Merek Terkenal yang Menggunakan Kata Umum Patut Diuji Hukum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Iklim persaingan usaha di Tanah Air semakin membutuhkan aturan ketat untuk merek bisnis . Pasalnya, sengketa merek di Indonesia saat ini semakin didominasi oleh gugatan pembatalan merek, bahkan gugatan ganti rugi atas pelanggaran dari merek terkenal.
Ketua Komisi Banding Merek, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, DJKI Kemenkumham RI Teddy Anggoro mengingatkan, dengan ditegakkannya perlindungan terhadap merek terkenal maka berarti membantu pembangunan ekonomi. Selain itu juga dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Di Indonesia, sebuah merek disebut merek terkenal jika masuk di dalam kriteria merek terkenal sesuai Permenkumham Nomor 67 Tahun 2019. ( Baca juga:Rugi Rp25 Miliar, Perusahaan Kosmetik Ini Laporkan Dugaan Pemalsuan ke Polda Metro Jaya )
"Walaupun perlindungan hukum terhadap merek terkenal belum bisa dikatakan sempurna, tapi arah perlindungan merek terkenal sudah mulai dilakukan. Ini sesuai amanat Konvensi Paris dan WIPO," ujar Teddy dalam webinar Kupas Tuntas Merek Terkenal di Indonesia di Jakarta (24/3/2021).
Namun demikian, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal sering kali berbeda, mengingat padanya praktiknya kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016. Misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement.
Perbedaan tolak ukur yang digunakan hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.
“Sebagaimana diketahui, suatu putusan hakim dalam penetapan status merek terkenal dapat menjadi yurisprudensi dan acuan dalam menetapkan suatu merek sebagai merek terkenal," katanya.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI Freddy Harris menjelaskan, di Indonesia untuk mengidentifikasi apakah suatu merek merupakan merek terkenal, selain berpedoman pada UU No. 20/ 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek), Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016) yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.
Tolak ukur dalam mengkategorikan suatu merek sebagai merek terkenal tentunya memakan waktu yang tidak singkat. Dalam hal ini, pemilik merek harus dapat membuktikan bahwa mereknya merupakan sebuah merek terkenal dengan jaminan kualitas atau reputasi atas merek tersebut.
"Contoh salah satu merek terkenal adalah Coca Cola yang telah diproduksi selama 100 tahun dan McDonald yang telah berdiri lebih dari 60 tahun," kata Freddy mencontohkan.
Praktisi Kekayaan Intelektual Cita Citrawinda Noerhadi mengatakan, perselisihan penggunaan merek dalam kegiatan usaha marak terjadi, termasuk di Indonesia. “Bentuk pelanggaran salah satunya adalah penggunaan suatu merek milik satu pihak oleh pihak lainnya secara tanpa hak kerap kali ditemukan," kata Cita menambahkan. ( Baca juga:Bank Syariah Indonesia Emoh Pakai Startegi 'Bakar Uang' )
Jadi apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama. Secara teori hukum, penggunaan kata umum (descriptive) seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif.
"Jangan satu merek terkenal lalu mendaftarkan kata-kata umum dan sifat sehingga pelaku usaha lain tidak bisa menggunakannya lagi. Itu harusnya tidak dibolehkan," katanya.
Ketua Komisi Banding Merek, Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, DJKI Kemenkumham RI Teddy Anggoro mengingatkan, dengan ditegakkannya perlindungan terhadap merek terkenal maka berarti membantu pembangunan ekonomi. Selain itu juga dapat menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Di Indonesia, sebuah merek disebut merek terkenal jika masuk di dalam kriteria merek terkenal sesuai Permenkumham Nomor 67 Tahun 2019. ( Baca juga:Rugi Rp25 Miliar, Perusahaan Kosmetik Ini Laporkan Dugaan Pemalsuan ke Polda Metro Jaya )
"Walaupun perlindungan hukum terhadap merek terkenal belum bisa dikatakan sempurna, tapi arah perlindungan merek terkenal sudah mulai dilakukan. Ini sesuai amanat Konvensi Paris dan WIPO," ujar Teddy dalam webinar Kupas Tuntas Merek Terkenal di Indonesia di Jakarta (24/3/2021).
Namun demikian, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal sering kali berbeda, mengingat padanya praktiknya kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016. Misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement.
Perbedaan tolak ukur yang digunakan hakim dalam penetapan status merek terkenal sering kali menimbulkan ketidakpastian hukum, khususnya dalam implementasi Permenkumham 67/2016.
“Sebagaimana diketahui, suatu putusan hakim dalam penetapan status merek terkenal dapat menjadi yurisprudensi dan acuan dalam menetapkan suatu merek sebagai merek terkenal," katanya.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham RI Freddy Harris menjelaskan, di Indonesia untuk mengidentifikasi apakah suatu merek merupakan merek terkenal, selain berpedoman pada UU No. 20/ 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek), Indonesia juga telah memiliki Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (Permenkumham 67/2016) yang secara spesifik mengatur mengenai kriteria dari merek terkenal.
Tolak ukur dalam mengkategorikan suatu merek sebagai merek terkenal tentunya memakan waktu yang tidak singkat. Dalam hal ini, pemilik merek harus dapat membuktikan bahwa mereknya merupakan sebuah merek terkenal dengan jaminan kualitas atau reputasi atas merek tersebut.
"Contoh salah satu merek terkenal adalah Coca Cola yang telah diproduksi selama 100 tahun dan McDonald yang telah berdiri lebih dari 60 tahun," kata Freddy mencontohkan.
Praktisi Kekayaan Intelektual Cita Citrawinda Noerhadi mengatakan, perselisihan penggunaan merek dalam kegiatan usaha marak terjadi, termasuk di Indonesia. “Bentuk pelanggaran salah satunya adalah penggunaan suatu merek milik satu pihak oleh pihak lainnya secara tanpa hak kerap kali ditemukan," kata Cita menambahkan. ( Baca juga:Bank Syariah Indonesia Emoh Pakai Startegi 'Bakar Uang' )
Jadi apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama. Secara teori hukum, penggunaan kata umum (descriptive) seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif.
"Jangan satu merek terkenal lalu mendaftarkan kata-kata umum dan sifat sehingga pelaku usaha lain tidak bisa menggunakannya lagi. Itu harusnya tidak dibolehkan," katanya.
(uka)