dengan pertumbuhan listrik yang hanya 4,5-4,8% rata-rata selama 5 tahun terakhir," ujarnya pada Market Review IDX Channel, Senin (25/1/2021).
Dia memaparkan, target konsumsi listrik tahun 2019 sebesar 1.200 kWh per kapita. Target ini terus mengalami peningkatan hingga menjadi 1.408 kWh per kapita pada 2024. Sementara target rasio elektrifikasi pada 2020 sebesar 100%.
"Semua ini menjadi dasar untuk mengalkulasi kebutuhan yang dicanangkan, yang kemudian keluar angka 35.000 MW. Oleh karena itu, kita bisa bayangkan pasokan listrik yang sudah kita rencanakan terjadi tidak semuanya bisa diserap oleh permintaan daya listrik yang baru," jelasnya.
Fabby melanjutkan, pandemi Covid-19 juga menyebabkan ekonomi mengalami perlambatan sehingga berimplikasi pada permintaan listrik. Tingkat konsumsi masyarakat yang tergerus akibat pandemi Covid-19 juga menyebabkan konsumsi listrik menurun signifikan.
"Kita juga harus ingat di tahun 2019 ada pemilu di mana kita tahu pemilu membuat kegiatan investasi sedikit melambat karena orang mempertimbangkan risiko politik dan lainnya. Kita lihat juga 2019 itu ada perlambatan pertumbuhan permintaan listrik," tuturnya.
Kendati demikian, menurut dia, pembangkit yang sudah direncanakan dan mulai dilakukan konstruksi sejak 2017 tidak bisa dihentikan. "Pembangkit-pembangkit itu masuknya secara bertahap, tidak semua masuk di 2020. Ada yang bertahap di 2021 sampai 2023, bahkan ada sejumlah pembangkit yang masuknya tahun ini juga diperkirakan mengalami keterlambatan diperkirakan 6-12 bulan karena pandemi, pembatasan perjalanan, pengiriman sehingga membuat keterlambatan dari sejumlah proyek," tandasnya.
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, ada beberapa asumsi yang menyebabkan kelebihan pasokan listrik. Pertama, pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yang ditargetkan sebesar 7%. Dengan pertumbuhan sebesar 7%, diperkirakan permintaan listrik bisa tumbuh sebesar 8-8,5%.
"Tapi dalam perjalanannya 5 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kita tidak 7%. Rata-rata di kisaran 5%. Begitu pula dengan pertumbuhan listrik yang hanya 4,5-4,8% rata-rata selama 5 tahun terakhir," ujarnya pada Market Review IDX Channel, Senin (25/1/2021).
Dia memaparkan, target konsumsi listrik tahun 2019 sebesar 1.200 kWh per kapita. Target ini terus mengalami peningkatan hingga menjadi 1.408 kWh per kapita pada 2024. Sementara target rasio elektrifikasi pada 2020 sebesar 100%.
"Semua ini menjadi dasar untuk mengalkulasi kebutuhan yang dicanangkan, yang kemudian keluar angka 35.000 MW. Oleh karena itu, kita bisa bayangkan pasokan listrik yang sudah kita rencanakan terjadi tidak semuanya bisa diserap oleh permintaan daya listrik yang baru," jelasnya.
Fabby melanjutkan, pandemi Covid-19 juga menyebabkan ekonomi mengalami perlambatan sehingga berimplikasi pada permintaan listrik. Tingkat konsumsi masyarakat yang tergerus akibat pandemi Covid-19 juga menyebabkan konsumsi listrik menurun signifikan.
"Kita juga harus ingat di tahun 2019 ada pemilu di mana kita tahu pemilu membuat kegiatan investasi sedikit melambat karena orang mempertimbangkan risiko politik dan lainnya. Kita lihat juga 2019 itu ada perlambatan pertumbuhan permintaan listrik," tuturnya.
Kendati demikian, menurut dia, pembangkit yang sudah direncanakan dan mulai dilakukan konstruksi sejak 2017 tidak bisa dihentikan. "Pembangkit-pembangkit itu masuknya secara bertahap, tidak semua masuk di 2020. Ada yang bertahap di 2021 sampai 2023, bahkan ada sejumlah pembangkit yang masuknya tahun ini juga diperkirakan mengalami keterlambatan diperkirakan 6-12 bulan karena pandemi, pembatasan perjalanan, pengiriman sehingga membuat keterlambatan dari sejumlah proyek," tandasnya.
(fai)