Mengapa Ibu Kota Harus Pindah? Ini Penjelasan Stafsus Sri Mulyani

Jum'at, 16 April 2021 - 21:21 WIB
loading...
Mengapa Ibu Kota Harus Pindah? Ini Penjelasan Stafsus Sri Mulyani
Staf Khusus (stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo. Foto/Ist
A A A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membeberkan alasan fundamental pemerintah menetapkan kebijakan pemindahan Ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Salah satu sebab adalah pembangunan Jawa Sentris yang beberapa dekade lamanya menjadi konsentrasi pemerintah terdahulu.

Staf Khusus (stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menilai, langkah pemindahan Ibu Kota adalah afirmatif dari sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap pemerataan pembangunan ekonomi di kawasan Timur Indonesia. Selama ini, pemerataan ekonomi antara Barat dan Timur dianggap masih timpang.

"Ini sangat timpang (ekonomi). Kalau tidak segera kita atasi dengan sebuah kebijakan atau terobosan afirmatif, bagaimana kita mengelola negara ini, rasanya kita akan semakin tertinggal,” ujarnya dalam Webinar, Jumat (16/4/2021).



Dalam catatan Kemenkeu, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan jika kawasan Indonesia Timur belum secara maksimal memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) di lembaga perbankan, secara dominan masih berasal dari kawasan Pulau Jawa. Khusus untuk DKI Jakarta saja, persentase DPK berada di angka 91 persen atau setara Rp6.737 triliun.

Ihwal pembiayaan Ibu Kota Negara (IKN) baru ini berasal dari tiga sumber pendanaan. Dimana, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan Swasta.



Perihal pendanaan ini, Akademisi senior Universitas Indonesia (BI) sekaligus pengamat ekonomi Emil Salim, mengutip anggaran yang dicantumkan dalam draf Rancangan Undang-Undang IKN baru yang nantinya ditindaklanjuti oleh DPR.

Dalam dokumen itu, suntikan APBN sebesar Rp89,4 triliun, KPBU senilai Rp253,4 triliun, dan swasta mencapai Rp123,2 triliun. Dengan begitu total pembangunan IKN baru mencapai Rp466 triliun.

"Dari sumber yang saya peroleh, Rancangan Undang-Undang Ibu Kota negara, yang penting saya angkat adalah pembiayaan. Di dalam pembiayaan disebut bahwa biayanya Rp466 triliun. Yang terbagi atas Rp89,4 triliun yang berasal dari APBN, Rp253,4 triliun dari KPBU kerja sama pemerintah dan badan usaha, dan Rp123,2 triliun dari swasta," katanya.

Kemenkeu cukup optimis jika IKN baru mampu menggaet investor. Sebab, skema pembangunannya sendiri akan melalui lembaga pengelola investasi (LPI) atau Sovereign Wealth Fund (SWF).



Di tempat yang terpisah, Ekonom Indef Bhima Yudhistira meragukan proyeksi pemerintah jika IKN baru akan rampung pada 2024. Dia menilai, akibat pandemi Covid-19 membuat ketertarikan investor dalam dan luar negeri cukup rendah terhadap proyek pembangunan infrastruktur IKN.

Di sisi lain, tingkat keuntungan proyek infrastruktur dinilai relatif tidak menarik karena sebagian besar proyek fokus pada pembangunan fasilitas pemerintahan.

Jika investor mau bantu proyek IKN pun terbilang sulit karena tingkat keuntungan proyek infrastruktur relatif kurang menarik. Apalagi proyek bangun gedung pemerintahan. Kalau ada investor mau masuk lebih baik buat pabrik mobil listrik, bukan gedung pemerintahan baru, jelas lebih bermanfaat," ujar dia saat dihubungi MNC Portal Indonesia.



Dari riset Indef, pemindahan ibu kota ke Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tidak berdampak signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Dalam catatannya, IKN hanya menyumbang 0,0001% terhadap PDB nasional.

Meski begitu, dampak terhadap pendapatan domestik regional bruto (PDRB) cukup tinggi atau sebesar 1,77% untuk kawasan tersebut. Sebaliknya, IKN baru justru berkontribusi negatif pada PDRB provinsi lain hingga 0,04%.

Karena itu, Bhima menilai, anggaran pembangunan IKN perlu difokuskan sementara waktu untuk Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Sebab, pembangunan yang dipaksakan akan mengganggu keuangan negara karena kondisi rasio pajak hanya 8,3% atau terendah dalam delapan tahun terakhir.
(ind)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1639 seconds (0.1#10.140)