Stop Urbanisasi, Bangkitkan Ekonomi Desa
loading...
A
A
A
“Mengapa? Karena ruang produksi di kota sudah tidak ada sama sekali. Kondisi sebaliknya di desa, masih banyak ruang produksi untuk bisa ditanami pangan. Soal lahan itu tinggal dikonsolidaskan, pasti bisa,” papar doktor bidang sosiologi perdesaan ini.
Dia juga menilai desa memiliki potensi yang luar biasa besar jika dikelola dengan baik. Potensi tersebut terutama ada pada sektor pangan. Dengan dukungan teknologi digital, maka potensi desa tersebut siap meledak dan membangkitkan ekonomi yang lesu terdampak pandemi.
Sofyan menyebut, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perputaran uang di desa setiap bulannya khusus untuk kebutuhan pangan bisa mencapai Rp5 miliar. Perputaran uang terbesar untuk konsumsi pangan terjadi di desa di Pulau Jawa yakni antara Rp3-5% miliar untuk 42 jenis komoditas pangan. Adapun desa di luar Jawa rata-rata berbelanja pangan Rp1-3 miliar per bulan.
“Sekitar 57% desa itu ada di Jawa. Jika setiap desa Rp3-5 miliar, maka perputaran uang untuk food consumption saja per bulan itu luar biasa sekali. Desa kita ini sebenarnya kaya sekali, tapi oleh pemerintah ini masih sering dilihat kurang prospek,” ujarnya.
Sofyan mengatakan, dari satu sektor itu saja, yakni food consumption, kalau bisa ditekuni pemerintah itu akan menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat besar. Apalagi jika dilakukan industrialisasi pangan. Dia mencontohkan, buah markisa yang dihasilkan petani, untuk jadi markisa dalam kemasan tidak perlu lagi diproduksi di kota, namun cukup di desa saja dengan cara mengaktifkan BUMDes sebagai lokomotif ekonomi desa.
Dia berharap pemerintah utamanya menteri keuangan, menteri koordinator bidang perekonomian, dan menteri pemuda dan olahraga bisa bersinergi dalam memanfaatkan momentum kembalinya pekerja usia muda ke desa ini. Jika mampu memberikan pekerjaan yang baik, dijamin jumlah warga desa yang melakukan urbanisasi akan menurun jauh. “Saya kira waktunya untuk curi start, menggaet para pemuda-pemudi itu agar tidak kembali lagi ke kota, melainkan memilih berjibaku dengan desa menghasilkan hal yang produktif dan tinggal pemerintah menjamin mekanisme pasar yang ada,” ujar Wakil Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB ini.
Soal tingginya fenomena pekerja kota yang memilih pulang kampung di saat pandemi ini juga diakui Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Masyita Crystallin. Saat di kampung, warga umumnya menekuni pekerjaan sebagai petani. Hal ini tak berlebihan sebab kampung menyediakan lapangan pekerjaan bidang pertanian yang lebih siap.
Namun Masyita menilai, tren pergerakan warga pulang ke desa ini juga bisa dimaknai positif. Sebab di tengah pandemi saat ini, sektor pertanian mengalami partumbuhan yang bagus. Berdasarkan data BPS, pada akhir 2020 lalu, sektor pertanian tercatat tumbuh 2,15% secara tahunan (year on year/yoy). "Sektor pertanian masih mampu bertahan, jadi sektor pertanian itu merupakan juga the agent financial crisis dulu," ucap Masyita beberapa waktu lalu.
Berpijak realitas ini, ke depan sektor pertanian bisa menjadi andalan baru bagi perekonomian jika mengalami krisis. Karena di saat sektor lain mengalami kontraksi, namun pertanian masih mampu berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Dan dari desalah banyak sektor pertanian selama ini bertumpu. "Sektor ini juga merupakan sektor masa depan yang bisa meningkatkan value addedn-ya karena dia mampu menyelamatkan perekonomian pada saat sektor lain sedang lemah," ucapnya.
Dia juga menilai desa memiliki potensi yang luar biasa besar jika dikelola dengan baik. Potensi tersebut terutama ada pada sektor pangan. Dengan dukungan teknologi digital, maka potensi desa tersebut siap meledak dan membangkitkan ekonomi yang lesu terdampak pandemi.
Sofyan menyebut, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perputaran uang di desa setiap bulannya khusus untuk kebutuhan pangan bisa mencapai Rp5 miliar. Perputaran uang terbesar untuk konsumsi pangan terjadi di desa di Pulau Jawa yakni antara Rp3-5% miliar untuk 42 jenis komoditas pangan. Adapun desa di luar Jawa rata-rata berbelanja pangan Rp1-3 miliar per bulan.
“Sekitar 57% desa itu ada di Jawa. Jika setiap desa Rp3-5 miliar, maka perputaran uang untuk food consumption saja per bulan itu luar biasa sekali. Desa kita ini sebenarnya kaya sekali, tapi oleh pemerintah ini masih sering dilihat kurang prospek,” ujarnya.
Sofyan mengatakan, dari satu sektor itu saja, yakni food consumption, kalau bisa ditekuni pemerintah itu akan menciptakan lapangan pekerjaan yang sangat besar. Apalagi jika dilakukan industrialisasi pangan. Dia mencontohkan, buah markisa yang dihasilkan petani, untuk jadi markisa dalam kemasan tidak perlu lagi diproduksi di kota, namun cukup di desa saja dengan cara mengaktifkan BUMDes sebagai lokomotif ekonomi desa.
Dia berharap pemerintah utamanya menteri keuangan, menteri koordinator bidang perekonomian, dan menteri pemuda dan olahraga bisa bersinergi dalam memanfaatkan momentum kembalinya pekerja usia muda ke desa ini. Jika mampu memberikan pekerjaan yang baik, dijamin jumlah warga desa yang melakukan urbanisasi akan menurun jauh. “Saya kira waktunya untuk curi start, menggaet para pemuda-pemudi itu agar tidak kembali lagi ke kota, melainkan memilih berjibaku dengan desa menghasilkan hal yang produktif dan tinggal pemerintah menjamin mekanisme pasar yang ada,” ujar Wakil Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB ini.
Soal tingginya fenomena pekerja kota yang memilih pulang kampung di saat pandemi ini juga diakui Staf Khusus Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Masyita Crystallin. Saat di kampung, warga umumnya menekuni pekerjaan sebagai petani. Hal ini tak berlebihan sebab kampung menyediakan lapangan pekerjaan bidang pertanian yang lebih siap.
Namun Masyita menilai, tren pergerakan warga pulang ke desa ini juga bisa dimaknai positif. Sebab di tengah pandemi saat ini, sektor pertanian mengalami partumbuhan yang bagus. Berdasarkan data BPS, pada akhir 2020 lalu, sektor pertanian tercatat tumbuh 2,15% secara tahunan (year on year/yoy). "Sektor pertanian masih mampu bertahan, jadi sektor pertanian itu merupakan juga the agent financial crisis dulu," ucap Masyita beberapa waktu lalu.
Berpijak realitas ini, ke depan sektor pertanian bisa menjadi andalan baru bagi perekonomian jika mengalami krisis. Karena di saat sektor lain mengalami kontraksi, namun pertanian masih mampu berkontribusi bagi perekonomian Indonesia. Dan dari desalah banyak sektor pertanian selama ini bertumpu. "Sektor ini juga merupakan sektor masa depan yang bisa meningkatkan value addedn-ya karena dia mampu menyelamatkan perekonomian pada saat sektor lain sedang lemah," ucapnya.