Stop Urbanisasi, Bangkitkan Ekonomi Desa
loading...
A
A
A
Persempit Kesenjangan Desa-Kota
Namun ekonom INDEF Rusli Abdullah mengatakan, fenomena ruralisasi di masa pandemi sangat mungkin hanya bersifat temporal. Jika nanti seandainya pandemi Covid-19 berakhir, bisa jadi para pekerja, termasuk pemuda desa, akan balik lagi ke kota.
Oleh karena itu dia menilai kementerian yang terkait dengan pembangunan desa, yakni Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Koperasi dan UKM, perlu memanfaatkan momentum ruralisasi ini. Surplus SDM usia produktif di desa saat ini jangan sampai disia-siakan. Pemerintah bisa membuat program yang baik. Dengan demikian, sangat mungkin para pekerja yang kembali ke desa itu bisa tetap dibuat bertahan sehingga tidak lagi memilih melakukan urbanisasi ke kota yang memicu masalah tersendiri.
“Caranya, ya, misalnya perlihatkan bahwa dengan dana desa orang bisa bekerja di desa, menciptakan community depelovement, ada BUMDes yang bisa membantu pengembangan usaha. Kalau Kemendes bisa melakukan itu saya kira akan makin banyak orang akan tinggal di desa,” ujarnya, Sabtu (24/4).
Dia juga meminta agar pekerja yang kembali ke desa itu bisa dipetakan kemampuannya. Misalnya, perlu dilihat seseorang di kota itu bekerja di sektor apa sehingga memiliki keahilan apa. Keahlian dan keterampilannya itu bisa dimanfaatkan. Sebagai contoh mantan karyawan hotel yang tentu punya keterampilan hospitality. “Keterampilan dia tentu hal yang berkaitan pelayanan dan keramahtamahan. Ini bisa dimanfaatkan untuk desa wisata. Kalau di sebuah desa wisata didukung tenaga kerja adalah yang memang punya keterampilan, tentu akan lebih baik lagi,” ujarnya.
Rusdi setuju jika pembangunan desa, terutama di masa pandemi, semakin digiatkan karena akan memberi banyak efek. Pertama, desa yang maju secara ekonomi akan mengerem warganya untuk melakukan urbanisasi.Kedua, mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Saat ini ekonomi desa hanya menyumbang 14% dari total produk domestik bruto (PDB) nasional. Sementara 86% sisanya berasal dari perkotaan.
Ketiga, desa yang maju adalah syarat transformasi ekonomi. Salah satu syarat negara untuk naik kelas, keluar dari middle income trap (jebakan pendapatan menengah), kata dia, salah satunya melalui pembangunan pertanian desa. Caranya, mengembangkan sektor-sektor yang punya multiplier effect. “Misalnya, jika ada hasil pertanian itu agar diolah dulu di desa agar ada nilai tambah. Istilah lainnya adalah melakukan industrialisasi perdesaan,” tandasnya.
Ubah Paradigma Pembangunan
Pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga menegaskan perubahan paradigma pembangunan, terutama dalam merespons masa sulit akibat pandemi. Sekjen Kemendes PDTT Taufik Madjid menyebut, kini desa menjadi episentrum atau pusat dari pembangunan. Apalagi Undang-Undang No 6/2014 tentang Desa, kata dia, juga sudah mempertegas mandat tersebut.
Dalam upaya memulihkan ekonomi desa akibat pandemi, Kemendes PDTT menjalankan empat strategi. Ketahanan pangan masyarakat desa menjadi strategi pertama. Ini meliputi intensifikasi, ekstensifikai dan sindikasi.Ketahanan pangan desa menjadi urgen terutama setelah Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan soal ancaman kekurangan pangan yang akan melanda dunia. Hal ini, mau tak mau, membuat Indonesia harus benar-benar mandiri, termasuk soal ketahanan pangan.
Strategi kedua adalah merevitalisasi BUMDes. Langkah ini dinilai strategis karena saat ini sekitar 50.000 desa telah memiliki Bumdes dengan core bisnis desa wisata dan produk unggulan. Strategi ketiga adalah membangun digitalisasi ekonomi desa dengan menggandeng e-commerce global seperti Tokopedia dan Shopee.
Platform ini kemudian berikan pelatihan-pelatihan agar produk unggulan desa bisa dipasarkan secara luas. Strategi keempat, melalui program Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Program ini mengharuskan tenaga kerja harus berasal dari kelompok miskin, pengangguran dan kelompok marjinal lain di desa.
