Pindah Ibu Kota Tidak Tepat di Tengah Pandemi, Fadhil Hasan: Cuma Tambah Beban
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pendiri Narasi Insistute, sekaligus Ekonom Senior, Fadhil Hasan meminta Pemerintah Menunda rencana pemindahan IKN (Ibukota Negara) sampai Penanganan Covid-19 selesai. Selain alasan masih pandemi Covid-19, Fadhil juga menyoroti sosialisasi yang rendah terkait pemindahan IKN tersebut.
"Apalagi pemindahan ibukota merupakan keputusan penting dan strategis, dan sudah seharusnya menjadi wacana publik yang luas dari semua pemangku kepentingan bangsa. Dan, justru itulah yang tidak terjadi. Wacana pemindahan ibukota hanya terjadi di kalangan elit dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif dan akuntabel. Terjadi 'gap' antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota ini," ujar Fadih Hasan.
Fadhil menambahkan, jangan masyarakat luas, DPR saja baru akan membahas RUU Ibu Kota dalam tahun ini, dan bahkan draft RUU dari pemerintah pun belum DPR terima.
"Artinya peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan ibu kota tersebut (walau hal ini kecil kemungkinannya). Apakah pemerintah berniat melakukan fait accompli DPR?," sambungnya.
Dalam Diskusi Narasi Insitute, Jumat 16/4/21, Fadhil menegaskan, bahwa Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara merupakan hal lumrah. Banyak negara melakukan hal itu. Setidaknya dalam kurun waktu 100 tahun ini, terdapat setidaknya 30 negara yang memindahkan ibu kotanegaranya. Banyak yang sukses, namun tidak sedikit yang gagal.
Pemerintah diminta melakukan kajian serius terhadap faktor-faktor penyebab gagalnya pemindahan IKN di negara lain. Fadhil juga menegaskan bahwa argumen overcapacity Jakarta sebagai Ibukota sebenarnya tidak cukup kuat.
“Pertama, Alasan overcapacity Jakarta terkesan pemerintah ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta, dan jika pindah pun belum tentu persoalan Jakarta akan terselesaikan," terang Fadhil.
Kedua, jika alasannya adalah pemerataan pembangunan, sebenarnya sejak tahun 2001 pemerintah memiliki kebijakan dan instrumen seperti otonomi dan desentralisasi fiskal melalui Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus yang bertujuan untuk akselerasi pemerataan pembangunan Jawa dan luar Jawa.
Lebih lanjut, Indonesia sentris sebagai orientasi pembangunan bukan hanya retorik yang hanya sederhana diterjemahkan hanya dengan secara fisik memindahkan ibu kota. "Indonesia sentris seharusnya merupakan mindset dari pembuat kebijakan yang mengorientasikan keseluruhan kebijakan dan program pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial," ungkapnya.
Fadhil juga menyoroti masalah pembiayaan IKN. Menurutnya Indonesia saat ini tidak memiliki kapasitas ekonomi dan keuangan yang memadai untuk membiayai pembangunan ibu kota baru.
“Hutang pemerintah yang terus meningkat yang sekarang diperkirakan berjumlah Rp6,300 triliun dan diperkirakan akan berjumlah Rp10.000 triliun pada 2024 sudah cukup membebani perekonomian. Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak justru semakin menurun diukur dari tax rationya," terangnya.
Tax ratio terus mengalami penurunan dari 10,2% pada tahun 2018 menjadi 7,9% pada tahun 2020. Dikala sumberdaya semakin terbatas dan negara sedang diperhadapkan pada upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi membangun ibu kota baru sungguh bukan merupakan prioritas yang tepat dan langkah yang benar.
"Ini hanya akan menambah beban perekonomian dan persoalan yang lebih rumit bagi pemerintah. Legacy yang ingin ditorehkan Jokowi akan berakhir sebagai misery yang bagi masyarakat banyak,” ujar Fadhil Hasan.
Fadhil nilai argumentasi pembiayaan IKN dari swasta tidak dapat dibenarkan. Ia mengatakan, partisipasi swasta tentunya bisa terealisasi jika kondisi perekonomian dalam keadaan baik dengan tren yang meningkat dan kondisi iklim investasi kondusif.
Namun kedua hal tersebut sekarang ini belum nampak bahkan kini ekonomi masih dalam taraf awal pemulihan, itu pun jika penanganan pandemi covid-19 berjalan baik. Iklim investasi pun belum membaik walaupun UU Cipta Kerja dan produk turunannya sudah dibuat.
Direksi Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat MPP mengatakan, bahwa tidak ada argumen kuat dan mendesak untuk memindahkan ibu kota negara sekarang ini. Yang lebih mendesak dan prioritas, di tengah keterbatasan anggaran adalah memanfaatkannya untuk agenda pembangunan yang lebih strategis dan prioritas yakni pemulihan ekonomi.
Lalu penanganan kesehatan, pengembangan SDM, transformasi ekonomi, pemerataan pembangunan infrastruktur yang produktif, dan pengembangan daya saing produk nasional.
"Jika dan ketika, kita memiliki pertumbuhan yang lebih baik, penanganan pandemi covid-19 telah terkelola dengan baik, pembangunan infrastruktur yang lebih merata, dan kualitas sumberdaya yang lebih baik, pemindahan ibu kota dapat dipertimbangkan," ucap Achmad.
