Duh, YLKI Sebut Banyak Kemasan Air Minum Belum SNI
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) , Tulus Abadi mewanti-wanti agar konsumen melihat apakah air minum dalam kemasan (AMDK) yang akan dikonsumsi tersebut telah mencantumkan logo SNI atau belum. “Kalau sudah ada SNI pasti amanlah karena food grade-nya sudah terpenuhi,” ujar Tulus dalam vidro virtual, Kamis (18/2/2021).
Namun, jika ingin lebih aman dan peduli terhadap konsumen di Indonesia, penerapan label khusus Bebas BPA (BPA Free) menjadi suatu keharusan, demi melindungi konsumen dari zat yang berbahaya, apalagi toleransi setiap individu terhadap zat berbahaya juga berbeda-beda.
“Jadi penerapan label BPA Free sangat penting sekali untuk melindungi konsumen dari paparan zat yang berbahaya. Sebab efeknya bukan sekarang, tapi beberapa tahun ke depan baru terlihat,” paparnya. ( Baca juga:Lewat MHAS Bank Mandiri Bisa Talangi Klaim BPJS Kesehatan )
Saat ini, salah satu temuan Indonesia Water Institute (IWI) dalam kajian bertajuk “Study of Clean Water Consumption Patterns during Covid-19 Pandemic” adalah ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan air minum dalam kemasan (AMDK), selama masa pandemi ini sebagai alternatif sumber air minum.
Menurut founder and chairman IWI, Firdaus Ali, dengan adanya peningkatan konsumsi AMDK ini dan temuan terkait dengan keberadaan mikro/nano plastik dalam beberapa sample AMDK, perlu juga dicermati aspek keamanan penggunaan kemasan plastik pada AMDK. Misalnya plastik jenis polycarbonat, di dalamnya terkandung Bisphenol A (BPA) yang berfungsi agar botol tidak mudah rusak ketika jatuh.
Keberadaan BPA dalam AMDK memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat di luar maupun di dalam negeri. Pasalnya, kandungan BPA dalam kemasan plastik kerap dikaitkan dengan risiko gangguan kesehatan.
“BPA diduga berdampak kepada risiko penyakit gangguan hormon, kanker, kelainan organ reproduksi, dan gangguan sistem imun serta perilaku pada bayi atau anak kecil,” bebernya.
Para peneliti di luar negeri sedang mendalami keberadaan BPA dalam rantai pangan dalam hal ini minuman dalam kemasan plastik yang dapat menyebabkan beberapa penyakit tertentu seperti kanker, gangguan hormon, auto imun, dan penyakit lainnya.
Menurut Firdaus Ali, penelitian terkait dengan keberadaan BPA dalam AMDK masih terbatas di Indonesia. "Sama seperti temuan mikro plastik atau bahkan nano plastik dalam air minum, khususnya AMDK yang baru 3 tahun terakhir ini marak dibicarakan," ujarnya.
Beberapa otoritas obat dan makanan di luar negeri sejak 10 tahun lalu sudah mulai meregulasi dan memberlakukan standar yang ketat terkait dengan parameter BPA ini dan meminta industri mengganti bahan kemasan plastik minuman dengan Bisphenol-S (BPS) atau Bisphenol F (BPF).
Firdaus Ali mengatakan di beberapa negara maju masih memberikan toleransi penggunaan kemasan plastik untuk pangan (air dan makanan). Kendati demikian, lanjut Firdaus, mereka memberikan restriksi yang ketat dan mewajibkan pihak produsen mencantumkan label notifikasi pada kemasan yang menerangkan bahwa kemasan yang terbuat dari plastik mungkin mengandung BPA dalam kadar yang relatif rendah.
Meski demikian, tetap harus dihindari untuk konsumen usia belia dan ibu hamil atau menyusui yang biasanya memanaskan air pada wadah plastik dengan peralatan pemanas elektronik atau mengisi air panas ke dalam botol plastik atau bahkan mengkomsumsi AMDK yang ditinggal dalam kendaraan yang terpapar dengan temperatur cukup tinggi.
“Dengan demikian otoritas harusnya bisa mencerdaskan konsumen melalui informasi dan peringatan pada label misalnya,” tegas Firdaus Ali.
Firdaus Ali menambahkan, beberapa pakar juga mengkuatirkan potensi kontaminasi BPA pada AMDK dan makanan karena cukup signifikannya potensi cemaran mikro dan nano plastik yang berasal dari plastik kemasan yang diproduksi di bawah standar, serta AMDK tidak disimpan di tempat yang aman. ( Baca juga:Parlemen AS Berencana Bentuk Komisi Independen, Selidiki Penyerangan Capitol Hill )
“Temperatur tinggi dalam penyimpanan di gudang atau dalam kendaraan atau jika botol diisi air panas berpotensi larutnya BPA dari plastik ke cairan dalam kemasan tersebut,” imbuhnya.
Di tengah pro dan kontra terkait keberadaan dan resiko kesehatan BPA dalam makanan minuman khususnya AMDK, IWI meminta pemerintah harus dengan sangat hati-hati dan cerdas merumuskan sebuah regulasi yang tujuannya melindungi jangka panjang terhadap masyarakat.