Namun ekonom INDEF Rusli Abdullah mengatakan, fenomena ruralisasi di masa pandemi sangat mungkin hanya bersifat temporal. Jika nanti seandainya pandemi Covid-19 berakhir, bisa jadi para pekerja, termasuk pemuda desa, akan balik lagi ke kota.
Oleh karena itu dia menilai kementerian yang terkait dengan pembangunan desa, yakni Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Koperasi dan UKM, perlu memanfaatkan momentum ruralisasi ini. Surplus SDM usia produktif di desa saat ini jangan sampai disia-siakan. Pemerintah bisa membuat program yang baik. Dengan demikian, sangat mungkin para pekerja yang kembali ke desa itu bisa tetap dibuat bertahan sehingga tidak lagi memilih melakukan urbanisasi ke kota yang memicu masalah tersendiri.
“Caranya, ya, misalnya perlihatkan bahwa dengan dana desa orang bisa bekerja di desa, menciptakan community depelovement, ada BUMDes yang bisa membantu pengembangan usaha. Kalau Kemendes bisa melakukan itu saya kira akan makin banyak orang akan tinggal di desa,” ujarnya, Sabtu (24/4).
Dia juga meminta agar pekerja yang kembali ke desa itu bisa dipetakan kemampuannya. Misalnya, perlu dilihat seseorang di kota itu bekerja di sektor apa sehingga memiliki keahilan apa. Keahlian dan keterampilannya itu bisa dimanfaatkan. Sebagai contoh mantan karyawan hotel yang tentu punya keterampilan hospitality. “Keterampilan dia tentu hal yang berkaitan pelayanan dan keramahtamahan. Ini bisa dimanfaatkan untuk desa wisata. Kalau di sebuah desa wisata didukung tenaga kerja adalah yang memang punya keterampilan, tentu akan lebih baik lagi,” ujarnya.
Rusdi setuju jika pembangunan desa, terutama di masa pandemi, semakin digiatkan karena akan memberi banyak efek. Pertama, desa yang maju secara ekonomi akan mengerem warganya untuk melakukan urbanisasi.Kedua, mengurangi kesenjangan antara kota dan desa. Saat ini ekonomi desa hanya menyumbang 14% dari total produk domestik bruto (PDB) nasional. Sementara 86% sisanya berasal dari perkotaan.
Ketiga, desa yang maju adalah syarat transformasi ekonomi. Salah satu syarat negara untuk naik kelas, keluar dari middle income trap (jebakan pendapatan menengah), kata dia, salah satunya melalui pembangunan pertanian desa. Caranya, mengembangkan sektor-sektor yang punya multiplier effect. “Misalnya, jika ada hasil pertanian itu agar diolah dulu di desa agar ada nilai tambah. Istilah lainnya adalah melakukan industrialisasi perdesaan,” tandasnya.
Ubah Paradigma Pembangunan
Pemerintah melalui Kementerian Desa dan Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) juga menegaskan perubahan paradigma pembangunan, terutama dalam merespons masa sulit akibat pandemi. Sekjen Kemendes PDTT Taufik Madjid menyebut, kini desa menjadi episentrum atau pusat dari pembangunan. Apalagi Undang-Undang No 6/2014 tentang Desa, kata dia, juga sudah mempertegas mandat tersebut.
Dalam upaya memulihkan ekonomi desa akibat pandemi, Kemendes PDTT menjalankan empat strategi. Ketahanan pangan masyarakat desa menjadi strategi pertama. Ini meliputi intensifikasi, ekstensifikai dan sindikasi.Ketahanan pangan desa menjadi urgen terutama setelah Badan Pangan Dunia (FAO) memperingatkan soal ancaman kekurangan pangan yang akan melanda dunia. Hal ini, mau tak mau, membuat Indonesia harus benar-benar mandiri, termasuk soal ketahanan pangan.
Strategi kedua adalah merevitalisasi BUMDes. Langkah ini dinilai strategis karena saat ini sekitar 50.000 desa telah memiliki Bumdes dengan core bisnis desa wisata dan produk unggulan. Strategi ketiga adalah membangun digitalisasi ekonomi desa dengan menggandeng e-commerce global seperti Tokopedia dan Shopee.
Platform ini kemudian berikan pelatihan-pelatihan agar produk unggulan desa bisa dipasarkan secara luas. Strategi keempat, melalui program Padat Karya Tunai Desa (PKTD). Program ini mengharuskan tenaga kerja harus berasal dari kelompok miskin, pengangguran dan kelompok marjinal lain di desa.