"Apalagi pemindahan ibukota merupakan keputusan penting dan strategis, dan sudah seharusnya menjadi wacana publik yang luas dari semua pemangku kepentingan bangsa. Dan, justru itulah yang tidak terjadi. Wacana pemindahan ibukota hanya terjadi di kalangan elit dan lebih bersifat teknokratis, kurang partisipatif dan akuntabel. Terjadi 'gap' antara publik dan negara dalam wacana pemindahan ibu kota ini," ujar Fadih Hasan.
Fadhil menambahkan, jangan masyarakat luas, DPR saja baru akan membahas RUU Ibu Kota dalam tahun ini, dan bahkan draft RUU dari pemerintah pun belum DPR terima.
"Artinya peletakan batu pertama pembangunan ibu kota ini dilakukan tanpa ada payung hukumnya. Bagaimana jika DPR tidak menyetujui pemindahan ibu kota tersebut (walau hal ini kecil kemungkinannya). Apakah pemerintah berniat melakukan fait accompli DPR?," sambungnya.
Dalam Diskusi Narasi Insitute, Jumat 16/4/21, Fadhil menegaskan, bahwa Gagasan untuk memindahkan ibu kota negara merupakan hal lumrah. Banyak negara melakukan hal itu. Setidaknya dalam kurun waktu 100 tahun ini, terdapat setidaknya 30 negara yang memindahkan ibu kotanegaranya. Banyak yang sukses, namun tidak sedikit yang gagal.
Pemerintah diminta melakukan kajian serius terhadap faktor-faktor penyebab gagalnya pemindahan IKN di negara lain. Fadhil juga menegaskan bahwa argumen overcapacity Jakarta sebagai Ibukota sebenarnya tidak cukup kuat.
“Pertama, Alasan overcapacity Jakarta terkesan pemerintah ingin menghindari upaya mengatasi persoalan yang dihadapi Jakarta, dan jika pindah pun belum tentu persoalan Jakarta akan terselesaikan," terang Fadhil.
Kedua, jika alasannya adalah pemerataan pembangunan, sebenarnya sejak tahun 2001 pemerintah memiliki kebijakan dan instrumen seperti otonomi dan desentralisasi fiskal melalui Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus yang bertujuan untuk akselerasi pemerataan pembangunan Jawa dan luar Jawa.
Lebih lanjut, Indonesia sentris sebagai orientasi pembangunan bukan hanya retorik yang hanya sederhana diterjemahkan hanya dengan secara fisik memindahkan ibu kota. "Indonesia sentris seharusnya merupakan mindset dari pembuat kebijakan yang mengorientasikan keseluruhan kebijakan dan program pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial," ungkapnya.
Fadhil juga menyoroti masalah pembiayaan IKN. Menurutnya Indonesia saat ini tidak memiliki kapasitas ekonomi dan keuangan yang memadai untuk membiayai pembangunan ibu kota baru.
“Hutang pemerintah yang terus meningkat yang sekarang diperkirakan berjumlah Rp6,300 triliun dan diperkirakan akan berjumlah Rp10.000 triliun pada 2024 sudah cukup membebani perekonomian. Apalagi penerimaan negara dari sektor pajak justru semakin menurun diukur dari tax rationya," terangnya.
Tax ratio terus mengalami penurunan dari 10,2% pada tahun 2018 menjadi 7,9% pada tahun 2020. Dikala sumberdaya semakin terbatas dan negara sedang diperhadapkan pada upaya penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi membangun ibu kota baru sungguh bukan merupakan prioritas yang tepat dan langkah yang benar.
"Ini hanya akan menambah beban perekonomian dan persoalan yang lebih rumit bagi pemerintah. Legacy yang ingin ditorehkan Jokowi akan berakhir sebagai misery yang bagi masyarakat banyak,” ujar Fadhil Hasan.
Fadhil nilai argumentasi pembiayaan IKN dari swasta tidak dapat dibenarkan. Ia mengatakan, partisipasi swasta tentunya bisa terealisasi jika kondisi perekonomian dalam keadaan baik dengan tren yang meningkat dan kondisi iklim investasi kondusif.
Namun kedua hal tersebut sekarang ini belum nampak bahkan kini ekonomi masih dalam taraf awal pemulihan, itu pun jika penanganan pandemi covid-19 berjalan baik. Iklim investasi pun belum membaik walaupun UU Cipta Kerja dan produk turunannya sudah dibuat.
Direksi Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat MPP mengatakan, bahwa tidak ada argumen kuat dan mendesak untuk memindahkan ibu kota negara sekarang ini. Yang lebih mendesak dan prioritas, di tengah keterbatasan anggaran adalah memanfaatkannya untuk agenda pembangunan yang lebih strategis dan prioritas yakni pemulihan ekonomi.
Lalu penanganan kesehatan, pengembangan SDM, transformasi ekonomi, pemerataan pembangunan infrastruktur yang produktif, dan pengembangan daya saing produk nasional.
"Jika dan ketika, kita memiliki pertumbuhan yang lebih baik, penanganan pandemi covid-19 telah terkelola dengan baik, pembangunan infrastruktur yang lebih merata, dan kualitas sumberdaya yang lebih baik, pemindahan ibu kota dapat dipertimbangkan," ucap Achmad.
(akr)