"Karena dampak kesehatan dari keberadaan pencemar kimia seperti BPA baru akan terlihat dikemudian hari," tandasnya.
Namun, jika ingin lebih aman dan peduli terhadap konsumen di Indonesia, penerapan label khusus Bebas BPA (BPA Free) menjadi suatu keharusan, demi melindungi konsumen dari zat yang berbahaya, apalagi toleransi setiap individu terhadap zat berbahaya juga berbeda-beda.
“Jadi penerapan label BPA Free sangat penting sekali untuk melindungi konsumen dari paparan zat yang berbahaya. Sebab efeknya bukan sekarang, tapi beberapa tahun ke depan baru terlihat,” paparnya. ( Baca juga:Lewat MHAS Bank Mandiri Bisa Talangi Klaim BPJS Kesehatan )
Saat ini, salah satu temuan Indonesia Water Institute (IWI) dalam kajian bertajuk “Study of Clean Water Consumption Patterns during Covid-19 Pandemic” adalah ada kecenderungan masyarakat memanfaatkan air minum dalam kemasan (AMDK), selama masa pandemi ini sebagai alternatif sumber air minum.
Menurut founder and chairman IWI, Firdaus Ali, dengan adanya peningkatan konsumsi AMDK ini dan temuan terkait dengan keberadaan mikro/nano plastik dalam beberapa sample AMDK, perlu juga dicermati aspek keamanan penggunaan kemasan plastik pada AMDK. Misalnya plastik jenis polycarbonat, di dalamnya terkandung Bisphenol A (BPA) yang berfungsi agar botol tidak mudah rusak ketika jatuh.
Keberadaan BPA dalam AMDK memunculkan kekhawatiran di kalangan masyarakat di luar maupun di dalam negeri. Pasalnya, kandungan BPA dalam kemasan plastik kerap dikaitkan dengan risiko gangguan kesehatan.
“BPA diduga berdampak kepada risiko penyakit gangguan hormon, kanker, kelainan organ reproduksi, dan gangguan sistem imun serta perilaku pada bayi atau anak kecil,” bebernya.
Para peneliti di luar negeri sedang mendalami keberadaan BPA dalam rantai pangan dalam hal ini minuman dalam kemasan plastik yang dapat menyebabkan beberapa penyakit tertentu seperti kanker, gangguan hormon, auto imun, dan penyakit lainnya.
Menurut Firdaus Ali, penelitian terkait dengan keberadaan BPA dalam AMDK masih terbatas di Indonesia. "Sama seperti temuan mikro plastik atau bahkan nano plastik dalam air minum, khususnya AMDK yang baru 3 tahun terakhir ini marak dibicarakan," ujarnya.
Beberapa otoritas obat dan makanan di luar negeri sejak 10 tahun lalu sudah mulai meregulasi dan memberlakukan standar yang ketat terkait dengan parameter BPA ini dan meminta industri mengganti bahan kemasan plastik minuman dengan Bisphenol-S (BPS) atau Bisphenol F (BPF).
Firdaus Ali mengatakan di beberapa negara maju masih memberikan toleransi penggunaan kemasan plastik untuk pangan (air dan makanan). Kendati demikian, lanjut Firdaus, mereka memberikan restriksi yang ketat dan mewajibkan pihak produsen mencantumkan label notifikasi pada kemasan yang menerangkan bahwa kemasan yang terbuat dari plastik mungkin mengandung BPA dalam kadar yang relatif rendah.
Meski demikian, tetap harus dihindari untuk konsumen usia belia dan ibu hamil atau menyusui yang biasanya memanaskan air pada wadah plastik dengan peralatan pemanas elektronik atau mengisi air panas ke dalam botol plastik atau bahkan mengkomsumsi AMDK yang ditinggal dalam kendaraan yang terpapar dengan temperatur cukup tinggi.
“Dengan demikian otoritas harusnya bisa mencerdaskan konsumen melalui informasi dan peringatan pada label misalnya,” tegas Firdaus Ali.
Firdaus Ali menambahkan, beberapa pakar juga mengkuatirkan potensi kontaminasi BPA pada AMDK dan makanan karena cukup signifikannya potensi cemaran mikro dan nano plastik yang berasal dari plastik kemasan yang diproduksi di bawah standar, serta AMDK tidak disimpan di tempat yang aman. ( Baca juga:Parlemen AS Berencana Bentuk Komisi Independen, Selidiki Penyerangan Capitol Hill )
“Temperatur tinggi dalam penyimpanan di gudang atau dalam kendaraan atau jika botol diisi air panas berpotensi larutnya BPA dari plastik ke cairan dalam kemasan tersebut,” imbuhnya.
Di tengah pro dan kontra terkait keberadaan dan resiko kesehatan BPA dalam makanan minuman khususnya AMDK, IWI meminta pemerintah harus dengan sangat hati-hati dan cerdas merumuskan sebuah regulasi yang tujuannya melindungi jangka panjang terhadap masyarakat.
"Karena dampak kesehatan dari keberadaan pencemar kimia seperti BPA baru akan terlihat dikemudian hari," tandasnya.
(uka)